Bab 21

224 14 0
                                    


BAB 21

Happy reading

***

Mince membuka matanya secara perlahan, memandang Arnold berada di sampingnya. Tangan itu masih posesif memeluknya. Ia merasakan hembusan nafas teratur, ia menatap jam yang menggantung di dinding menunjukkan pukul 05.20 menit. Mincale mencoba menenangkan debaran jantungnya dengan tempo tidak terkendali. Setidaknya ia bisa berpikir jernih, hingga ia menyadari apa yang telah ia lakukan bersama Arnold.

Mince menarik nafas dalam-dalam, mencoba menahan diri untuk beranjak. "Aku bercinta dengan Arnold,". Sepanjang hidupnya, ini adalah hal pertama kali ia bercinta, dengan laki-laki yang kini menjadi kekasihnya. Ia tahu bahwa ini tidak dibenarkan sebelum adanya pernikahan. Tapi yang pasti banyak sekali wanita sekarang yang tidur dengan pasangannya bahkan berani tinggal bersama.

Jujur ia pernah diajari oleh orangtuanya bahwa bercinta diluar nikah adalah hal tabu di Indonesia. Tapi lambat laun mereka akan tahu, karena pada dasarnya ia berpacaran dengan laki-laki yang pernah menikah, dan pasti akan tahu bagimana gaya pacarannya seperti apa. Mereka tidak buta, hanya saja mereka diam dan cukup tahu.

"Tidur lagi, masih pagi," gumam Arnold, ia mengelus puncak kepala Mince.

"Hemm,"

Mince menutup matanya kembali, ia kembali merapatkan tubuhnya. Ia berusaha setenang mungkin, rambutnya yang tadi malam ia tata serapi mungkin menggunakan hair spray, ia yakin sudah pasti seperti rambut jamet. Berbeda sekali dengan Arnold yang selalu berpenampilan rapi, bahkan tidur seperti ini pun dia terlihat rapi.

"Sinem pasti nungguin aku pulang,"

"Biarin aja, dia tahu kok kamu sama aku," Arnold mengecup puncak kepala Mince.

"Pulang," gumam Mince.

"Mandi dulu, sarapan, baru pulang,"

"Iya,"

Arnold mengubah posisi tidurnya menyamping dan menatap Mince. Ia pandangi wajah tanpa sapuan make up itu, ia mengecum puncak kepala itu. Jujur ia sangat menyayangi kekasihnya ini.

"Aku sayang banget sama kamu,"

"Aku harap setiap hari kamu mengatakan, hati-hati dijalan, jangan sampai kedinginan, setelah ini kita mau kemana? Kamu mau makan apa? Bagaimana kerjaan hari ini. Apa yang aku katakan itu suatu hal yang membuat aku mencintaimu,"

"Kamu tahu? Aku lebih menjadi diriku sendiri ketika bersamamu,"

Mince hanya dia diam tidak beraksi apa-apa mendengar pengakuan Arnold. Ia menatap iris mata itu, iris mata itu selalu membuatnya merasakan getaran cinta. Dan terinspirasi termotivasi untuk menjalin lebih dari sekedar hubungan.


***



"Mas Igar,"

Tita menatap Igar yang berdiri di depan daun pintu kamarnya Ia memandang pria berkemeja putih dengan kemeja yang sudah tergulung hingga siku. Ia memperlihatkan Igar membawa paperbag berlogo ayam.

"Kamu belum makan kan?," Ucap Igar, ia memandang Tita. Wanita itu mengenakan celana pendek dan kaos hitam. Igar memang sengaja kesini, bertemu dengan kekasihnya. Diberinya kecupan pada kening itu.

"Mas kok tau Tita belum makan," Tita memperlebar daun pintu.

"Ya tau lah, kamu kan males makan," Igar mengelus puncak kepala Tita. Ia melihat pintu masih terbuka,

"Tutup dulu pintunya," gumam Igar, ia melangkah dan menaruh paperbag itu di nakas.

"Gimana kerjaan mas hari ini?," Tanya Tita.

"Baik, kamu?,"

"Cuma rebahan aja, sambil ngedit konten Linggar," ucap Tita.

"Kalian ngevlog lagi,"

"Iya baru mulai lagi, maklum udah vakum lama, habis lahiran jugakan Linggarnya," Tita mendekati Igar dan lalu membuka paperbag berisi ayam goreng itu.

Tita menatap Igar, laki-laki itu tersenyum kepadanya. Ia mendekati Igar dan lalu berjinjit, mencium sudut bibir Igar dengan berani. Tersenyum simpul dan lalu mengedipkan mata, menggoda Igar dengan seberani ini. Seumur hidupnya baru kali ini ia bersikap agresif kepada laki-laki. Terlebih menciumnya terlebih dahulu.

Igar menyungging senyum melihat prilaku Tita yang menggemaskan ini. Oh Tuhan, ingin sekali ia mendorong tubuh itu ketempat tidur lalu membuka semua pakaiannya. Hanya kecupan singkat dan membuat hatinya berdesir. Tita menjauhi tubuhnya tapi, Igar mencoba menahannya. Ia memeluk tubuh ramping itu, dan merapatkannya.

Igar menatap iris mata bening itu dan lalu mengecupnya, "Tita,"

"Iya mas,"

"Pernah having sex sebelumnya?,"

Tita menelan ludah seketika lalu menggeleng, "Belum,"

"Mau?,"

"Having sex ?,"

"No, nanti Tita hamil kayak Linggar,"

Igar lalu tertawa, jujur setiap kali percakapan polos itu membuatnya ingin tertawa, "Linggar kayak gitu pacarannya,"

Tita lalu mengangguk, "Iya, parah kan,"

"Kenapa kita nggak samaan aja kayak mereka,"

"Ih jangan,"

"Jangan kenapa?, Temen kamu bisa, masa kamu nggak," Igar merapikan rambut Tita. Jujur ia senang berbincang berdua seperti ini kepada Tita, ada ketentraman tersediri melihat Tita bercerita.

"Ling-ling mah kelewat batas mas pacarannya, pacarannya sama Darka, nikahnya sama Radit,"

Alis Igar terangkat, "Owh ya,"

"Iya, oon nya kebangetan. Dia sama Radit jarak umurnya 13 tahun mas, masa bayangin aja,"

"Umur kamu berapa?,"

"Jalan 21 tahun mas,"

"Sama dong, mas sama suami temen kamu itu seumuran,"

"Hah,"

"Muda mas, setahun,"

"Terus,"

"Perbedaan umur nggak jadi penghalang buat menjalin hubungan kan,"

"Iya,"

"Terus apa masalahnya," ucap Igar, ia meraih tangan Tita dan menyimpan di bahunya.

"Nggak ada,"

Rasa laparnya hilang sudah berganti gairah, ia merapakan tubuhnya dan mengangkat tubuh Tita, membawanya ketempat tidur. Ia mengecup leher Tita secara perlahan, tidak ada perlawanan sedikitpun pada wanitanya. Igar membelai rambut Tita dan menyimpannya kesamping agar ia bisa mengecup punggung secara perlahan. Igar merengkuh tubuh Tita dari belakang, dan mecium secara perlahan dengan terbuka. Ia menjilati leher itu dari atas hingga kebawah. Ia mengigit dan menghisap, hingga ia menjelajahi seluruhnya.

Tita merasakan sensasi yang luar biasa, ia memejamkan mata, "Mas,"

"Hemmm,"

Tangan Igar sudah menelusup dibalik baju kaosnya. Tita menggigit bibir bawah, ia membiarkan Igar menyentuhnya.

"Tita lapar,"

Igar menghentikan aktifitasnya dan lalu merutuki kebodohanya. Niat awalnya ia memang ingin makan siang bersama, bukan berbuat mesum seperti ini, tapi lihatlah ia melakukannya.

"Yaudah makan dulu," Igar merapikan rambut Tita yang berantakan dan membenarkan baju kaos Tita yang sudah setengah terangkat.

"Iya,"

Igar merapikan kemejanya, ia melangkah mendekati sofa diikuti oleh Tita dibelakang. "Kamu makan yang banyak," Igar memberikan dua potong ayam kepada Tita.

"Ya nggak banyak kayak gini juga mas, satu aja,"

"Tadi katanya laper,"

"Ya emang laper, tapi Tita makannya dikit," Tita mencubit ayam itu dan mencoletnya di saus sambal.

"Nanti kamu mau kemana?,"

"Ke rumah Linggar, mau ngevlog, udah janjian juga,"

"Jam berapa pulangnya?," Tanya Igar lagi, ia makan ayam goreng berbalut tepung itu.

"Sore mas,"

"Nanti mas jemput ya,"

"Iya mas,"

"Mas pulang kerja langsung jemput kamu,"

Tita mengangguk dan lalu tersenyum. Jujur Igar adalah pria dewasa yang selalu bertindak cepat. Dia tahu apa yang wanita inginkan. Cara dia menatap, memanjakan, memeluk, dia tahu titik lemah wanita. Ah ya, ia sudah hampir saja menyerahkan semua yang ia miliki kepada pria ini. Tidak ada kata menyesal jika melakukannya nanti.


***


"Aku mau ke Jakarta sama Caca," ucap wanita dibalik speaker.

"Dalam rangka apa?," Tanya Arnold mencoba menyelidiki, ia merapikan dasi miliknya. Memeriksa laporan harian dan pengeluaran.

"Aku ada kerjaan sih disana, sekalian aja bawa Caca buat ketemu kamu, aku titip Caca ya,"

"Caca lebih baik tinggal sama aku aja, kalau kamu sibuk kerja,"

"Ya nggak bisa, Caca belum dewasa. Nanti jika dia sudah mengerti dan memutuskan tinggal sama aku atau kamu. Kamu boleh membawanya,"

"Oke,"

"Kapan kamu mau ke Jakarta?," Arnold menyandarkan punggungnya di kursi.

"Besok sore,"

"Nanti aku suruh driver jemput kamu di bandara,"

"Iya, terima kasih,"

Arnold mematikan sambungan telfonnya dan ia kembali menekuri pekerjaanya.


***

We're Hiring (TAMAT)Where stories live. Discover now