HC 20

40.4K 4K 73
                                    

Pukul sembilan malam Annisa baru selesai dari kelas mengaji kitab. Dia keluar bersama santriwati yang lain. Tingkatan kelasnya memang masih dasar dibanding dengan Sinta atau Zaskia yang sudah lebih dulu menjadi santri.

"Nis, aku duluan ya," pamit santriwati yang berjalan bersama Annisa.

Annisa mengangguk. "Iya."

Gadis itu kembali berjalan menuju kelas yang lain. Melewati lorong-lorong yang sebagian masih ramai karena kelas mengaji belum selesai. Annisa duduk di depan kelas Sinta. Sepertinya sebentar lagi kelas sahabatnya itu juga akan usai.

Dia menengadah, menatap langit malam yang tampak indah dengan pesona bulan sabit berwarna jingga. Bulan tetap cantik dan banyak dikagumi meski kehadirannya tidak sempurna dan seindah saat purnama. Annisa jadi ingin seperti bulan. Menebarkan kebaikan dan kebahagiaan untuk orang lain.

"Assalamualaikum, ukhti."

Annisa kembali menundukkan wajah dan menoleh ke sumber suara. Dia tersenyum saat tau siapa yang memanggilnya. Malik Ahmad Multazam, laki-laki itu berdiri tak jauh dari tempat Annisa duduk.

"Waalaikumussalam, Gus Malik."

Malik tampak kaku dan ragu ingin melanjutkan perkataannya. Berkali-kali dia menunduk dan tergagu saat hendak berbicara.

Ini pertama kalinya dia akan memberikan sesuatu untuk gadis di depannya. Biasanya dia hanya akan menitipkan kepada Salwa, istri Hamas. Namun dengan keberanian dia ingin memberikan sesuatu untuk Annisa secara langsung.

"Ada bingkisan dari saya untuk Annisa."

Annisa mengalihkan pandangan ke tangan Malik yang menenteng goodie bag kecil berwarna merah jambu. Gambarnya lucu, boneka beruang dan sangat terlihat feminim.

"Tolong diterima ya." Malik meletakkan goodie bag itu di bangku yang berjarak dua kursi dari tempat Annisa duduk.

"Syukron Katsiraa, Gus Malik."

Malik tersenyum kemudian menunduk. Keringat dingin masih membasahi dahi dan telapak tangannya. Rasanya gugup sekali.

"Afwan. Saya pamit dulu ke ndalem." Malik segera beranjak. Ketika melewati Annisa dia menunduk dalam.

"Gus Malik," panggil Annisa saat Malik belum jauh melangkah.

"Iya?" Malik menolehkan kepalanya. Tetapi tidak berbalik.

"Keep Hamasah. Semangat untuk Musabaqoh Tilawatil Quran nya."

Ini untuk pertama kalinya Annisa mengucapkan semangat untuk Malik. Selama ini dia hanya mampu menyuarakan lewat doa. Berharap Allah menjaga dan melindungi Malik. Sekarang dia sudah menyuarakan setelah sekian lama memendam. Entah muncul keberanian dari mana hingga dia mampu mengucapkan kalimat itu.

Malik tersenyum. Jelas dia merasa bahagia mendapat semangat langsung dari adik kelasnya itu.

"Semangat untuk olimpiadenya," balas Malik.

Setelah mengatakan itu Malik segera berlalu. Tidak sempat mendengar jawaban dari Annisa. Mengucapkan itu saja rasanya sudah membuncah. Ada sengatan listrik namun terasa hangat mengalir menuju rongga dadanya. Detak itu terasa kuat terdengar.

Annisa mengambil bingkisan yang Malik berikan. Dia masih ragu untuk membukanya. Nanti saja setelah sampai kamar.

Bibir tipis itu tidak henti-hentinya melengkung sempurna. Indah dan manis. Dia merasa bahagia sekali malam ini. Malik memberikannya semangat. Itu istimewa untuknya.

"Nis, kok senyum-senyum sendiri?"

Sinta keluar dari pintu kelas dan menghampiri Annisa yang duduk di bangku luar kelasnya.

HALAQAH CINTAWhere stories live. Discover now