Episode Empat Belas

32 4 4
                                    

Kekuatan yang merasuk tiba-tiba di tubuhku membuatku merasa seperti bisa melakukan apa saja.

Rasanya kesadaranku belum sepenuhnya pulih ketika tanganku menahan Eric dengan sekali gerakan refleks, lalu meninjunya ke arah lain sampai ia terpelanting. Eric menggeram marah. Ia bersiap melancarkan serangan kedua tapi aku sudah terlebih dahulu mengantisipasinya. Bahkan kali ini percikan api bergerak mengikuti tanganku, membuatnya harus ekstra berhati-hati dan tidak gegabah menyerang.

Iblis sialan itu meminjamkan kekuatannya padaku, batinku sembari memandangi kedua telapak tanganku yang menyala terang dan bergurat-gurat seperti batu bara.

Percikan api itu benar-benar nyata. Aku bahkan masih belum bisa mempercayai apa yang saat ini kulihat. Kulitku terbakar tapi tidak ada luka melepuh. Api itu berkobar di tanganku tapi tak ada rasa panas yang kurasakan. Kutarik napas panjang lalu menghembuskannya perlahan. Aku bisa melihat kobaran api dan uap panas yang tersulut hanya dari udara yang kuhembuskan.

“Luar biasa!” gumam Teisar.

Aku tak punya waktu untuk meladeninya karena Anakin terlebih dahulu melolong untuk memerintahkan para siluman serigala menyerang. Aku bergerak refleks melayangkan tinju pada mereka satu per satu tapi yang keluar dari ujung tanganku malah tembakan bola api yang luar biasa. Dalam sekejap serigala-serigala itu ketakutan dan mulai melarikan diri melihat teman-temannya dibakar hidup-hidup sampai hangus.

“Belum selesai!” kali ini Anakin mendesis dan sepasang siluman ular yang harusnya sudah dikalahkan oleh Gian itu pun bangkit lagi. Mereka menyerang membabi buta. Meski aku bisa menahan serangan mereka, tapi tenagaku masih belum cukup membakar ular-ular berukuran raksasa itu. Terlebih, aku harus terus melindungi Gian yang tidak berdaya di tanah, sehingga lama-lama aku sendiri mulai kepayahan.

Aku berusaha memutar otak, mencari celah. Anakin terus mendesis memberi perintah pada siluman-siluman ular itu. Jika asumsiku benar, iblis setengah ular yang merasukinya tadi pasti adalah sumber kekuatannya dalam mengendalikan para siluman. Selama pertempuran tadi kulihat ia harus mengeluarkan suara-suara tertentu untuk memberi perintah pada para siluman. Jadi, jika aku bisa membuatnya tak mampu lagi mengeluarkan perintah, seharusnya dia sudah tak bisa lagi melawan.

Aku pun berusaha menyemburkan api dengan tinjuku melalui celah yang kulihat. Masih kurang dalam. Apinya keburu menghilang sebelum mencapai Anakin. Kemudian kusemburkan lagi tapi lagi-lagi gagal karena aku harus berguling menghindari ludahan bisa salah satu siluman. Lalu aku berusaha membidik dengan benar untuk ketiga kalinya. Kutarik napas panjang dan kutenangkan diriku. Kemudian kukerahkan seluruh tenaga yang kupunya dan kulayangkan tinjuku ke arah Anakin.

Swisshhh!

Pancaran sinar panas melesat dari ujung jariku seperti anak panah. Anakin yang tak pernah mengira akan ada serangan semacam ini hanya mampu bertahan seadanya dengan kedua tangan tapi semua itu percuma. Sinar panas itu pun merobek tenggorokannya yang dengan cepat terbakar. Seketika ia menjerit dan jatuh berguling-guling, berusaha memadamkan kobaran api di lehernya dengan bantuan tanah.

Dugaanku tepat. Seketika saja siluman ular itu berhenti menyerang. Begitupun dengan Eric yang melangkah mundur. Telinganya turun ke bawah dan ia sampai meringkuk di tanah saking takut dan bingungnya akan kekacauan di sekeliling kami.

“Eric! Panggil Rosa dan yang lainnya!” perintahku, tapi si kikuk itu malah bingung dan mondar-mandir sendiri. “Cepat!”

Eric terkejut melihat reaksiku yang membentaknya. Maka ia pun berlari sekencang-kencangnya menuju kastil, membiarkanku sendirian menghadapi Anakin yang kembali bangkit setelah berhasil memadamkan api di lehernya.

Hulanhahar!” umpatnya dengan suara yang sudah nyaris tak terdengar. Anakin sangat murka dengan serangan barusan. “Henbali khau halimau bodoh!

Book of Secret CharmsWhere stories live. Discover now