BAB 25 - Without You

9.4K 389 6
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.












BELLA

Pagi-pagi sekali aku menyiapkan makan untuk diriku sendiri. Hanya sekadar telur dadar dan nasi putih. Perutku yang semakin membesar, membuat makanku sedikit rakus.

Entah, tiba-tiba saja aku ingin menangis. Moodku memang masih berantakan antara sedih, kecewa, dan sedikit tenang. Setelah sedikit tenang, disudut hatiku ada satu titik rasa bersalah pada Pras. Karena tak sempat mendengarkan penjelasannya. Aku merasa sangat egois. Apa lebih baik aku memberinya kesempatan?

Jujur saja, aku memang mencintai Pras. Jangan tanya kapan, karena diriku sendiripun tidak tahu kapan terjadi. Jadi saat makananku sudah habis. Aku menangis sesegukan dikamar, sambil membaca chat kami yang dulu-dulu.

Walau kami serumah dia selalu memgirimku pesan ketika dia berada diluar rumah.

PRAS : knock knock! Morning it's sunny out here!

Itu pesan yang dikirimkannya saat aku masih tidur dan dia sudah berangkat ke kantor.

Bella : iya nih kasurnya posesif banget. Aku nggak dilepasin.

PRAS : bangun, dah siang. Ntar aku bakar kasurnya.
PRAS : Dilap dulu ilernya.

Bella : enak aja, aku nggak ileran.

PRAS : gapercaya.

Dan aku me-scroll ke atas. Membaca lagi chat chat lucu kami.

PRAS : cara bahagia gimana?

Bella : tarik ujung bibir kanan dan ujung bibir kiri keatas

PRAS : gabisa aku harus liat tutorial darimu.
PRAS : sini aku buat kamu senyam senyum sendiri.

Bella : bgst

PRAS : HEI! ALUS YA BAHASANYA.

Fix aku mirip remaja yang lagi galau marahan sama pacarnya. Dan gengsi berat buat ketemu. Tapi benarkan bahwa Pras memang keterlaluan?

Akhirnya kemarahanku luntur sedikit, dan aku membuka blok nomor Pras. Aku tidak berani untuk memulai chat.

Karena jujur saja ada rasa kesal yang mengganjal. Rasa ingin membuat dia merasa bersalah. Entah kenapa aku ingin demikian. Aku tahu itu sifat yang jelek.

Walau tanpa dia aku merasa sepi. Yang aku tahu menghilang dan dicari memang menyenangkan. Sangat menyenangkan.

Sebenarnya aku sangat ragu untuk mengajukan cerai kepada pengadilan agama. Aku juga memikirkan nasib anakku jiga aku bersikukuh. Dan sedikitnya aku malu karena terlalu bicara melantur kemarin. Saat ini aku ingin menarik semua perkataan bocahku. Mengantinya dengan kalimat, "Pras beri aku waktu untuk berpikir."

Andai saja aku bisa mengganti semua kalimat kerasku menjadi kalimat sederhana khas orang dewasa. Ya aku mengakui bahwa aku ternyata memang terlalu kekanak-kanakan. Kemarahan membutakan otakku, hatiku. Aku benar-benar gelap mata.

Meski aku tahu apa yang Pras dan mereka tidak bisa dibenarkan. Seharusnya aku bisa sedikit berpikir lebih jernih.

Suara dering telfon menyadarkanku bahwa aku sekarang berada di Lembang. Dan saat kulihat nama siapa yang tertera. Aku sedikit kecewa karena bukan Pras yang menelpon, melainkan Bram.

Aku memencet tombol hijau, dan langsung mendapat teriakan.

"BELLA!!!" Aku segera menjauhkan ponsel dari telingaku. "Akhirnya kamu angkat juga! Aku khawatir."

Dan betapa terkejutnya aku ketika ternyata suara itu yang selalu kudengar setiap harinya. Kurindukan saat ini. Ya. Itu suara suamiku, Pras.

Namun alih-alih kujawab. Aku mematikan sambungan telefonnya. Antara senang, malu, kesal semuanya bercampur aduk.

****

Pras.

Meski bi Inah bilang Bella ada padanya. Tetap saja, aku tidak tenang, ingin sekali mendengae suaranya. Jadi kuputuskan untuk menemui Bram, ketika mama dijaga tante Raina dan tante Anggi.

Kenapa Bram? Karena aku yakin Bella tidak punya pikiran untung memblock Bram. Juga pasti mengangkat telepon, yang sialnya statusnya adalah kakak iparku, walau ternyata dia sama denganku, anak angkat.

Sebenarnya aku tak peduli kepada pak Restu yang bahkan diam tidak menjelaskan apapun kepada Bella. Tapi mungkin setelah ini aku harus menemuinya, jujur saja semua rasa amarahku justru lebih banyak kepada beliau. Yang notabene, ayah kandung, ayah biologis dari Bella.

Yang dengan pengecutnya melarikan diri. Ayah macam apa? Sama sekali tidak punya hati.

Saat ini, didepanku Bram memberikan ponselnya. Untung saja aku datang tepat waktu saat jam istirahat. Kujelaskan Bella kabur dari rumah. Dan Bram pun ikutan panik.

Kulihat sudut matanya sedikit memancarkan sebuah rasa yang kutahu itu pasti untuk istriku. Namun segera dia rubah mimik wajahnya, dia pintar mengatur ekspresi, ternyata.

Ketika aku memencet nama Bella. Dan ternyata tersambung. Egoku sedikit terluka. Namun semua rasa itu hilang ketika akhirnya panggilanku dijawab.

"Bella akhirnya kamu angkat juga!!!" Seruku. Sebelum aku melanjutkan kalimatku, kudengar suara..tuttt.

Dia mematikan panggilanku. Aku mendesah kecewa. "Lo tahu tapi Bella kemana?"

Aku mengangguk. "Rumah ART gue, di Lembang."

"Yaudah kasih alamatnya, pulang sekolah gue kesana buat mastiin keadaan Bella."

Mataku menyelidik, dia langsung berdecih. "Gue mastiin adek gue sama adek lo nggak apa-apa. Dan lo harusnya datengin bokap gue, lalu temuin Bella. Beres."

"Nggak semudah yang lo bayangin, tapi oke ntar gue minta alamatnya ke ART gue. Nanti gue kasih sama lo," Kataku pasrah. "Inget jangan lo aneh-aneh sama bini gue."

"Yakali gue buntingin orang bunting," jawabnya.

Yaiya sih. Tapi tetap saja kan, aku was was.

Duh, Bell, aku kangen banget kamu.

Aku berbalik menuju mobil dan berpamitan kepada Bram. "Gue balik kantor dulu kalo gitu, ntar gue kabarin."

Dia hanya mengangguk. Ketika aku berada di dalam mobil dan mengecek ponselku. Panggilan tak terjawab.

Bella


Hatiku sedikit kaget. Dan ya, aku senang bukan main.

24 Juli 2019

Funfact chatan diatas adalah chatanku sm gebetan wkwkwkwk. Tau deh cringe apa enggak, menurut aku mah gemes. Lol. Dasar bucin.

Btw kasih aku semangat, supaya cepet menyelesaikan cerita ini, dengan cata like, komen, juga share. Thx u💕💕💕💕

He Buys Me ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang