Episode Satu

67 8 9
                                    

“Keluarlah, aku tidak akan menyakitimu.”

Aku semakin menunduk, mengulurkan tanganku lebih dekat kepada sosok anak laki-laki yang bersembunyi di antara celah lemari bufet yang sempit. Tapi keramahanku tak membuahkan hasil. Anak itu justru semakin mendorong tubuhnya masuk ke dalam, menyamarkan dirinya di dalam kegelapan, sambil terus memandangiku dengan sorot mata curiga. Aku menghela napas, tetapi toh tetap membujuknya untuk keluar dari sana.

“Ada apa, Waran?”

Kehadiran Bibi Utami seketika membuatku terkejut. Aku sama sekali tak menyadari kalau rupanya wanita itu sudah berdiri sedari tadi di sampingku. Wanita itu berdiri diam sambil memasang ekspresi keheranan. Sementara aku masih mencari-cari alasan, ia mengintip celah lemari tempat anak laki-laki tadi bersembunyi sebelum kembali memandangku dengan raut muka penasaran yang semakin besar. “Kau bicara dengan siapa?”

“Bukan, Bibi. Tadi aku cuma kesal karena kelingkingku terantuk” jawabku sembarangan.

Aku yakin betul Bibi tidak percaya pada jawabanku barusan. Tapi kelihatannya wanita itu tak punya banyak waktu untuk menginterogasi lebih lama. Jadi ia hanya menggeleng tak acuh sembari melangkah cepat mengisi termosnya dengan air panas dari dispenser. “Bagaimana kondisimu? Sudah merasa lebih baik?”

“Oh, itu… ya, aku sudah sehat.”

Bibi malah menyipitkan mata, berusaha menemukan kemungkinan adanya kebohongan meski sekecil apapun, kemudian berkata, “Wow, syukurlah. Kalau begitu kau bisa ikut sarapan sama-sama, dong?”

“Ya, tapi, kurasa aku masih perlu istirahat.”

“Kau akan istirahat seharian setelah ini. Jadi sekarang kau harus ikut sarapan bersama kami. Oke? Lagipula nanti sakitmu kambuh lagi kalau perutmu dibiarkan kosong.”

Sebetulnya aku malas. Tapi bujukan Bibi Utami membuatku tak bisa mengelak. Akhirnya aku pun mengiyakan tawaran tersebut sambil terus memikirkan bagaimana caranya supaya aku bisa meninggalkan meja makan lebih awal.

“Pagi, Waran,” sapa Paman Radi, suami Bibi Utami, tanpa mengalihkan perhatiannya dari siaran berita di televisi yang sedang melaporkan kasus penculikan. Seperti biasanya, pria itu selalu tampak lebih cerah di hari Minggu. Mungkin karena itu satu-satunya hari di mana ia bisa terlepas dari seragam kepolisiannya yang membosankan. “Sudah baikan?”

“Ya, Paman. Hanya tinggal sedikit pening” jawabku datar.

“Itu pasti karena lapar. Ayo, duduk. Kita sarapan sama-sama.”

Aku menurut dan duduk di kursi yang sudah sengaja ditarik olehnya. Setelah itu ia kembali fokus pada siaran berita sementara aku dibiarkan memandangi segala perbekalan yang telah tertata rapi di atas meja.

Hari ini adalah hari yang spesial bagi keluarga ini karena mereka semua akan pergi berlibur ke pantai. Semua, kecuali aku, yang tidak bisa ikut karena baru saja sembuh. Aku hanya bisa memandangi nasi gulung, karaage, tempura, dan hidangan lainnya yang akan segera mereka bungkus dan habiskan di pantai.

“Papa, di mana kausimpan topiku?” itu suara Judith, sepupuku. Suaranya yang keras dan melengking itu datang dari lantai dua dan terdengar hingga ke lantai satu. Paman tidak merespon panggilan yang pertama sehingga gadis itu harus mengulanginya sekali lagi.

“Di belakang pintu kamar!” teriak Paman, lagi-lagi tak mengalihkan perhatiannya dari siaran televisi.

Tak berapa lama kemudian aku mendengar suara langkah kaki Judith yang terburu-buru menuruni anak tangga. Judith merupakan anak semata wayang Bibi Utami dan Paman Radi. Gadis itu sebaya denganku. Kami bahkan pergi ke sekolah yang sama. Namun, berbeda denganku yang pemurung dan punya masalah dengan sistem imunitas, Judith remaja periang yang selalu bersemangat. Hobinya berkumpul dengan teman-teman dan berolahraga. Pokoknya dia punya kepribadian yang sama sekali bertolak belakang denganku.

“Pagi, semua!” sapa Judith sembari mengecup pipi ayahnya. Gadis itu sudah siap dengan dress pantai berwarna cerah serta topi lebar di kepalanya. Ia tampak begitu bersemangat sampai-sampai sisa krim penangkal matahari masih tertinggal di alis kanannya.

“Hati-hati saat menuruni tangga, Jud” tegur Bibi Utami yang tahu-tahu datang bersama sepiring telur goreng serta roti panggang di kedua tangannya. “Kakimu kan masih cedera.”

“Beres, Ma! Soalnya aku sudah tidak sabar main ke pantai!”

“Tapi kalau kamu sampai terjatuh, bisa-bisa kita batal pergi.”

“Mama, please, jangan bicara begitu.”

Ceritanya begini. Dua hari yang lalu – ketika aku demam dan terpaksa absen dari sekolah – SMA kami mengadakan festival olahraga tahunan. Judith berpartisipasi sebagai peserta lari estafet. Pada saat itulah, menurut kesaksian gadis itu, kemungkinan kakinya terkilir dan jadi sedikit pincang. Tapi sebetulnya aku melihat alasan yang lain : ada sesuatu yang menempel pada gadis itu. Sesuatu yang menyerupai anak perempuan, lusuh, dan mengerikan. Sosok itu mencengkeram erat kaki kanan Judith sehingga gadis itu harus berjalan terpincang-pincang menyeret sosok itu yang diam. Ketika aku mengamatinya lebih dekat, makhluk itu langsung melotot padaku seraya menggeram marah. Sehingga aku memilih untuk memundurkan sedikit kursiku supaya tidak terlalu dekat dengannya.

“Lihat apa kau?” semburan Judith langsung membuatku terkesiap. Setelah itu aku buru-buru membuang muka dan melahap sepotong roti panggang. Aku tak mau gadis itu salah sangka mengira aku baru saja mengamati betisnya. “Jangan-jangan kau lihat yang aneh-aneh lagi, ya?”

“Jangan macam-macam, Jud!” sergah Paman disertai pelototan ke arah gadis itu.

Book of Secret CharmsOpowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz