Go Wild For A While.

Start from the beginning
                                    

          Airmata Arun langsung menetes begitu panggilan diputuskan. Benaknya berhitung dengan cepat dan gadis itu sadar kalau ia tak punya banyak waktu untuk mengumpulkan uang. Bulan depan secara berturut-turut ia harus melunasi sisa uang semester dan juga uang kos. Tanpa bukti pelunasan uang semester, ia tidak akan bisa mengikuti ujian akhir. Dan tanpa bukti pembayaran uang kos, ia akan didepak dari tempat tinggalnya sekarang.

          Suara gemerisik dari pintu membuat Arun menghapus airmata. Sosok langsing Andrea memasuki ruang makan dan ketika pandangan mereka bertemu, Arun tahu kalau gadis itu terkejut melihat sisa tangisannya. Tapi mungkin kemarahan Andrea lebih besar daripada rasa pedulinya, karena kali ini gadis itu hanya berlalu menuju kulkas, lalu mengeluarkan sekotak susu khusus untuk diet.

          "Mbak," panggil Arun setelah berdebat dengan dirinya sendiri, "Aku.... boleh minta tolong?"

          "Apaan?"

          Kedua tangan Arun mengepal karena rasa malu yang perlahan naik ke tenggorokan hingga menimbulkan mual. Rasanya gadis itu bisa melihat seluruh harga dirinya jatuh berserakan, ketika dengan nekat meminta pertolongan pada orang yang sedang marah padanya.

          "Aku boleh pinjam uang Mbak? Aku... sedang butuh uang."

          Sejenak pundak Andrea membeku, seakan gadis itu ingin membalikkan tubuh untuk menanyakan keadaan Arun, namun batal di saat-saat terakhir. Setelah hening beberapa saat, akhirnya gadis itu melemparkan senyuman terpaksa, "Maaf ya Run, aku juga lagi banyak kebutuhan belakangan ini."

          "Oh...," sahut Arun pelan, "Iya, nggak papa, Mbak."

          Arun melepaskan tawa pedih begitu Andrea beranjak pergi. Ternyata ia benar-benar tidak punya harga diri, karena masih berani meminjam uang, pada orang yang bahkan tak mau menatap matanya. Tapi Andrea adalah jalan keluar terakhir, karena di kos ini, hanya ia yang sudah bekerja dan sering meminjamkan uang pada anak-anak lainnya.

          Mencoba meminjam pada Indi? Entahlah. Arun tidak pernah bisa menebak keuangan gadis itu. Indi memang tidak pernah mengeluhkan keuangannya, tapi gadis itu juga tidak terlihat seperti orang kelebihan uang saku. Barang-barangnya tak terlalu banyak bila dibandingkan anak-anak kos lainnya, pun bukan berasal dari merk-merk terkenal, kecuali Kai yang memberikannya pada gadis itu. Indi bahkan hanya memiliki dua batang pewarna bibir buatan dalam negeri, kalah oleh Arun yang tomboy, namun setidaknya memiliki lima batang pewarna bibir keluaran brand ternama.

          Arun masih menimbang-nimbang untuk meminjam uang pada Indi ketika ponselnya kembali bergetar. Nama Radeva menari-nari di layar ponsel, membuat Arun bertanya-tanya, bolehkah ia memanfaatkan pemuda kaya ini?

          Arun tidak ingin jadi orang jahat, tapi ia harus memikirkan masa depannya. Masa depan yang mungkin bisa diselamatkan, seandainya ia menerima Radeva menjadi kekasihnya.

          "Halo...," sapa Arun akhirnya.

          "Baru bangun? Lama banget ngangkat telepon."

          "Mh, gitu deh."

          Hening sejenak, "Kamu nggak papa?"

          "Hm? Memangnya kenapa?"

          "Aneh aja sih," suara Radeva terdengar ragu, "Biasanya galak dan ketus."

          "Ya udah, putuskan aja teleponnya kalau aku aneh."

          Radeva tertawa di seberang sana, "Maaf, maaf, aku cuma bercanda," lalu pemuda itu berdeham, "Nanti malam jalan, yuk?"

          Tolak. Tolak. Tolak, Aruna!!

JEDA - Slow UpdateWhere stories live. Discover now