Suatu soredi ambang petang

28 2 0
                                    

Sebuah bayangan tiba-tiba mendekat dan menampakkan diri dari arah belakangnya, namun Wikha tak berselera melirik sumber bayangan, lebih-lebih untuk berdiri dari duduknya apalagi berbasa-basi menyambutnya. Mata sayunya menengadah ke langit jingga dengan tatapan  penuh beban. Sebentar kemudian, ia menoleh.

Bayangan itu ternyata berasal dari sosok pria muda tampan putih pucat yang sedang berdiri dibelakangnya. Gadis itu lalu mengembalikan pandangan kearah semula, diam, tak ada jawaban dan melayangkan lagi ekspresi sebelumnya menembus semburat senja

Menyadari tatapan Wikha yang dingin, Pria muda tak dikenal itu menjadi kikuk. Lalu ia melangkahkan kakinya kedepan dengan laju perlahan, pemuda itu berdiri menjaga jarak disamping Wikha yang statis memandang langit jingga dengan sorot yang mengambang.

Pemuda pucat itu memandang Wikha sesaat, perlahan semakin lekat dan semakin lama semakin menajam. Rambut panjang gadis itu dibelai mesra angin sedang yang membuatnya terlihat semakin cantik dari balik senja yang perlahan menuju temaram. Dari ekspresi Wikha yang tampak lesu dan putus asa, pemuda itu menemukan setumpuk kesedihan yang melayang-layang seakan memelas iba pada langit diatas sana. Ia bisa merasakan aura kelabu yang dipancarkan Wikha yang tidak dikenalnya dan tidak pula mengenalnya. Hatinya mulai tersentuh.

"Kalau nggak ada urusan disini, lebih baik pergi saja!....." Spontan kata-kata mengusir itu diucapkan Wikha dengan lemah gemulai. "Aku nggak punya tenaga untuk meladeni siapapun sekarang." Sambungnya tanpa memindahkan tatapan kosongnya yang menengadah kelangit.

Pemuda pucat itu mematung beberapa saat. Ia semakin dan semakin kikuk.

Wikha lalu menengok. "........ Maaf." sesalnya tulus. Rupanya merasa bersalah juga ia dengan kata-kata yg diucapkanya. "Aku hanya sedang benar-benar lelah. Nggak punya energi untuk meladeni siapapun saat ini." sambungnya dan kini mata indahnyanya mulai berkaca.

Pemuda itu kembali menatap lekat wajah sedih Wikha dan tatapan merekapun bertemu dalam satu garis sejajar yang tak berwujud.

"Setahuku Indonesia belum membuat undang-undang yang melarang rakyatnya untuk bicara." Sindir Wikha kemudian dengan wajah acuh tak acuh lalu mengembalikan tatapan ke panorama langit senja.

Pemuda pucat tak dikenal itu kembali kikuk setelah mendengar sindiran berfrekuensi super rendah Wikha. Ia seolah tak tahu harus bagaimana.

".... Kamu lagi ada masalah?" Wikha mencoba memancing pemuda itu untuk bicara, Wajah teduhnya tampak hambar seakan menyimpan beban atau malah tidak berbeban.

".... Mau cerita?" pancing Wikha lagi, namun pemuda itu masih saja diam dan membuat Wikha kehilangan selera untuk mengajaknya bicara. Wikha kembali melepas pandangannya ke langit sana seolah-olah langit itu adalah gravitasi pandangannya.

Suasana berganti sunyi..... sampai entah karena alasan apa, akhirnya Wikha mulai bertutur begitu saja pada pemuda yang sama sekali tidak dikenalnya itu. Dorongan beban memicunya untuk berkisah tanpa pikir-pikir lagi. "Aku bingung... Aku nggak tau harus bagaimana... Aku capek kayak gini.'' Air mata Wikha tertumpah memulai ceritanya. Dan pemuda misterius itu semakin tersentuh hatinya. Untuk Sejenak, suasana kembali menghening...

"Sorry!... jadi melankolis gini..." sesal Wikha.

Pemuda pucat itu masih berdiam dengan raut hambarnya.

"Kadang semua hal membuat kita kelelahan, dan semua jalan terasa membuntu... tapi, bagaimanapun, waktu memaksa kita untuk terus berjalan. Kita tidak bisa mengelaknya. Dan pada akhirnya, kita mampu melewatinya seberapa seringpun kita mengatakan tidak... Yang kita perlukan hanya bertahan. Ajaib bukan?" Wikha menasehati dirinya sendiri. Matanya sembab dan ia kembali menatap sosok asing yang berdiri satu meteran disampingnya. Sosok itu balas menatapnya dengan raut penuh makna.

Suatu sore di ambang petangWhere stories live. Discover now