1. Hana

225 26 28
                                    

Tugas kelompok, ya? Sekali lagi aku mesti bertemu dengan halangan terbesarku di sekolah.

Mata pelajarannya adalah Bahasa Indonesia. Kami ditugaskan secara berkelompok untuk menuliskan resensi buku yang telah guru kami siapkan di mejanya. Dari setumpukan buku tersebut, nanti masing-masing kelompok akan diberi satu buku yang berbeda.

Selagi yang lain sibuk membentuk kelompok, aku menghampiri guru di depan, mengharapkan kebijaksanaannya lagi kali ini. Semoga beliau tidak bosan untuk memahami keadaanku.

Ibu Natasha namanya, wali kelas kami sekaligus guru muda favorit kami, dan seluruh siswa sekolah ini dari kabar angin yang pernah kudengar. Aku disambut senyum ramah yang tidak kubalas setiba di hadapannya.

"Ada masalah, Hana?" tanyanya.

Aku mengangguk, kemudian mengetik pada ponsel apa yang ingin kukatakan dan menunjukkan itu padanya. Aku bisu, tapi bisa mendengar.

Aku menuliskan seperti ini pada ponselku:

"Saya boleh tidak, Bu, mengerjakan sendiri lagi tanpa perlu ikut kelompok?"

Senyumannya lenyap kemudian menghela napas seolah lelah menghadapi permintaan anehku untuk yang kesekian kalinya. Aku mulai takut dia sungguh telah bosan dengan permohonanku dan akan menolaknya kali ini.

"Saya tidak tahu apa alasannya karena kamu selalu menolak untuk bercerita pada saya, tapi baiklah—"

Sebelum sempat menyelesaikan kalimatnya, gadis yang duduk di sebelahku tiba-tiba datang menyerobot dari belakang.

"Hana dengan saya, Bu. Berdua. Bisa, kan?" dengan ringannya dia mengatakan itu, teman sekelasku yang tidak kuanggap teman bernama Dian tersebut. Langsung setelahnya, dia memicing padaku, seolah memperingatkan agar tidak mencoba membantahnya.

"Baiklah, bagaimana enaknya kalian saja," tanpa persetujuanku, Bu Natasha memberikan lampu hijau begitu saja kepada Dian. Seketika aku cuma bisa pasrah.

Mengapa Dian sama sekali tidak mau mengerti?

Aku langsung ditarik olehnya kembali ke tempatku duduk. Dian lantas menyeret kursinya dan duduk di sebelah mejaku karena di sekolah ini muridnya duduk sendiri-sendiri. Dia masih belum berhenti menatapku.

"Biar kutebak, kamu pasti meminta agar bisa mengerjakan tugas sendirian lagi, kan?"

Aku menunduk, memilih tidak menjawabnya.

"Tidak heran kamu digelari 'si bisu sombong' karena merasa selalu hebat sendiri. Bersikap sok tidak sama sekali membuatmu keren."

Dian tidak salah. Julukan tersebut memang pantas buatku. Aku selalu meminta orang lain agar menjauhiku. Keberadaan mereka di sekitarku membuatku tidak nyaman.

Sebab, aku adalah pembawa sial.

Maka sudah sewajarnya bagiku untuk dijauhi dan dibenci. Setidaknya masih lebih baik, daripada aku mesti menyaksikan lagi hidup seseorang hancur akibat kutukan kesialan yang melekat padaku. Seperti yang pernah terjadi pada satu-satunya sahabatku bertahun-tahun yang lalu.

"Hei, Dian!" salah seorang gadis dari salah satu kelompok memanggilnya. "Kami kurang satu orang, kemarilah!"

"Aku sudah sama Hana!" setelah Dian berkata demikian, gadis itu langsung menatapku masam. Aku menunduk untuk menghindar.

Harusnya tiap kelompok ada empat orang dan terbagi dalam tujuh kelompok. Namun karena aku dan Dian memisahkan diri, sehingga dua kelompok mesti rela hanya diisi tiga orang.

Aku memanglah pembawa sial.

Lantas pada Dian, kusarankan via teks di ponsel:

"Mestinya kamu bergabung dengan mereka," mengingat kutukanku barusan telah menunjukkan dampaknya.

Suarakanlah Perasaanmu, Hana!Место, где живут истории. Откройте их для себя