5. Ibu

2.8K 289 39
                                    

Giats masih menempelkan ponselnya di telinga kanannya meski sambungan sudah terputus.

Dia diam, tak bergerak. Hanya kelopak matanya saja yang sesekali berkedip menandakan jika Giats masih hidup.

"Ada apa, mas?" Risya ikut bingung melihat respon Giats setelah menerima panggilan. Dia beberapa kali tadi mendengar bahasa daerah yang diucapkan Giats. Meski Risya tidak begitu paham, tapi dia tahu ada sesuatu yang terjadi.

"Astagfirulloh...gimana aku bilang ke ibu kalau aku sudah nikah?" Giats frustasi sendiri mengingat ibunya adalah wanita judes yang galak. Apalagi jika ada yang tidak cocok dengan keinginan wanita yang melahirkannya itu, maka sudah pasti lawan bicaranya akan panas kuping mendengar kata- kata ibunya. Meski..ya kadang baik dan suka menolong orang yang tidak mampu, atau saudara dan kerabat yang ingin hutang.

"Terus, aku gimana?"

"Ya..gimana?" Giats ikut bertanya. "Orang tua kamu?!" Histeris Giats meraih kedua bahu Risya dan menggoncangnya.

"Ih..lepas deh, sakit. Mas bisa tenang soalnya orang tuaku sudah meninggal semua." Terang Risya.

"Ya Allah, hamba menikahi anak yatim. Ampuni hamba ya Allah."

Kini Risya bertanya pada hatinya apakah dia harus menyesal menyukai laki- laki ini?

"Jangan berlebihan. Aku sudah umur 24. Bukan anak- anak lagi. Sebutan anak yatim itu ada batasnya. Kalau laki - laki saat baligh, setelah itu sudah tidak disebut anak yatim lagi. Sedangkan perempuan..setelah nikah, eh..tapi jaman sekarang kan ada perempuan yang umur 30 Tahun belum nikah ya? Tanya ustadz aja deh."

"Terus gimana sama ibuku?"

"Ya..itu urusan mas lah. Yang penting sekarang mas anterin aku pulang."

"Iya..iya. takut banget kalau nggak dipulangin. Padahal biasanya istri takut dipulangin sama suaminya." Gerutu Giats.

***

Roni sejak semalam kalang kabut karena kehilangan bossnya. Bagaimana kalau sesuatu terjadi dan dia tidak tahu. Apakah dia akan kehilangan pekerjaannya? Lalu bagaimana nanti dia membiayai persalinan istrinya?

Gawat!

"Kamu sedang apa, Ron?"

Roni segera berbalik badan mendengar suara yang dia kenali itu. Bossnya.

"Aduh, non dari mana saja? Saya bingung tiba- tiba nona tidak ada di warung tenda saat saya baru datang dari WC. Tinggal Hp dan tas saja."

"Maaf, ya Ron. Semalam aku diculik. Ceritanya panjang."

"Hah? Diculik? Nona ada yang terluka? Lecet, gompel atau mungkin .."

"Saya baik- baik saja. Kamu bisa istirahat." Potong Risya cepat.

Perhatian Roni kini beralih pada lelaki yang datang bersama bossnya. Siapa lelaki itu? Belum pernah Roni melihat lelaki itu berkeliaran di sekitar bossnya.

"Ini suami saya, Ron." Kata Risya begitu Roni memperhatikan sosok Giats dengan curiga.

"Apa?! Bagaimana bisa?" Roni memotong penjelasan dari Risya. Dia harus memastikan lelaki ini aman dan baik.

"Ceritanya panjang. Sekarang aku mau istirahat. Nanti tolong kamu hubungi Sekar kalau aku nggak enak badan." Pesan Risya pada Roni untuk menghubungi sang sekertaris.

"Baik nona."

Risya segera menarik tangan Giats dan membawanya ke lantai atas dimana kamarnya berada. Memulai sesuatu yang yang harus dimulai.

***

"Bu, Giats itu keras kepala sama seperti ibu. Bapak jadi tidak yakin Giats akan melepas Ayu."

"Pak, pripun to? Wingi sanjang setuju kalihan idene ibu. Ayu, niku mata duitan. Palingan nggih hamil mboten kaleh anakke pak Lurah." (Pak gimana to? Kemarin bilang setuju sama idenya ibu. Ayu itu mata duitan. Paling juga hamil bukan sama anaknya pak lurah.)

"Ibu kok bisa ngomong ngono?"

"Nggih sanget." (Ya bisa)

"Buktinya mana? Si supri?" Tanya suami.

"Senes, pak. Wonten malih sing cok dolan teng nggen Ayu. Bocahe ireng, raine koyo wong sing mboten adus pirang- pirang ndino. Joko nopo sinten nggih?" (Beda pak. Ada lagi yang sering main ke tempat Ayu. Anaknya hitam, dan mukanya seperti orang yang nggak pernah mandi berhari-hari. Joko apa siapa ya?) Kata si istri tak yakin nama orang itu.

Sang suami diam. Kemudian dia berkata lagi. "Biar nanti Giats tahu sendiri kelakuan Ayu. Kan pas Ayu nikahan, Giats sudah di rumah, bu."

"Iya. Semoga saja sekarang dia nggak ngeyel lagi. Ibu males punya mantu seperti Ayu." Jawab istrinya.

"Bukan karena Ayu anaknya buruh kan, bu?" Curiga suami.

"Ya bukan. Ibu ini nggak punya pikiran jelek seperti itu. Harta itu bisa dicari, tapi akhlak itu yang nggak bisa di beli."

"Ngomong- ngomong beli. Itu ada yang jual kopi, bu."

"Lha bapak mau ngapain?"

"Ngelayani yang jual cengkeh."

Sang istri jengkel sendiri melihat suaminya malah kabur ke gudang cengkeh.

"Nggowo kopi?"(bawa kopi?)

Lelaki itu mengangguk segan.

"Pirang bagor? (Berapa karung?)

"Kaleh, bu.(dua, bu.)

"Unggahno nang timbangan. Garing to?"(naikkan ke timbangan. Kering kan?)

Yang dijawab dengan anggukan.

"Nyong ki wegah nek tuku kopi teles, ndadak mepe meneh." (Aku malas kalau beli kopi basah[kurang kering] harus repot jemur lagi.)

"Garing niki, bu. Sring."

Halimah mengangguk dan mulai berkutat dengan timbangan dan menghitung jumlah yang harus dia bayar untuk membeli beras kopi dari petani ini.

Tbc

Suamiku Seorang Banci KalengTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang