HC 32

32.3K 3.3K 58
                                    

"Biarkan semua berjalan apa adanya dan berlalu semestinya."

Annisa tidak bisa menutupi rona bahagia saat tau perasaannya berbalas. Nama yang selalu terselip dalam semoganya benar memiliki rasa yang sama, tetapi dia tidak bisa untuk mengatakan 'aku cinta kamu' layaknya apa yang selama ini ingin diungkapkan.

"Empat tahun itu lama, saya tidak tau takdir yang Allah tulis saat saya menunggu Gus Malik. Saya takut kecewa dan mengecewakan."

Dia bisa saja kuat menunggu Malik selama itu. Menjaga perasaannya hanya pada satu laki-laki, tapi Annisa tidak ingin mendahului kehendak. Jika nantinya Malik bukan jodohnya, penantiannya akan sia-sia dan hatinya akan kecewa. Bukan hanya dirinya, Malik juga, keduanya akan sama-sama tersakiti.

Lalu untuk apa komitmen selama itu jika akhirnya tidak bersama? Setan akan menertawakan mereka, yang ada hanya buang waktu untuk menunggu yang tidak pasti. Ikatan cinta mereka belum pada tempatnya. Belum sah dan tidak terikat syariat.

Untuk apa Annisa menjaga cintanya dalam diam untuk tetap suci? Jika pada akhirnya akan berlumur dosa.

Wajah bahagia Malik saat menyatakan perasaan berganti menjadi raut kekecewaan. Harusnya dia juga sadar kalau Annisa akan menolaknya. Dia tau belasan laki-laki sudah ditolak, maka dari itu dia juga harus sadar diri.

Tetapi Malik hanya tidak ingin terlambat. Meskipun ditolak, setidaknya Annisa tau jika dia memiliki perasaan untuknya. Tidak apa, mungkin cukup sampai di sini.

"Ya, tidak apa. Mungkin perasaan saya yang salah tempat. Terima kasih, setidaknya kamu tau sebelum saya pergi jauh," berat sekali mengatakan ini. Malik mencoba melawan. "Sekarang sudah pasti, harapan saya bukan lagi abu-abu. Setidaknya saya tau, pergi saya bukan untuk kamu nanti."

"Assalamualaikum, Annisa." Malik berbalik, melangkah pergi meninggalkan balkon. Senja di langit Jogja seperti tertawa atas patah hatinya.

Annisa menggigiti bibir bawah bagian dalam. Permata bening sudah menggenang di pelupuknya, siap meluncur.

Maaf, Gus. Saya ndak bisa jujur. Sampai setelah hari ini pun, Gus Malik masih menjadi harapan dalam doa saya.

Menyesal, itu pasti. Ini lebih menyakitkan daripada Annisa menolak Elang dulu. Saat itu Annisa sedih karena telah menyakiti hati Elang sampai kakak kelas itu kecelakaan, Annisa menyalahkan diri.

Sekarang lebih dari itu, dia telah membohongi perasaannya. Annisa tau Malik akan sakit hati karena ucapannya meskipun itu tolakan halus. Tetapi dia lebih menghargai komitmen dirinya sendiri untuk tidak pacaran sebelum menikah.

Malik memang tidak mengajaknya pacaran, tetapi sebuah ikatan sebelum pernikahan bukankah itu sama saja? Dia hanya akan terus zina hati saat dalam penantian nanti terus memikirkan dan khawatir akan Malik. Lebih baik dia berserah diri.

Annisa memandang punggung Malik yang semakin menjauhinya. Air matanya telah sukses turun, dia terisak kecil. Membohongi diri jika tidak mencintai laki-laki itu menyakitkan. Seperti makan hati.

"Biarkan saya diam dalam kata, namun riuh dalam doa perihal mencintaimu.

Karena saya takut, saat kalimat 'aku cinta kamu' yang terlantun tanpa ridho Allah, itu adalah langkah pertama saya untuk kehilangan kamu."

Annisa mengatakannya pelan. Jujur itulah yang dia rasakan. Namun dia tidak ingin Malik tau sebelum dirinya benar-benar siap. Dia masih kecil, baru tujuh belas tahun. Bukannya Malik tadi juga bilang bahwa siapnya untuk melamar adalah setelah lulus kuliah?

***

Maghrib kali ini semua peserta shalat masing-masing di kamar, tidak seperti sebelumnya yang mampir dulu ke masjid.

HALAQAH CINTAWhere stories live. Discover now