BRUK...

Aku menoleh dan mendapati Zia sedang memukuli Fabi. Mataku menangkap pisau yang terjatuh di dekatnya. Sudah berdarah.

DEG

Jantungku terasa berhenti berdetak. Aku melihat orang yang berada di pangkuanku dengan gemetar. Badai sedang memegangi perutnya sambil meringis kesakitan.

Semuanya terlihat seperti bayang-bayang. Aku bahkan tidak dapat mendengar suara-suara orang di sekelilingku. Aku hanya bisa merasakan polisi datang bersama Ruth dan Awan. Mengejar Rado yang hampir kabur dan membantu Zia juga Atha untuk menangkap Prisil dan Fabi.

Aku mendongak. Mencari pertolongan. Zia melihatku dan langsung mendekat.

Ia melepaskan semua ikatan, di mulutku, di tangan dan juga ikatan longgar di kakiku.

Setelah semuanya lepas, aku langsung menatap Badai yang sedang memejamkan mata. Aku memegang tangannya yang menutupi perutnya. Aku melihat darah..

Tidak... tanganku sekarang penuh darah. Tanganku... darah... ini darah Badai?

***

“Operasinya sukses. Tidak ada organ yang terkena tusukan. Jadi, beberapa jam lagi dia akan sadar.”

Seorang dokter tua tersenyum manis dan menepuk pundakku. Dia pergi setelah menjelaskan bahwa operasi Badai sukses dan kondisi Badai baik-baik saja.

Orang tua Badai sangat terkejut saat menemukan anaknya tertusuk pisau. Meskipun tidak marah denganku, sebagai penyebab Badai terluka, aku tetap saja merasa bersalah.

Dari awal aku ingin mengatakan pada mereka bahwa seharusnya mereka memilih Prisil saja. Tapi tak ada satupun dari mereka yang mengerti tatapanku. Jika mereka memilih Prisil, tidak akan sesulit ini.

Aku tertunduk di lorong rumah sakit. Sekarang aku tidak berani mengunjungi Badai. Aku tidak punya nyali.

Ah... aku mendongak. Sejenak aku teringat tentang kedua orangtuaku. Mengapa mereka tidak menelfonku untuk menanyakan mengapa aku belum sampai? Aku mengganti nomorku sejak Zia berhasil diselamatkan saat penculikan lalu. Pasti orang tuaku sangat khawatir. Apakah mereka kembali ke Indonesia?

“Ara...?”

Aku menoleh ke belakang. Kedua mataku membelalak lebar saat mengetahui siapa orang yang memanggilku. Saat menyadari bahwa dirinya tidak salah orang, dia menghampiriku dengan langkah tergesa-gesa.

“Kamu ke mana aja selama ini?” tanyanya dengan raut wajah khawatir. “Aku nyariin kamu.”

Mulutku masih menganga lebar sangking kagetnya dan aku hanya bisa mengerjap-ngerjapkan mataku melihat sosok di depanku.

Namanya Davidio. Aku memanggilnya Davi. Kami kenal karena Kak Yasumi mengenalkannya sebagai muridnya yang pintar.

Mengetahui bahwa aku masih cukup terkejut dengan kehadirannya, Davi mengajakku untuk pergi ke taman rumah sakit dan duduk di sana untuk berbicara.

“Kapan kamu pulang ke Indonesia?” tanyaku masih terkejut.

Dia tersenyum. “Seminggu yang lalu.” Dia menatapku. “Wajahmu kenapa?”

Ah... ini pasti karena lebam-lebam yang disebabkan penculikan lalu deh. Uh, menyebalkan sekali.

“Nggak apa-apa. Cuma jatuh.” Aku beralasan.

“Aku bertemu kedua orangtuamu.”

DEG

Oh tidak. Davi bertemu kedua orangtuaku? Bukankah mereka pergi ke Jepang?

UNBELIEVABLE MOMENTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang