"Belum."

Danil berdeham sebentar. "Ayo, ke kantin."

"Aku bawa bekal, Danil," jawab Radea, karena memang setiap hari dia membawa bekal dan Danil tahu itu. Melihat cowok di hadapannya hanya diam, Radea mengerutkan alisnya. "Danil, katanya ada urusan?"

Mau tidak mau Danil jujur. Cowok itu merapatkan punggungnya dengan sandaran kursi. Dia menghadap depan—tidak menatap pada Radea di sampingnya. "Jangan dekat-dekat sama Galang, Ra," kata Danil akhirnya.

"Kak Galang baik kok."

"Nggak, Ra. Lo aja nggak tau. Dia nggak baik buat lo."

"Aku sama dia cuma belajar, Danil."

"Iya. Tapi dekat-dekat, kan?" Danil menatap Radea. "Belajar, tapi nggak boleh dekat-dekat."

Radea mencebik. "Kenapa? Dia baik."

"Dia nggak baik," kukuh Danil.

"Kamu kenapa bilang begitu?"

"Karena gue tau dia. Dia nggak baik buat lo."

"Dia bukan buat aku. Dan dia nggak mau sama aku."

Danil memutar bola mata malas. Dia memijat pelan pelipisnya kemudian menatap Radea. "Lo itu polos. Gampang dia polosin."

"Aku nggak ngerti."

Danil mendesah berat. Ditatapnya gadis itu lekat-lekat. "Lo nggak usah ngerti." Setelah mengatakan itu, Danil bangkit. "Gue ke kantin," pamitnya. Cowok itu keluar, meninggalkan Radea dengan kebingungan.

Setelah Danil keluar, Radea hanya bisa menggerutu dalam hati. Karena ulah cowok itu yang tiba-tiba saja tidak jelas, belajarnya dengan Galang jadi tertunda. Radea membuka tasnya, mengambil kotak bekal berwarna ungu dengan botol air minum dengan warna senada. Kelas sedang sepi, kesempatan jam kosong sepertinya digunakan sebaik mungkin oleh anak-anak kelas ini.

🌇🌇🌇

Radea mengambil ponselnya, mengecek Instagram apakah novel dari penulis favoritnya sudah terbit atau belum. Senyum gadis itu merekah setelah tahu bahwa hari ini sudah open PO. Buru-buru Radea membaca cara pemesanan, dia tidak mau kehabisan. Gadis itu langsung memesannya saat itu juga.

Melihat wajah Radea di sampingnya yang semringah dan tidak biasa, Danil mengintip layar ponsel Radea. Gadis itu tidak sadar saking asyiknya.

"Ngapain?" tanya Danil, sangat dekat dengan telinga Radea membuat gadis itu sedikit kaget. Dia langsung menatap Danil.

"Apa?" tanya Danil bingung ditatap seperti itu, Radea memundurkan punggungnya.

"Jauh."

Danil berdecak. "Baru gitu doang," gerutunya, "tadi juga sama Galang deket banget." Ditatapnya Radea tidak terima, gadis itu masih dengan posisi tidak nyaman karena tubuhnya yang mundur ke dekat tembok padahal posisi duduknya lurus dengan kaki di kolong meja.

"Ngapain lo?" tanya Danil.

"Ikut PO novel," jawab Radea cepat.

Danil terkekeh. "Ra, lo cepet, ya, sekarang jawabnya. Nggak gagu juga kayak biasanya."

Gadis itu memperbaiki posisi duduknya seperti semula. Dia cemberut mendengar penuturan Danil. Memang, Radea sendiri merasa sudah bisa sedikit santai berinteraksi dengan teman sebangkunya itu, yang kukuh mengajaknya mengobrol walaupun sebelumnya sering diabaikan.

"Novel apa, Ra?"

"Horor. Kamu suka horor?" tanya Radea tanpa menatap Danil. Dia kembali fokus memesan novel yang tadi sempat tertunda karena cowok itu.

"Kos-an gue, tuh. Horor. Lo kalau suka horor ke kos gue aja tengah malam."

Radea berdeham, kemudian setelah selesai memesan dia menoleh pada Danil. Ditatapnya cowok itu serius. "Kamu takut hantu?"

"Manusia lebih sempurna daripada hantu, ngapain gue takut," jawab Danil mantap.

Seulas senyum gadis itu tergambar membuat Danil mengerutkan alisnya. "Kenapa? Nggak percaya?" tanya Danil, merasa diremehkan.

"Percaya," jawab Radea singkat. Gadis itu tidak menatap Danil lagi, dia memainkan ponsel. Namun tanpa cowok itu tahu, ada seulas senyum yang kembali gadis itu tampakkan. "Aku bukan ikut PO novel horor kok, tapi teenlit."

Danil berdecak, dia sudah dibohongi oleh gadis itu. "Judulnya?"

"Gesrek Couple."

Sesaat kemudian Radea ingat harus belajar dengan Galang. Dia buru-buru bangkit dan mengambil buku paket serta buku catatan belajarnya di laci. Danil yang paham akan itu berdiri dan keluar, berdiri di rongga antar meja agar Radea keluar lebih mudah.

"Aku ke perpus," kata Radea, sebelum akhirnya berlari dengan kepala menunduk.

Danil menatap langkah gadis itu yang buru-buru dari belakang. Sorot mata cowok itu datar seketika. Dia terus memandangi Radea sampai tidak terlihat lagi. Setelahnya Danil mengembuskan napas berat. Ada beberapa pertanyaan yang sebenarnya ingin sekali dia lontarkan untuk Radea, tetapi setiap melihat gadis itu semua pertanyaan menguap begitu saja dan tak jadi Danil utarakan. Karena itu, Danil memutuskan untuk pelan-pelan mencari tahunya sendiri ... tentang Radea.

Danil memasukkan tangannya di laci meja Radea, mengambil novel bersampul merah yang sekarang akrab di matanya. Cowok itu menatap novel di tangannya tanpa berkedip, berusaha mempertajam ingatannya pada malam itu. Novel yang sedang Danil pegang sekarang, sama dengan novel yang berada di nakas dalam kamar terlarang di indekosnya. Danil ingat itu.

Tidak menutup kemungkinan bahwa ini hanyalah firasat Danil, tetapi entah mengapa keanehan Radea menjadi masuk akal jika Danil menghubungkan keduanya—dengan keanehan indekos. Tentang novel, itu bukanlah hal akurat, karena setiap novel pastilah dicetak dalam jumlah banyak. Namun tentang rumah Radea yang berada di dekat sekolah dan dia rahasiakan. Tentang sosok yang Danil temui saat pulang larut malam itu. Danil, semakin tergelitik untuk mencari tahu.

"Nil!" panggil seseorang yang baru saja masuk kelas. Yosep berteriak dari pintu, cowok itu berkeringat.

Danil buru-buru memasukkan kembali novel Radea di lacinya. "Kenapa?"  tanya Danil pada Yosep yang masih berdiri pintu.

"Dipanggil latihan sama Pak Mukhlis."

Cowok itu mendengkus kasar. Kemudian dia bangkit dengan terpaksa menyusul Yosep yang sudah pergi lebih dulu ke lapangan.

🌇

TBC 💚

APA KABAR?

Mari kita selangkah lebih maju. Haha
VOTE DAN KOMEN YAAAA.

Introvert VS Ekstrovert ✔️Where stories live. Discover now