Pinangan Eksklusif

117 10 1
                                    

"Tidak pernah mudah melepas ikatan yang sudah melekat begitu erat, lalu menggantikannya dengan spesi baru yang akan terasa kaku saat dipaksakan beradu tatap."

(◕ᴗ◕✿)

"Sudah seharusnya kamu menata masa depan, Dek."

Nadhine menyorot Satria dengan tatapan kesal. Belum selesai keterkejutannya atas kata-kata kakaknya yang sebelumnya, lelaki itu kini semakin gencar memprovokasinya.

"Maksud Abang apa, sih? Bisa gak berhenti basa-basi?" Bukannya melupakan etika kesopanan, ia hanya mulai jengah saja melihat Satria yang kelihatan sengaja mengulur-ulur waktu.

Ikram masih belum mau membuka suara. Tampaknya ia tengah memberikan kesempatan pada dua bersaudara itu untuk menuntaskan kesalahpahaman mereka.

Satria menghela napas berat. Ia tahu semuanya tidak akan mudah. Tapi, melihat adik satu-satunya yang sangat ia sayangi selalu tampak murung setelah kepergian Sam, malah semakin menebar perih di hatinya.

Bagaimanapun juga gadis itu pantas untuk bahagia. Dan mungkin saja kebahagiaan Nadhine bukan bersama Sam, tapi lelaki yang mampu menggantikan posisi Sam di kemudian hari.

Harusnya semuanya akan mudah jika saja Nahdine mau membuka hati. Ya~ sepatutnya Nadhine sudah bahagia sekarang. Tapi, gadis itu malah memilih memerangkap masa lalunya jauh di dalam hatinya. Tak sedikit pun ia izinkan untuk pergi.

Padahal, pertemuan selalu berakhir pada perpisahan, sekuat apa pun mempertahankan. Dan perpisahan pun ... seberapa menyakitkan itu akan menarik orang-orang baru jikalau kita mau berbesar hati menerimanya.

"Abang tahu kami tidak punya hak lagi untuk ikut campur masalah ini. Kamu sudah berhak memutuskan apa yang kamu mau lakukan. Sejak kamu menikah, hak atas dirimu telah berpindah ke suamimu. Bukan lagi di tangan ayah dan bunda, apalagi Abang."

Satria berhenti sejenak untuk mengambil napas. Mengatakan sesuatu yang mengganjal dalam benaknya sungguh tidak gampang.

Lalu lanjutnya, "Tapi, sungguh demi apa pun, melihat kamu murung sebulan ini membuat hati kami ikut teriris-iris. Sudah waktunya kamu keluar dari zona sedihmu. Kamu berhak bahagia, Dek ... sangat-sangat berhak. Jadi, Abang mohon, pikirkan lagi tawaran ini. Menikahlah, Dek. Ini semua demi kebahagiaan kamu."

Nadhine terentak oleh kata-kata terakhir dari kakak sulungnya. Sungguh perih yang sering menjalari hatinya kini kian naik intensitasnya.

Bagaimana perasaan kalian saat orang terdekat kalian dengan lancangnya meminta kalian melepas apa yang sudah melekat dalam diri kalian?

Samudera sudah seperti nadi baginya. Perpisahan mereka di dunia mungkin cukup menyakitkan baginya, namun itu tidak menjadi masalah jika mereka masih bisa dipertemukan kelak di akhirat sana. Tapi, dengan melepaskan perasaan yang terlanjur membuih dan menerima orang baru di dalam hidupnya, sungguh tidak pernah terbayangkan olehnya.

Apa mereka tidak mengerti retakan dalam hati ini saat aku dipaksa melupakan Sam begitu saja?

"Dek ..." Satria memanggil amat lembut. Terlanjur sudah, mau seperti apa pun ia memoles semuanya, adiknya tetap akan kecewa mendengar pernyataan bernada permintaan ini.

Nahdine terkesiap. Ia menatap sendu lelaki bermanik coklat terang itu. Ia tidak mampu mengatakan apa-apa. Semuanya sudah terwakili dari tatapan matanya yang memancarkan rasa perih yang begitu kentara.

"Dek ... sebenarnya Abang bilang ini bukan tanpa alasan ..." Nadhine tidak lagi mampu mengangkat wajahnya. Namun Satria tetap melanjutkan kalimatnya karena ia tahu gadis itu pasti mendengarkan omongannya.

