XII. Tersisa

462 30 15
                                    

Sesak.

Curahan sendu hati Ahsan kayaknya memang senada dengan seluruh penumpang bus. Jorji yang duduk di sampingnya saja sudah megap-megap bak ikan Nila di pasar pagi. Ahsan yang agak khawatir jadi sedikit-sedikit mengipasinya dengan brosur klinik penumbuh rambut. Bus yang harusnya hanya untuk dua puluh empat orang, kini Ahsan yakin sudah berisi empat puluh lebih.

"COAAAAACHHH, GA KUAAAAAT!!!" rintih Taufik yang sudah tergencet badan Arya Pangkaryanira dan Jordan. Posisi Taufik sendiri berdiri di bagian tengah bus di dekat ibu-ibu penjual asinan dan kerupuk udang. Kasian.

"Bentar satu lagi, nih."

Segera saja raungan keputusasaan mengudara dari seluruh penghuni bus. Ahsan ngangguk-ngangguk setuju. Dia sendiri sudah mau kehabisan napas, juga tidak tega dengan Jorji yang semangat 45 miliknya sudah musnah.

Sebenarnya, mereka yang berangkat ke pertandingan hari ini hanya delapan belas orang, jadi memang sengaja memesan bus yang cukup kecil. Namun Ahsan mana tahu jika Coach Herry itu baaaaaaiiikkkk sekali. Dia memberikan tumpangan gratis untuk mereka yang membutuhkan. 

Dan yang membutuhkan ternyata banyak sekali.

Ahsan udah ga sanggup bagian kesekian.

Hari ini mereka akan menuju gor Jaya untuk melangsungkan babak pertama Kejurnas. Jika dibilang gugup, maka Ahsan menjawab gugup. Tetapi setidaknya ia sedikit bersyukur dengan segala kesesakan dan ramainya mereka di dalam bus. Ahsan bisa sejenak memikirkan hal yang lebih penting daripada rasa gugupnya untuk nanti. Memikirkan cara agar tetap bernapas hingga ia sampai gor nanti.

"Rasanya mau pingsan ya Tuhan." lirih Jorji yang lemas di sampingnya.

Adik tingkatnya itu sudah lelah lunglai setiap sendinya. Ahsan turut berduka cita dan membantu mendoakan keselamatan gadis itu. Dia sudah terlalu lelah mengipasinya sedari tadi, jadi dia memutuskan untuk membantu dengan berdoa saja. Aamiin.

"Ini sampai sana udah kek perkedel kentang kebanyakan telur, benyek." keluh Ahsan pada seseorang yang sedari tadi tergencet dinding bus dan tubuh Ahsan.

Hendra Setiawan yang jangkung harus pintar mengatur duduknya. Ini saja kakinya sudah pegal karena menyilang satu sedari tadi untuk memberi sedikit tempat untuk Ahsan di sampingnya. Dia dengan kaku mengangguk menyahuti keluh kesah Ahsan.

"WOY KAGET!"

Seruan terdengar di mana-mana ketika bus sempat terguncang karena entah polisi tidur atau apa. Jorji terhuyung ke depan ditangkap oleh Alvent. Ahsan terkejut lalu tanpa sadar ia meremas lengan jaket Hendra di sampingnya.

Dan Ahsan terkejut ketika tangannya segera di tampik Hendra. Alisnya mengernyit. Di antara keterkejutannya karena guncangan bus, Ahsan merasakan suatu perasaan aneh yang agak membuatnya sedih.

Ahsan menganggukan kepalanya pada Hendra lalu menjauhkan badannya. Dia segera bergumam maaf pada Hendra yang hanya di balas dengan anggukan singkat.

Memang tidak seharusnya dia memegang seseorang begitu saja. Mungkin Hendra risih.

Risih padanya?

Ahsan berusaha melirik Hendra di sampingnya. Lelaki itu berusaha keras menempel pada dinding bus, mengusahakan jarak dari Ahsan.

Ada perasaan sedikit mencelos dalam dada Ahsan entah karena apa.

.
.
.

"Legaaaaaaaa..."

Iya, Ahsan juga merasakan hal yang sama seperti ci butet. Lega.

