"Iya, Tante, Danis akan menjaga Annisa."

Alfiyah meninggalkan pemuda belasan tahun yang masih mengenakan seragam putih abu-abu itu. Keberadaan Danis yang berteman dekat dengan Ihsan, membuatnya percaya menitipkan Annisa padanya.

Danis memasuki ruangan, memakai pakaian steril sebelum menghampiri bangsal dengan gadis yang tertidur cantik di atasnya.

"Hai," sapa Danis setelah mengganti bunga mawar merah yang sudah layu dengan mawar putih yang baru dia beli.

"Apa kabar, cantik?" tanyanya. Dia sudah duduk di kursi, mengamati wajah menenangkan Annisa lebih dekat. "Aku dengar kamu udah baikan ya? Cepet bangun."

Nada suara Danis terdengar getir. Dia tidak pernah bisa menyembunyikan kesedihan yang dalam melihat gadisnya tidur dalam ketidakberdayaan.

"Hari ini aku bawanya mawar putih. Maaf, aku masih belum tau bunga apa yang kamu suka." Danis meraih sebelah tangan yang terbebas dari selang infus. Kulit putih pucat itu kian hari semakin pucat. "Bunganya cantik, tapi jauh lebih cantik kamu, nis. Coba deh kamu senyum."

Mungkin jika Annisa tau dirinya sering menyentuh dan membelai tangan maupun kepala Annisa yang bebas hijab, gadis itu akan sangat marah. Katakan jika Danis modus, tetapi dia sungguh rindu pada adik kelasnya itu.

Suara merdu yang menenangkan, lengkung manis yang mendebarkan, dan binar mata bening yang meneduhkan. Mampu membuat seorang Danis Danial Pratama jatuh cinta lagi dan lagi.

Meskipun tau setiap kali dirinya berbicara satu arah, tetapi Danis percaya Annisa bisa mendengarnya. Rasanya gadis itu sedang duduk di hadapannya, tertawa saat dirinya mengeluarkan lelucon receh atau menabahkannya setiap kali rapuh menyapa.

Tanpa pernah Danis duga, jemari lentik yang dia belai mulai bergerak. Membuatnya terkejut dan kembali meletakkan tangan itu di tempat semula. Netranya beralih pada wajah Annisa, masih menenangkan, namun setelah itu bola mata Annisa bergerak, dan hal yang paling ditunggunya terjadi. Annisa membuka mata setelah lebih dari tiga puluh hari koma.

Melihat kejadian luar biasa ini dengan refleks Danis menekan tombol nurse call. Setitik air mata jatuh dari sudut mata sebelah kanan. Perasaan bahagia menjalar dalam tubuhnya.

Saat tiga perawat masuk, Danis otomatis harus keluar, memberi ruang untuk Annisa diperiksa. Tidak lama kemudian dokter yang menangani Annisa selama ini datang dengan langkah terburu-buru.

Terima kasih, Ya Allah

Dari koridor mushola, seorang ibu berlari saat melihat dokter spesialis syaraf dan dua suster berlari ke ruangan ICU tempat putrinya dirawat. Rasa khawatir membungkus dalam dadanya. Danis juga sudah keluar, menandakan sesuatu terjadi di dalam sana.

"Danis, ada apa? Annisa kenapa?" tanya ibu itu, Alfiyah.

"Annisa sadar, tante. Annisa bangun," ucap Danis memberitahu. Raut wajahnya terharu dan bahagia, tidak ada kebohongan di sana. Membuat Alfiyah langsung memeluk pemuda yang sudah dia anggap sebagai anak sendiri.

"Alhamdulillah, Ya Allah. Terima kasih, anakku sudah sadar."

Tidak hentinya dua orang itu mengucap syukur, berterima kasih kepada Tuhan semesta alam, Pemilik Kehidupan setiap makhluk yang diciptakan. Hari ini keajaiban yang selalu mereka harapkan terjadi.

Mengetahui Annisa koma adalah satu kabar baik saat kematian hampir menjemput nyawanya. Semuanya bersyukur meskipun bersedih, setidaknya Allah mengizinkan gadis itu untuk tetap bernafas walaupun otak tidak merespon.

HALAQAH CINTANơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