"Kamu pasti masih kenal Ikram, kan?" Ikram menatap kaget Satria. Sudah saatnya. Ia memasang tampang bersalah. Ia sungguh tidak tega menambah perih yang terlanjur membuih di hati gadis yang sudah ia kagumi sejak awal pertemuan mereka.

Sedang Nadhine, ia masih setia dalam bungkam. Merasa tidak punya energi lebih untuk melawan. Biarkan saja kakak tertuanya menuntaskan kata-kata yang nampaknya memang sengaja dipenggal-penggal. Entah apa tujuannya. Membuat orang penasaran ... mungkin.

"Kram ... kamu coba ngomong, deh."

Nadhine sempat melirik lelaki itu dari ujung matanya. Ikram nampak salah tingkah. Walau tidak begitu kentara, ia paham maksud kedatangan lelaki itu di rumah ini. Karena perasaan dan peristiwa seperti ini kerap dialaminya beberapa waktu terakhir setelah kepergian Sam. Meskipun inilah puncak dari semuanya, karena kakaknya kini nampak tidak main-main. Begitu sungguh-sungguh.

Jadi, ini sungguhan, ya?

"Dhine ... maaf sebelumnya karena saya lancang." Ikram mengucap dengan suara bergetar. Tidak tahu berapa ton ketakutan yang tengah ia pikul saat ini.

Hati-hati ia melanjutkan, "Saya sudah bilang ke Satria, menceritakan semuanya. Saya ... saya sudah tertarik dengan kamu sejak kuliah S1 dulu. Bahkan hingga sekarang."

Sebatas tertarik, ya?

"Saya sempat ingin melamar kamu saat itu, karena saya sudah punya cukup modal untuk menikah. Tapi ... kamu terlebih dahulu dilamar oleh laki-laki lain." Ikram mengentikan ucapannya. Wajahnya berubah sendu mengingat peristiwa itu.

"Tapi sekarang, setelah saya menceritakan semuanya ke Abang kamu. Setelah saya mendapatkan restu dari keluarga kamu. Setelah semuanya nampak lebih mudah ... maukah kamu menerima lamaran saya? Saya tahu saya lancang, tapi saya harap kamu bersedia memikirkan niat baik ini."

Ikram menghentikan pembicaraan yang terkesan berat ini. Ia sudah menyiapkan diri atas segala keputusan orang yang mengambil separuh hatinya itu. Walau dalam benaknya, masih tersimpan harapan besar agar Nahdine sudi memikirkan apa yang telah ia katakan.

Satria di tempat duduknya pun sudah harap-harap cemas dari tadi. Berkali-kali ia membunyikan buku-buku jarinya, menimbulkan suara yang mampu ditangkap telinga-telinga yang saat itu terbuka lebih lebar dari biasanya.

"Maaf ..."

Satu kata itu sudah cukup membuat dua pasang mata membola. Suara degup jantung Ikram mengeras. Harapan yang sempat ia tanam dengan sukacita gugur begitu saja.

"Maaf, sampai kapan pun saya gak bisa melepaskan Samudera dari hati saya."

Nadhine menjeda.

"Mungkin Bang Ikram udah dapat restu dari keluarga saya, tapi seorang janda berhak menentukan nasib asmaranya nanti akan seperti apa. Abang carilah orang yang tepat, yang pastinya bukan saya. Saya gak mau menoreh luka di hati orang yang tidak bersalah."

Kata-kata itu diucapkan amat lembut dan penuh kehati-hatian. Namun tanpa bisa dicegah, penolakan ini tetap meninggalkan luka dalam hati lelaki itu. Nyatanya pinangan ekslusif ini tidak membantu banyak untuk membobol dinding pembatas dalam hati gadis itu.

Ikram menarik senyum manis yang nampak ia paksakan. "Iya, saya paham. Saya lega setelah memberi tahu kamu tentang perasaan saya. Makasih, ya!"

Nadhine membalas senyum itu sendu. Walau ia memutuskan menerima pun, ia tidak yakin mampu berbakti pada suami di saat bayang-bayang Sam sudah menjadi makanan sehari-harinya.

Maafkan aku~ tidak pernah mudah melepas ikatan yang sudah melekat begitu erat, lalu menggantikannya dengan spesi baru yang akan terasa kaku saat dipaksakan beradu tatap.

**

Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Semoga suka, ya:)
Happy reading! ◉‿◉

LarghettoWhere stories live. Discover now