Aksara Nata || 3. Rahasia kecil

547 152 449
                                    

"Hargai pertemuan semahal mungkin, sebelum perpisahan mampu membayar apa yang kamu punya."

-Aksara Nata

• • • • • ✤ • • • • •

"LU merasa nggak sih muka kita mirip monyet?"

Daniel menatap datar wajah Aldo, ingin sekali ia pukul wajah penuh dosa itu. Mata beler beradu dengan kedua pupil hitam Daniel.

"Iya kagak sih, menurut sains juga begitu kan kita dari monyet?"

"Kera goblok." Sarkas Daniel sembari menggeleng, melepas earphone kiri-nya. Aldo yang duduk di sampingnya tidak bisa diam, bahkan tangannya memegangi penggaris besi, lalu menggesekkan benda tersebut ke meja, hingga permukaan meja seringkali tidak rata, kurang kerjaan itulah julukan untuk Aldoafta Mahmudi.

"Ya kera sama ae kek monyet." Sahut Aldo kesal.

Daniel menghela nafasnya, memutar bola matanya jengkel, "Ya beda, kalo kera mah pinteran, nggak kayak lu, monyet."

Muka lo sini deketan biar gue nyampe buat ngeludah Niel, cecar Aldo dalam hati, udara-udara kekesalan menyatu menggumpal menjadi asap emosi.

"Katanya ya katanya," Daniel mendekatkan badannya ke pada Aldo, Niel aghu masih suka cewek ungg, batin Aldo, "Kalo lu dikatain terus marah, tandanya bener."

"Anjir lu."

"Nggak apa-apa sih jadi anjing, masih gantengan. Daripada monyet."

Aldo berdiri dari kursi, "GUE BOTAKIN LO NIEL SOSIS LU."

"Woi ada Pak Iwan." Gusar anak-anak dalam ruangan kelas tersebut. Ada yang terlihat santai saja, ada pula yang berlarian ke tempat duduk masing-masing. 

"Assalammu'alaikum anak-anak."

Mari fokus kepada Aldo, laki-laki itu terduduk rapih dengan tangan yang terlipat diatas meja, sedangkan teman sebangkunya tidak mengubah posisi duduknya.

"Wa'alaikumsalam."

Pak Iwan berdiri tegap di depan kelas, tersenyum manis. Pak Iwan adalah guru tertinggi di sekolah, apalagi wajah yang manis dan kepandaian-nya dalam bahasa Inggris membuatnya menjadi guru idola. "Kalo belajar itu rapihin barisan mejanya, harus rata sekarang barisannya."

Otomatis semua murid merapikan barisan mejanya,  menggeser benda kayu tersebut dengan serius, "Eh woi lu kurang rapih." Omel salah satu gadis dalam kelas, membuat Aldo menggerutu, apa si bawel bat,  "Santai aja santai, kayak saya." Ujar Pak Iwan, dengan nada yang santai pula. 

Tanggapan Pak Iwan mengundang tawa seisi ruangan.

"Kedua, nggak boleh ada tas diatas meja." Suara-suara tas yang diturunkan mulai terdengar, suara resleting yang ditutup, suara angin dari Goa Kotoran pun dapat ditangkap telinga, bahkan hidung juga bisa menangkapnya.

Kalo misalnya mau pake almameter ya satu kelas harus pake, kalo mau nggak pake ya kompakin nggak pake semuanya."

Aldo memelas, dengan terpaksa ia melepas almameternya, memasukan asal almameter tersebut ke dalam laci meja, "E-ehh, jangan gitu masukin almet." Protes Pak Iwan. "Mana sini saya ajarin."

Ah bau gue kecium kalo almet dibuka, keluh Aldo risau.

Pak Iwan mengambil almameter Aldo, "Kita gunakan cara lipat cepat." Lelaki berkumis tipis itu melipat pelan almameter tersebut, menggunakan lengannya yang besar, ia lipat rapih benda yang rupanya seperti jaket itu. "Nah begini lain kali, oke?"

Aksara Nata [ SEGERA TERBIT ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang