NEW SISTER

6 1 0
                                    

Kringg!

Hanif terbangun oleh suara alarm yang ia telah setel untuk nyala setiap hari pukul 05.00. Saat ia bangun, tubuhnya serasa ditindih batu yang amat besar sekali. Rasa sakitnya teramat sangat. Apalagi di kaki yang patah.

"Aaaaa! Arggg! Tolonggg! Ibu! Ibu! Ayahh! Rudy! Semuanyaa tolong akuu! Hua!" sekarang ia berteriak keras sekali merasakan kesakitannya.

Ia bermimpi dimana ia ditinggalkan kapal yang berisi ibu tirinya, ayahnya, Rudy, dan kakeknya. Kapal itu juga berisi banyak orang selain mereka. Ia menangis terisak mengingat mereka kembali, juga mimpi yang menghantuinya. Hanif sangat frustasi, ia putus asa. Ia kembali serasa ingin mati.

"Tidak! Selagi aku hidup aku harus berusaha ... pasti masih ada harapan, hari ini aku bukan siapa-siapa, siapa tau besok aku menjadi mayat di tempat ini. Aku hanya tak ingin mati di sini. Ahh ... sakitnya, melebihi sakit hati anjay," Hanif merintih pelan pada dirinya sendiri.

Dengan kaki yang patah tulang, kepala dan badan yang penuh darah segar serta perut yang amat keroncongan yang hanya diisi oleh air 'surga', ia keluar kamar mandi itu dari lubang yang sama. Jam menunjukkan pukul 08.33. Hanif lalu mematikan telephone selulernya.

"Sepertinya reruntuhan ini sangatlah tebal, butuh ketelitian tinggi juga untuk membuat terowongan. Ahh ... yang penting memindahkan batu, mudah," ia menghibur dirinya sendiri, sendiri, sendiri, jomblo!

Ia mulai memindahkan satu-per-satu tumpukan batu dengan sisa tenaganya. Sekali-kali ia kembali ke kamar mandi itu sekedar untuk minum. Ia dengan hati-hati memindahkan dan menyingkirkan batu-batu bekas reruntuhan gedung sekolah tersebut.

"Aduh, kepalaku hilang!" teriaknya ketika bongkahan baru sebesar batu bata kotak jatuh mengenai kepalanya. Kepala yang sudah ia bersihkan dengan air tadi, kembali memerah dengan luka baru seperti hati ini yang rapuh dan sangat cemburu jikalau tau dia dekat dengan orang lain yang mengajarinya bermain musik. S-a-k-i-t.

Tak cuma sekali dua kali ia tertimpa reruntuhan. Ia memakaikan pengikat kepala menggunakan seragamnya yang telah ia sobek-sobek. Mengikat kaki yang patah dengan kayu, tangan yang lecet-lecet, tubuh yang penuh luka, kepala yang berlumur darah. Ia menahan rasa sakitnya demi melihat mentari pagi menerangi dan menerpa dirinya lagi, seperti dia yang selalu bersinar dan kucinta di hatiku.

Tak sia-sia dia berjuang selama lima jam! Kini ia melihat betapa ngerinya bencana pagi itu ....

Ia bahkan tak melihat gedung tinggi yang biasanya menjulang di samping sekolahan. Sekolahnya yang empat lantai itu seperti hilang. Halaman yang luas yang dikelilingi oleh gedung sekolah dan terdapat dua lapangan bola basket, panggung pensi, lapangan futsal dan batminton, kini hanya terlihat tumpukan puing yang sangat tebal yang menutupinya.

"Astagfirullah! ... a ... apa ini? Akh! Panas!" ia melihat sesuatu yang sangat berbeda.

Reruntuhan beton itu terlihat 'gosong' terbakar dan terasa sangat panas. Ia bahkan hampir pingsan ketika melihat pemandangan di luar sana. Gedung sekolah berlantai empat yang mempunyai halaman yang luas di tengah-tengahnya seperti rata dengan tanah, seperti sterofoam yang ditiup angin yang amat panas. Gedung-gedung di sekitar sekolahnya juga turut hilang, tak ada tanda-tanda kehidupan.

"Rudy!" ia melihat sesosok orang yang badan dan wajahnya sangat mirip dengan Rudy.

Hanif berlari menuju ke tengah halaman yang sudah penuh dengan tumpukan semen dan batu, tak peduli dengan panasnya keadaan, tak peduli kakinya patah, tak peduli ia bahkan penuh dengan luka. Ia berlari tak merasakan sakit apapun. Hanif hanya ingin memeluk temannya itu, dengan hangat dan penuh kasih sayang seorang sahabat. Air matanya seakan susah untuk ditahan. Orang yang berdiri itu ... "Rudy!" teriaknya. Wajah Rudy masih sangat bersih, juga seragam yang ia pakai. Orang itu menoleh ke arah Hanif lalu tersenyum ....

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jun 24, 2019 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Journey to The SouthWhere stories live. Discover now