Epilog

66 6 18
                                        

Satu minggu berlalu. Setelah pertarungan melawan Deus Ex Solis. Sore hari tenang ditemani hembusan angin sejuk. Udara yang dihirup para warga terasa sangat segar tanpa adanya ketakutan akan Scythe. Senyum pada anak-anak telah kembali, menandakan sebuah pencapaian mereka tidaklah sia-sia. Ketenangan yang didapat dengan sebuah bayaran besar ini patut untuk disyukuri.

Seseorang memegang sebuah surat. Membacanya perlahan. Ia berada di komplek pemakaman. Saat dibaca, angin berhembus menuju tempat yang tak diketahui.

Sesuatu menjadi sangat berarti karena ia telah hilang? Atau, karena telah terjadi? Yang pasti, aku merasakan keduanya.

Angin itu sampai pada penjara. Tepat pada sel Abraham. Ia sedang mengerjakan sesuatu. Sebuah project bernama Cure. Abraham tersenyum pahit. Menyesal akan perbuatannya. Namun tak menyerah untuk melakukan pembayaran atas hal yang sudah ia lakukan. Ia tersenyum lagi, melihat foto putrinya. Lalu melanjutkan pekerjaan.

Aku bersyukur, atas segala hal yang sudah terjadi. Aku bertemu denganmu, Margaret. Bertemu dengan Willy. Dan yang lainnya.

Kata-kata itu terbang lagi bersama angin menuju Jareth yang jauh. Ia berjalan tanpa henti dan akhirnya tiba di sebuah panti asuhan, dengan kondisi lumayan parah namun masih dapat digunakan. Sambil membawa tas gendong besar, mengenakan jubah abu-abu.

Tubuh mungkin hilang, tapi tidak dengan kenangan. Seseorang tak pernah benar-benar mati. Mereka tetap hidup, di hati orang yang mengingatnya.

Matanya memandang lurus ke depan. Anak-anak berlarian dengan gembira, walau pakaian mereka kotor. Tak ada yang peduli. Mereka semua, bahagia apa adanya. Jareth tersenyum miring. Beberapa orang termasuk seorang wanita muda menyadari kehadirannya. Mereka semua nampak haru dan berlarian ke arah Jareth.

"Aku pulang."

Angin berhembus lagi. Menuju pada tempat yang indah, di mana pemandangan berhadapan langsung dengan lautan. Fedora khas menutup rambut magenta. Hampir tertiup angin kencang. Namun sempat ditahan oleh pemiliknya. Ia tersenyum, memandang surya yang sebentar lagi tenggelam.

Kehilangan bukan berarti selamanya. Aku percaya itu. Sebelum diriku menghilang sepenuhnya. Aku ingin surat ini dibaca suatu hari kelak. Entah kapan itu. Aku ingin kata-kata ini menjadi bukti. Bahwa aku sudah menjalani hidup tanpa penyesalan.

"Damien, sebentar lagi para pengamat akan berkumpul. Bersiaplah," ucap orang di belakangnya.

Yang dipanggil tak merespon, hanya memberikan senyum pahit lalu berbalik. "Dasar. Lebih baik aku bertemu wanita perhatian daripada para orang menyebalkan itu."

Angin kembali tiba di tempat awal. Chaiden lah yang memegangi surat itu. Cade juga berada di pemakaman. Di hadapannya terdapat dua batu nisan dengan nama Margaret Laurie di kiri.

Perjalanan yang kulakukan bukan untuk mengembalikan masa lalu. Tapi untuk menciptakan masa depan. Saat harinya telah tiba. Aku yakin. Semuanya akan menjadi sangat berharga dan berarti. Baik bagiku maupun bagi kalian.

Lalu di kanan bertuliskan nama, William Claus. Hanya dipisahkan oleh jarak beberapa meter tanah.

Terima kasih. Aku memang tak bisa menjalani kehidupan yang kuinginkan. Tapi aku ingin, kau menjalaninya. Aku percaya padamu. Pada harapanmu. Sang ter-

Surat itu terpotong. Tak lagi ditulis. Hanya berakhir sampai pada kata tersebut.

Tak ada emosi dari ekspresi Cade. Matanya menatap penuh kekosongan. Diam tak bersuara sedikitpun.

Setelah beberapa menit terus menatap dua batu nisan itu, ia sedikit dikejutkan oleh suara yang dikenalnya. Netra pindah menatap orang di belakang.

"Tidak kusangka mereka berdua akan dikubur berdekatan seperti ini. Ya, tidak dekat-dekat juga, sih," ucap seorang pria.

PATH FROM END : ONE Last Bullet [Complete]Where stories live. Discover now