Awal Mula [2]

102 7 2
                                    

"Kita sering lupa pada nikmat yang sering kali terlupakan. Maka, nikmat Tuhan yang mana lagi yang kita dustakan?"

**

Sam yang baru saja menyelesaikan ibadah duha-nya, memusatkan perhatian ke arah mushaf kecil yang sudah terbuka setengahnya. Hatinya sudah lebih tenang usai berdoa, memanjakan diri kepada Rabb-nya. Mengutarakan segala keluh kesahnya.

Ia memulai bacaan Qur'annya dengan terlebih dahulu melafalkan basmalah penuh khusyuk. Mengikutsertakan Allah dalam segala tindakan itu harus, apalagi untuk hal-hal mulia seperti yang saat ini ia lakukan. Agar setiap kebaikan yang kita buat bernilai ibadah, begitu nasihat ummi saat ia kecil dulu.

Sam tercenung saat bacaannya sampai di ayat teguran pertama, yang terus diulang sebanyak 31 kali di dalam kalam-Nya itu.

"Maka, nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?"

Hati Sam berdenyut nyeri. Ia merasa menjadi orang yang paling sombong. Ia berlagak manusia paling lemah yang dijatuhi ujian mahadahsyat yang orang lain tidak mendapatkannya.

Ia lupa, imannya tak lebih besar dari para Sahabat. Ia tidak akan mampu menyamakan dirinya dengan Rasul Allah yang nyaris tidak ada celah dalam dirinya. Bahkan, jika dipadankan dengan para Sahabat yang baru mengenal Islam di tengah-tengah usia mereka pun, ia tidak akan ada apa-apanya.

Lalu, nikmat mana lagi yang coba ia dustakan?

Perihal keinginan ummi, walaupun ia merasa keberatan menerimanya untuk saat ini, itu bukanlah hal yang harus digembar-gemborkan sebagai beban besar hingga tak mampu menahannya.

Setiap hal selalu ada penawarnya. Benar begitu, bukan?

Sam kembali melanjutkan bacaannya. Kali ini suaranya sudah mulai lambat karena tercekat oleh tangis yang sekonyong-konyong datang begitu saja.

Untunglah ia hanya sendiri di rumah Allah ini. Tidak ada seorang pun yang melihat kondisinya yang mulai memilukan ini. Bukan, bukan karena ia merasa malu. Sama sekali bukan. Bagaimanapun juga, menangis atas dosa-dosa itu perlu, dan harus sering-sering dilakukan. Sebab kadang kala manusia tidak sadar bahwa baru saja ia berbuat dosa.

Dengan sisa-sisa energi yang nyaris habis karena dibantai air mata, akhirnya ia mampu menyelesaikan surah ke- 55 yang entah mengapa kali ini begitu membekas di relung hatinya.

Rasanya kepekaannya mulai terasah kini. Ia yang sudah sangat jarang menangis, akhirnya menumpahkan bulir transparan di pagi yang qadarullah mendung ini. Tidak tahu kenapa cuaca di luar seperti berkomplot dengan cuaca di dalam hatinya.

Kembali diulangnya tafsir ayat yang berhasil menamparnya sampai ke ulu hati.

"Maka, nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?"

***

"Kamu yakin pa-pa, Dhine?"

Gadis dengan perawakan tinggi dan kulit seputih susu yang kini nampak memucat itu hanya mengangguk. Berusaha menampilkan wajah baik-baik saja yang ia punya. Namun, tetap saja mata sayu dan wajah pucatnya tidak mampu berbohong.

"Kamu pulang aja, deh, ya? Aku bisa, kok, ngurus ini sendirian."

Gea masih kekeh atas penolakannya. Sahabat keras kepalanya ini sesekali perlu ditolak keinginannya. Berbuat baik itu perlu memang, tapi kalau itu hanya akan membahayakan diri sendiri, sebisa mungkin harus dihindari. Semata-mata bukan karena kita egois, hanya saja hal ini bisa menjadi boomerang untuk diri sendiri.

LarghettoWhere stories live. Discover now