Sisa setengah perjalanan menuju gor, tetapi syukurlah seluruh penumpang yang tadinya Ahsan juga tidak tahu datang dari mana telah turun lebih dulu. Sekarang, bus yang tadinya sesak, kini telah terasa ribuan kali lebih lega.

Ahsan masih di kursi belakang, dengan Jorji yang sudah tenang menikmati mi cup instan, di sampingnya. Ia juga masih di sebelah Hendra meski kini telah berjarak satu kursi penumpang.

Brosur yang tadinya ia gunakan untuk memberi angin pada Jorji, kini ia pakai sendiri. Hari ini panas sekali, pendingin ruangan dalam bus sepertinya tidak berarti banyak setelah acara sesak-sesakkan tadi.

"Makan, kak Ahsan?" tawar Jorji dengan mulutnya yang masih penuh dengan kunyahan.

Dengan gelengan sopan, Ahsan menolak. Sudah hawanya panas begini masih harus bergelut dengan mi instan cup yang kuahnya masih panas dengan rasa pedas pula. Sesuka apapun Ahsan dengan sambal, dia akan menolak kalau keadaannya begini. Ga kuat.

Sedikit rasa penasaran menggelitiknya untuk menoleh pada Hendra. Dia masih sama, mencoba sejauh mungkin dari Ahsan.

Ahsan penasaran sebenarnya ada apa. Sepertinya tahap saling menjauh sudah mereka lalui beberapa bulan lalu, mengapa mereka kembali ke tahap ini lagi? Ahsan menghembuskan napasnya tanpa sadar.

"Woaaaaaahhh... Beneran!"

"Makanya gue kayak kenal cara smashnya, beneran sama, woy."

Kegaduhan dengan volume tidak santai berasal dari gerombolan Jordan di tengah bus. Mereka yang tadi merengek-rengek karena sesak berdesakan, kini malah bergerombol dalam kerumunan.

"San! San! Sini deh liat!"

Ahsan mencoba sekuat hati mengabaikan panggilan Jordan yang melambai-lambai padanya menyuruhnya mendekat. Dia menggeleng-nggeleng meski yakin orang-orang itu tidak melihat Ahsan. Mereka terlalu sibuk pada sesuatu di ponsel Ade Yusuf.

Namun belum sempat Ahsan mendapat ketenangan, gerombolan aneh itu menatapnya yang enggan bergerak. Dan bisa ditebak, mereka berebutan berlari ke arah Ahsan.

Skakmat. Ahsan terkepung bersama kelompok yang terlewat hiperaktif.

"San, san, liat ini dah." perintah Ade dengan tergesa. Dia dengan tidak lembut dan tidak penuh sopan santun menyodorkan ponselnya tepat di wajah Ahsan.

"Kalau gitu mana keliatan, oon!"

Ahsan mengangguk membenarkan pernyataan Jordan. Dia lalu meraih ponsel Ade yang tadi disodorkan di wajahnya. Layar ponsel itu menampilkan laman Yatupe. Yang setelah Ahsan perhatikan ternyata tayangan langsung pertandingan pertama untuk ganda putra dewasa.

"Tadi gue perhatiin, gue inget-inget lagi, di mana gitu gue pernah ngelihat pukulannya." ujar Ade.

Pertandingan itu masih di interval, dengan pasangan dari universitas sebelah yang tengah di sorot kamera.

"Lalu kita inget, mirip smashannya Ahsan!"

Tepat setelahnya, layar ponsel Ade Yusuf menampilkan dua sosok yang familiar.

Ada Kenas Adi dan Rian Agung.

Ahsan tidak lagi mendengar celoteh Jordan, Ade, dan Arya. Ia memperhatikan bagaimana pertandingan dalam layar telah dimulai dengan rally panjang, lalu beberapa kesempatan, dan akhirnya Rian Agung melepaskan satu smash keras tajam kebelakang . Punggungnya melenting, badannya terangkat tinggi, tangannya mengayun keras. Shuttlecocknya keras membentur senar raket, melesat kencang, keras, dan tepat sasaran.

Sesuatu dalam memori Ahsan seolah kembali mengalir. Satu ucapan itu tiba-tiba terngiang di pikirannya.

"Kamu itu cuma batu loncatan untukku, udah ga berguna lagi sekarang."

Rasa sakit itu masih sama nyatanya.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Nov 11, 2022 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

SplashWhere stories live. Discover now