II. Kaku

1.7K 162 130
                                    

"Sorry San, sorry... ini penting banget anjir!"

"Bodo amat."

"Elah San, jangan kek cewek pms gini dah, gue ga tau bakal begini, sumpah, besok gue traktir soto bu Nani dah."

"Soto mulu, harga diri gue lebih tinggi dari itu."

"Perkedel dua ribu sama es teh, deal?"

Ahsan menyeringai. "Deal."

"Anjir emang ya lu ga ada harganya San, bangsat. Yaudah, gue balik duluan, biasa, manusia sibuk gue tuh."

Ia baru akan mengatakan sesuatu, namun sambungan telepon telah terputus oleh orang diseberang sana. Kini Ahsan menghela napas lelah lalu menyenderkan punggungnya di tembok dingin kampus. Kini dia akan pulang dengan siapa?

Seharusnya memang ia pulang bersama Bona, yang baru saja meninggalkannya dan barusan menelepon karena ada urusan mendadak menyangkut adiknya. Ahsan tidak menyalahkan siapa-siapa. Belakangan ini memang entah kenapa, Pia sedikit bermasalah di sana sini. Bagaimanapun ia juga menyayangi Pia layaknya adik sendiri. Keluarga Bona sudah sangat menyayangi Ahsan melebihi yang Ahsan inginkan. Jadi, ia sedikit tahu diri.

Motornya belum dipajak, jadi Ahsan tak berani menaikinya. Keuangannya memang sedang agak mepet karena ia baru saja dipecat dari kerja paruh waktunya. Tak ada uang tambahan dan Ahsan tak berani meminta pada sang bunda di Palembang sana. Jadi mau tak mau, ia harus berusaha menumpang di sana sini.

Ia sudah mengirim pesan pada Alvent Yulianto, teman satu kostnya. Tapi anak itu pasti hanya akan membukanya di malam hari menjelang tidur. Orang itu adalah satu-satunya manusia abad 21 yang tahan hidup tanpa gawai.

Ia menimbang untuk bertanya pada Taufik Hidayat, namun ia segan. Orang borjuis macam dia, mana berani Ahsan. Jadi pilihan terakhirnya jatuh pada katingnya, Markis Kido. Selain manusia itu memang baik luar biasa, mereka juga arah pulangnya searah. Tentu saja, kan Ahsan tinggal di kostannya ibu Markis, Bona, dan Pia.

Pesan dari Ahsan hanya dibaca sang kakak tingkat sejak empat puluh menit lalu. Namun dibalas saja tidak. Mungkin ia akan menunggu di depan gerbang, siapa tahu ada yang masih di kampus, siapapun itu. Pak Joko sang satpam sekolah juga tidak apa-apa kok buat Ahsan. Beliau baik dan kadang mau mengantar para mahasiswa pulang.

Namun belum selesai ia memikirkan pak Joko, dari kejauhan terlihat motor matic biru yang tak asing. Itu punya kak Markis karena Ahsan ingat nomor platnya. Tapi ia yakin bukan kak Markis yang menaikinya. Orang ini memakai jaket tim bulu tangkis kampus mereka dengan helm hitam. Perawakannya jangkung dan kurus. Dan motor itu berhenti di depannya, tepat di depannya. Mematikan mesinnya lalu menoleh pada Ahsan yang keheranan. Ia lalu membuka helm nya.

Dan betapa terkejutnya Ahsan.

"Kak Hendra?"

Hendra Setiawan yang menjemputnya. Bagaimana bisa?

"Markis tidak bisa datang, ada urusan sedikit." kata Hendra acuh namun entah kenapa terdengar sedikit tergagap di telinga Ahsan.

Sebenarnya Ahsan tidak mempermasalahkan siapa yang datang menjemputnya, asal gratis saja sih. Tapi kalau Hendra Setiawan, yah, Ahsan maunya menolak. Mana tahan dia diam sepanjang perjalanan. Dan hatinya tak setabah itu maaf untuk menerima kata-kata sedatar aspal. Tapi mau bagaimana kan?

SplashWhere stories live. Discover now