VII. Memori

1.4K 118 105
                                    

"Ga usah didengerin."

Ahsan mengerjap, lalu mengalihkan pandangan dari bukunya. Seseorang menempelkan headset di telinganya. Ada Rian Agung Saputro, teman sekelasnya. Dia duduk tenang di sebelah Ahsan tanpa bicara lebih banyak.

"Apanya?" tanya Ahsan dengan tenang.

Rian mengendikan bahu lalu merebah di kursi kayu reyot perpustakaan. Kepalanya mendongak lalu mendesah lelah. "Buat apa malu mengakui diri sendiri, harusnya mereka yang malu, menghakimi orang seenak mereka."

Ahsan terdiam atas perkataan Rian. Ia menatap wajah Rian yang entah bagaimana ada lebam di sana sini. Seragamnya kotor dan kumal. Tanpa sadar ia sudah mencengkeram buku yang tadinya ia baca.

"Asal lu tahu, gue ga malu, gue ga sedih, jangan sok kasihan, Yan." tutur Ahsan.

Ia pikir Rian mungkin akan tertawa seperti yang lainnya. Ahsan tidak malu, ia telah melalui yang lebih berat untuk bisa menerima dirinya sendiri ini. Jadi ia tak malu. Rian mungkin hanya ingin mengambil kesempatan untuk meledeknya, sudah biasa untuk Ahsan.

Namun apa yang terjadi sungguh di luar perkiraan Ahsan.

Rian terbangun dan menatap Ahsan tepat di matanya. Ahsan hanya bisa membelalak, mati rasa ketika tatapan itu menyengat tubuhnya. Kini Rian tersenyum lembut, menatap dengan tulus. Jarak mereka begitu dekat hingga rasanya Ahsan bisa mencium bau amis besi atau darah(?) dari Rian. Jantungnya berdetak cepat.

"Dengarkan baik-baik lagunya, San."

Lagu Heaven dari Troye Sivan mengalun di telinganya.

.
.
.

Beberapa kali Ahsan menggerutu. Ia menyesal tak membawa dasinya yang padahal sudah disiapkan sejak semalam. Pak Handoyo yang menatapnya bak ia adalah tersangka pembunuhan masih enggan bergerak dari pinggir lapangan. Tolong, kakinya pegal sekali berdiri di hadapan tiang bendera tanpa bendera begini. Sudah hampir setengah jam tetapi ia tak dilepaskan juga.

Ahsan mendengar seruan-seruan, sedikit teriakan, lalu omelan khas pak Joko dari koridor utama sekolah. Lalu ia melihat dari ekor matanya, Rian yang dijewer pak Joko. Rupa teman sekelasnya itu meringis sakit. Pak Joko mengomel dengan tanpa rem tentang visi misi sekolah, cita-cita, bahkan pembukaan UUD. Ahsan yakin, kalau sebentar lagi guru sejarah itu akan berceloteh pasal perjuangan kemerdekaan.

Rian diseret begitu saja menuju tengah lapangan. Tepat di samping Ahsan. Sang pemuda Palembang hanya menengok sedikit, tak berani berkata apapun karena ada Pak Joko, takut jadi sasaran berikutnya.

"Kalau ngerasa ga bawa dasi tuh terus terang! Ga usah melarikan diri! Kayak Ahsan iniloh, terus terang gitu!"

'Memangnya gue lampu?' batin Ahsan dongkol karena dibawa-bawa.

"Berdiri di sini! Liatin dengan hikmat tiang bendera sampai bel istirahat! Paham?!" perintah Pak Joko begitu tegas pada Rian.

Rian mau tak mau hanya mengiyakan seadanya. Wajahnya merengut sebal dan menggerutu pelan.

"Kamu juga Ahsan!" seru pak Joko.

Kok dia kena lagi?

"Tetap diam sampai Rian selesai juga!" titah terakhir pak Joko sebelum ia pergi dari hadapan Rian dan Ahsan.

Ahsan semakin sebal. Tadi di seret pak Handoyo, sekarang diceramahi selama lima belas detik yang penuh kebencian dari pak Joko. Sekarang justru hukumannya ditambah, padahal sudah akan usai 10 menit lagi. Sialan.

Mata Ahsan melihat terus pada pak Joko yang berjalan mulai menjauh menuju kantor guru. Dia berikan tatapan sepenuh hati yang penuh dengan dendam kesumat. Nyaris ia mengumpat kalau saja Ahsan tak merasakan sentuhan lembut di tangannya.

SplashWhere stories live. Discover now