"Sudah berapa lama sekolah di sini?"

"Hampir dua bulan."

Pak Mukhlis mengangguk-angguk. "Sekolah kita jarang menang lomba sepak bola. Piala di lemari paling diisi sama prestasi anak cerdas cermat," kata guru itu sembari menatap ke depan, pada murid-murid lain yang masih setia berlatih. "Jadinya kepala sekolah juga nggak terlalu mendukung ekskul ini, karena nggak membanggakan sama sekali."

Danil meneguk airnya, masih mendengarkan Pak Mukhlis bicara yang dia yakini memiliki tujuan.

"Saya liat main kamu bagus setiap bawa bola, tapi sayangnya kamu malas-malasan." Pak Mukhlis menatap Danil. "Kenapa?"

"Saya malas aja," jawab Danil apa adanya. "Panas."

Ditepuknya bahu Danil, membuat cowok itu menoleh dan menunduk menatap tangan Pak Mukhlis di bahunya. "Mungkin menurut kamu menang kalah nggak penting, tapi coba kamu liat temen kamu yang masih latihan walaupun sudah disuruh istirahat."

Danil mengalihkan pandangannya ke depan. Menuruti perkataan Pak Mukhlis untuk melihat teman-teman satu ekskulnya yang masih juga setia berebut bola.

"Mereka mainnya nggak sebagus kamu, tapi mereka semangat. Seenggaknya pikirin semangat mereka. Di lomba nanti saya minta kamu serius mainnya." Pak Mukhlis menepuk-nepuk pundak Danil. Setelah berbicara seperti itu, beliau bangkit dan berjalan ke tengah lapangan.

Pak Mukhlis memerintahkan murid-muridnya berhenti latihan dan menyuruh mereka istirahat terlebih dulu. Wajah mereka tampak kecewa saat berjalan ke tepi lapangan. Satu per satu mengambil botol air mineral di dalam kardus.

"Nil, ngapain Pak Mukhlis datangin lo?" Kali ini Yosep yang duduk di samping Danil. Cowok itu menyiramkan air ke kepalanya.

"Disuruh serius entar mainnya pas lomba."

"Di sekolah sebelumnya lo ambil ekskul apa, Nil?"

"Sepak bola."

"Terus kenapa lo malas-malasan?" tanya Yosep lagi, melihat Danil yang tak bersemangat melebihi dirinya.

"Gue dulu dikeluarin dari ekskul bola," jawab Danil, dia menoleh pada Yosep di samping kanannya.

"Kenapa?"

"Karena nginjak kaki temen satu tim gue waktu lomba," jelas Danil santai. Dia kembali minum. "Terus dia marah. Dia dorong gue, terus gue tonjok dia. Kita kelai di tengah lapangan pas lomba di sekolah orang." Kemudian cowok itu terkekeh mengingat kejadian yang membuatnya diberhentikan jadi kapten sepak bola di sekolah lamanya itu.

"Ada masalah sebelumnya?" Yosep kembali mengeluarkan rasa penasarannya.

Danil mengangguk santai. "Ada. Selesai main, gue berantem lagi sama dia, masih di sekolahan itu. Besok paginya gue dipanggil BK, dan dikeluarin dari tim. Siangnya pas istirahat, gue berantem lagi sama dia sampe dia pingsan dan gue nggak kuat berdiri."

"Gile." Yosep tepuk tangan sambil geleng-geleng. "Itu alasan lo pindah?"

"Yo'i."

🌇🌇🌇

Murid-murid berlarian di koridor, Yosep yang sedang berjalan di samping Danil hampir saja terjerembap karena ditabrak.

"Eh, hati-hati dong!" teriak Yosep kesal, tetapi tak dihiraukan karena siswa yang menabraknya sudah jauh di depan.

Bruk

"Eh, anjir mau kalian apaan lari-larian di koridor?!" omelnya lagi saat kembali ada yang menabrak.

Danil menarik tangan Yosep saat lagi-lagi ada yang hampir menabraknya. "Ada apaan, sih?"

"Nggak tau. Lari juga, yuk, Nil," ajak Yosep.

"Hah?"

