Prolog

101 11 9
                                    

Namaku Waran. Saat ini usiaku enam belas. Namun, ada hal kecil yang aku ingin kalian ketahui sebelum kuceritakan kisahku.

Ketika usiaku sepuluh tahun, aku ingat pernah terbangun di tengah malam yang dingin. Hal itu memang kerap terjadi padaku – bahkan hingga bertahun-tahun setelahnya. Saat itu aku ingat hanya mampu diam memandangi langit-langit di tengah kegelapan, melamun mendengarkan alunan rintik hujan yang semakin lama semakin deras. Seisi rumah benar-benar tenang, sunyi, seolah tak ada lagi kehidupan. Seolah mereka benar-benar meninggalkanku sendirian.

Kutarik selimutku lebih tinggi dan kusembunyikan tubuhku yang menggigil di dalamnya. Aku memang punya masalah dengan kesehatan. Tubuhku yang lemah ini sangat rentan terserang penyakit. Maka dari itu, kuputuskan untuk memejamkan mata dan mencoba sekali lagi untuk terlelap. Namun, alam mimpi seakan-akan menolak. Lagi-lagi kutemukan mataku terbuka, lalu terpejam lagi, terbuka lagi. Begitu seterusnya. Hingga kepalaku malah terasa pusing karenanya.

Aku masih berusaha untuk kembali tidur ketika suara itu benar-benar membangunkanku. Suara seorang wanita. Entah menangis, entah mengerang. Suaranya bercampur dengan bunyi rinai hujan.

“Bibi? Judith?” panggilku, setidaknya Bibi dan sepupu perempuanku itu adalah dua orang yang paling mungkin menciptakan suara seperti itu. Atau… “Eunik?

Tapi si empunya suara sama sekali tak merespon. Ia tetap mengeluarkan suara aneh yang semakin lama semakin menyerupai isakan. Aku pun memutuskan untuk turun dari tempat tidur dan berjalan keluar, mengamati koridor yang sama lengangnya seperti kondisi di dalam kamarku.

“Judith?” panggilku sekali lagi, tapi lagi-lagi tak ada jawaban.

Suara itu membawaku menyusuri koridor lantai dua hingga ke ujung, lalu menuruni anak tangga menuju lantai satu. Semakin lama suaranya semakin kentara. Kini bunyi hujan tak lagi menyamarkannya. Perempuan itu tengah merintih kesakitan. Dia ada di ruang tengah. Dia menangis, sesekali meminta tolong. Tapi aku sudah sampai di sana. Dan aku masih belum bisa menemukan sosoknya.

“Bibi?” panggilku lagi, dan tiba-tiba suara itu menghilang. Lenyap seperti ditelan malam. Kini yang terdengar hanya bunyi hujan yang semakin deras.

Saat itu aku masih belum sadar bahwa diriku benar-benar sendirian di tengah kegelapan. Tidak ada seorangpun di sana. Dalam kondisi tubuh yang belum sepenuhnya pulih, aku berdiri tepat di tengah-tengah ruangan, mengamati sekeliling seperti seorang detektif. Lalu ketika aku cukup yakin tak ada yang mencurigakan, aku pun memutuskan untuk kembali ke kamar.

Setitik air menetes di bahuku. Kupegang piyamaku yang kini sudah terdapat bekas tetesan air hujan. Kemudian setitik air menetes lagi. Apa langit-langitnya bocor?

Tolong… a-ku…

Suara itu muncul lagi. Tapi kali ini sangat dekat. Seperti dibisikkan tepat di telingaku.

Tubuhku merinding, jantungku berdegup kencang. Aku mendongak dan menemukan sesuatu yang terbungkus kain transparan melayang di udara. Aku tak bisa melihatnya dengan jelas. Kegelapan membuatku tak bisa mengidentifikasinya. Tetapi sesuatu yang melayang itu mengeluarkan bau yang amat busuk.

Aku baru bisa melihat sosok itu dengan jelas ketika cahaya kilat menembus melalui jendela. Wanita itu mengambang di udara dengan seutas tali yang menjerat lehernya. Sekujur tubuhnya pucat seperti mayat, basah oleh hujan, dan matanya mendelik sementara kedua tangannya terulur seolah hendak menggapaiku.

Sa-kit…” suaranya tercekik. “Tolong… aku.

Kedua kakiku langsung lemas, dan seketika aku ambruk di lantai.

Namaku Waran. Dan aku sedikit istimewa : aku bisa melihat sesuatu yang seharusnya tak terlihat.

Book of Secret CharmsHikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin