Bab 4

1.3K 77 0
                                    

Happy reading

****

Pada saat kehilangan tentu saja ada rasa sedih yang mendalam. Tapi ia tidak ingin larut dalam kesedihan itu terlalu lama. Ia tahu bahwa tidak ada berduka tanpa rasa sedih. Ia memandang penampilannya di cermin. Kemeja berwarna putih dan rok menjadi pilihannya kali ini. Ini sudah seminggu ia tidak masuk kerja, karena ia mengambil cuti beberapa hari.

Suasana rumah terasa sepi, keadaan ayah sudah baik-baik saja, beliau terlihat tegar atas kepergian bunda. Sekarang beliau sedang belibur ke Padang ke tempat keluarganya, sedangkan dirinya kembali bekerja seperti biasa. Ia memandang Sinem sedang asyik di dapur, wanita itu masih betah di sini bersamanya. Ia tidak pernah menganggap Sinem sebagai asisten rumah tangga di sini, justru menganggapnya sebagai saudara.

Sinem menyadari kehadiran Mince, ia bersyukur bahwa nona cantik itu tidak berlarut-larut dalam kesedihan,

"Eh non, sudah mau berangkat kerja?,"

Mince berusaha tersenyum dan mangangguk, "Iya bi," ia menatap sepiring nasi goreng di atas meja dan telur mata sapi.

Mince lalu duduk menyantap hidangan yang telah tersaji, ia tidak ingin Sinem kecewa karena ia sudah bersusah payah membuatkan sarapan. Ia makan dalam diam, begitu juga Sinem duduk di sampingnya.

"Bi nanti sore kita belanja ya, kayaknya isi kulkas sudah pada habis," gumam Mince, membuka topik pembicaraan.

"Iya non,"

Mince melirik Sinem yang masih makan dalam diam, "Bibi jangan tinggalin aku sendiri ya,"

Sinem menoleh menatap Mince, dan mengangguk. Tidak ada sedikitpun untuk berniat untuk meninggalkan wanita cantik itu sendiri. Terlebih wanita ini begitu baik kepadanya, rumah ini memang tidak terlalu besar, tapi entahlah ia begiu betah bersamanya.

"Iya non,"

Mince kembali melanjutkan makannya, ia perlu tenaga untuk menjalani hari dan bertahan hidup. Ia tidak ingin terjebak dalam rasa kehilangan tidak berdaya, mengasihani diri sendiri dan tidak mampu melangkah ke depan, semua itu tidak berarti apa-apa.

"Terima kasih ya bi,"

***




Mince menatap ruang kerja, yang masih tetap sama sejak tinggalkan. Ia meletakan tas di atas meja. Ia menghidupkan power pada CPU, ia memandang pak Hilman yang berada di depan pintu. Ia berusaha tersenyum, menyambut kehadiran beliau.

"Pagi pak,"

"Pagi juga, gimana keadaan kamu?," tanya pak Hilman, ia duduk di meja kerjanya.

"Baik pak," Mince membuka laci, ia mulai mengeluarkan form-form yang sudah mulai menumpuk.

Pak Hilman melirik jam melingkar di tangannya menunjukkan pukul 08.11 menit. "Saya morning briefing dulu ya, kamu kerja yang baik,"

"Iya pak,"

"Oiya, kemarin pak Arnold, mengucapkan turut berduka atas kepergian ibu kamu,"

Mince mengerutkan dahi mendengar nama Arnold, nama Arnold memang tidak asing di telinganya, mengingatkan pada mantannya dulu. Nama Arnold di dunia ini begitu banyak, sangat tidak mungkin Arnold si chef yang pernah mengisi hatinya.

"Siapa pak Arnold, pak?," tanya Mince, karena menghilangkan rasa penasarannya.

"GM baru kita,"

"Owh, iya pak, terima kasih,"

Mince memandang tubuh pak Hilman hilang di balik pintu. Ia kembali menekuri pekerjaanya. Ia harus melewati fase kesedihan ini dengan rutinitas sehari-hari. Ia mendengar suara interkom berbunyi, ia mengangkat panggilan itu,

We're Hiring (TAMAT)Where stories live. Discover now