Yosep langsung berlari, disusul oleh Danil yang masih bingung. Di depan sana, tepatnya di depan lab bahasa banyak murid-murid berkumpul. Sesekali ada yang berteriak seperti memberi dukungan.

"Tonjok terus!" teriak seseorang yang tidak Danil tahu wajahnya.

Cowok itu semakin dekat, dia berjinjit untuk melihat ada apa di depan sana yang sedang jadi tontonan. Ternyata ada yang sedang berkelahi. Namun mata Danil menyipit saat melihat seorang gadis berambut panjang di seberang sana.

Radea, gadis itu berdiri di belakang seorang cowok yang sedang adu jotos. Gadis itu menunduk sembari memeluk buku. Di belakangnya banyak orang, yang membuat Danil menebak gadis itu tidak bisa pergi. Di samping Radea ada Galang yang tampak santai menonton perkelahian di depannya.

Danil terus memperhatikan Radea yang kepalanya semakin menunduk dalam. Tangan gadis itu semakin kuat mencengkeram buku di depan dadanya. Danil tahu Radea takut keramaian, apalagi di depan dan belakangnya ada teriakan-teriakan. Malam itu saja saat banyak kendaraan lewat Radea ketakutan, apalagi sekarang di tengah-tengah keramain.

Danil menyusup melewati padatnya murid-murid di depannya, mendorong siapa saja yang kukuh tak ingin memberikannya jalan. Cowok itu terus masuk sampai di depan dua orang yang masih berkelahi tanpa ada yang memisahkan.

Di depan sana, buku yang dipeluk Radea sudah terjatuh. Kedua tangan gadis itu gemetar memegang pinggir roknya, sedangkan orang-orang di sekitarnya tidak ada yang menyadari itu. Wajah gadis itu panik, bola matanya ke sana-kemari tak tentu arah.

Dua orang murid yang sedang berkelahi itu memenuhi jalan. Danil kebingungan, kalau dia lewat, bisa-bisa dia kena pukul atau dikira ingin melerai. Sedangkan cowok itu menghindari perkelahian di sekolah ini. Danil bisa menangkap kekhawatiran Radea di depan sana dan membuatnya ikut khawatir.

Ah, persetan dengan perkelahian, Danil tidak peduli. Sekarang dia hanya perlu melewati dua orang itu untuk lewat.

🌇🌇🌇

Tak kuat lagi, Radea berjongkok. Kakinya sudah tak punya kekuatan berdiri. Penglihatannya tiba-tiba berputar dan hal itu membuat Radea memejamkan mata. Namun pejam malah menampilkan gambaran-gambaran mengerikan di kepalanya. Seperti kaset rusak yang menampilkan hanya sebagian gambar yang membuat Radea semakin pusing. Kepalanya jadi sakit seperti ada yang menusuk-nusuk dengan jarum.

Radea memengang kepalanya kuat, tetapi kemudian pegangan itu berubah jadi cengkeraman lalu tarikan yang membuat rambutnya berantakan. Galang baru menyadari itu, dia menunduk. Memegang lengan Radea. "Ra, lo kenapa?"

Radea menepis tangan Galang. Dia mengangkat kepalanya ingin menjauh, tetapi dia malah jatuh terduduk. Galang ikut bingung dengan apa yang terjadi dengan Radea. Dia kembali mengulurkan tangan, tetapi Radea malah berteriak, mengalihkan fokus orang-orang di sekitarnya.

"Radea," panggil Galang lagi.

Radea duduk dengan kedua tangan menarik-narik rambutnya. Gadis itu meringis kesakitan. Suara saling pukul dua orang di depannya menggema di indera pendengaran Radea. Kepalanya semakin sakit. Apalagi saat dia membuka mata, melihat orang-orang di sekitar menatap dirinya heran. Semakin lama, suara saling bentak dan tinjuan itu menyedot kekuatan Radea, tubuhnya terasa lemas. Pikirannya kosong, tatapan gadis itu semakin buram.

🌇

TBC

Update pagi-pagi gini kenapa coba 😂

Makasih yang sudah baca. Jangan lupa vote dan komennya. ♡♡

Introvert VS Ekstrovert ✔️Where stories live. Discover now