Excuse Me, Which Level Of Hell Is This?

Start from the beginning
                                    

          "Akhirnya ketemu juga," desah Indi ketika mendapati nasi goreng dan jus jeruknya masih tersedia di tempat semula.

          Setelah menggeser nasi goreng ke seberang meja tempat Kai duduk, Indi mulai mengaduk-aduk supnya. Sekarang setelah perasaannya lega, gadis itu mulai merasa lapar hingga hampir menenggelamkan kepala ke dalam mangkuk sup yang menghangatkan tubuh. Indi bahkan menghabiskan potongan-potongan wortel yang biasanya ia pindahkan ke atas piring Kai, hingga membuat pemuda itu mengomel, karena merasa kalau Indi terlalu sering memilih-milih makanan.

          "Maaf tadi ada telepon mendesak...." suara itu terjeda lalu digantikan dengan pertanyaan bernada terkejut, "Kamu siapa?"

          Kepala Indi terangkat dari atas mangkuk sup yang sedari tadi ditekuninya. Kedua matanya melebar kebingungan mendapati pria asing dalam balutan celana kain dan kemeja formal duduk di depannya, jadi dengan takut-takut gadis itu balas bertanya, "Bapak yang siapa?"

          "Saya yang harus bertanya. Kamu siapa? Kenapa duduk di meja saya?"

          Membela diri adalah desakan pertama yang dirasakan oleh Indi, jadi dengan tegas gadis itu menyahuti, "Ini meja saya kok."

          "Urusannya sudah selesai pak?" seorang perempuan dalam balutan busana kerja menghampiri, lalu ikut-ikutan melempar pandangan bingung pada Indi, "Loh? Adek ini siapa?"

          Indi tersinggung dipanggil seperti itu. Ia merasa perempuan ini sedang bersikap superior terhadapnya. Memangnya kenapa kalau mereka mengenakan busana kerja? Begini-begini kan Indi mahasiswa tingkat akhir, yang akan segera menyelesaikan pendidikan, lalu terjun ke dunia kerja. Memanggilnya dengan sebutan adek terdengar seperti pelecehan, karena itu Indi mengangkat dagu, untuk menunjukkan kalau ia tidak mudah diintimidasi, "Maaf ya Tante, tapi kayaknya ada kesalahpahaman di sini. Dari tadi aku udah makan di sini, karena itu lebih baik kalau Om dan Tante cari meja lain yang masih kosong."

          Baru lagi Indi menyelesaikan khotbahnya, Kai melewati meja dengan wajah mengeras tanda sedang gusar. Seakan tersadar akan kejanggalan pada meja yang baru saja dilewatinya, pemuda itu menghentikan langkah, lalu berjalan mundur untuk menghampiri Indi yang baru saja akan memanggilnya.

          "Kamu dari mana?" geram Kai begitu sadar kalau ia tidak salah mengenali orang, "Kamu tahu aku udah nunggu berapa lama?"

          "Wah, easy man," pria tak dikenal di depan mereka tiba-tiba saja mengulurkan tangan untuk menahan Kai yang akan menghambur ke arah Indi, "Jangan main kekerasan."

          Rahang Kai seperti akan jatuh ketika membela diri, "Dia pacar saya."

          Alis pria itu terangkat tinggi seakan terkejut dengan jawaban Kai, lalu rautnya berubah jadi dingin ketika menyahuti, "Meskipun dia pacar kamu, bukan berarti kamu boleh memukulnya."

          "Dia pacar saya," Kai mengulangi dengan ekspresi tersinggung, "Dan saya nggak pernah memukul pacar saya."

          "Tapi kamu terlihat seperti akan memukulnya," balas pria itu dengan nada membela diri, "Dia juga terlihat ketakutan ketika akan kamu hampiri," tambahnya sambil menunjuk Indi yang tak mengerti.

          "Dia nggak pernah mukul saya," Indi langsung membela Kai karena memang seperti itulah kenyataannya, "Bapak jangan sembarangan menuduh," tambahnya jengkel.

          "Kamu ngapain di sini?" Kai kembali memasang wajah garang tanpa memedulikan pria aneh yang terkejut mendengar pembelaan Indi terhadapnya.

          Sedangkan Indi tiba-tiba saja mendapat firasat buruk karena pertanyaan itu. Dengan gugup gadis itu meremas-remas jarinya, lalu bertanya dengan suara ragu, "Ini.... ini meja kita kan Kai?"

JEDA - Slow UpdateWhere stories live. Discover now