Kak Andre nyeritain juga tentang Davi. Katanya, dia juga pernah tinggal disini--yang sukses bikin gue nganga lagi. Tapi, karena om Faisal--ayah Davi--dipindah tugaskan ke Jakarta, alhasil Davi juga ikut pindah. Kak Andre juga cerita kalo waktu kecil, Davi emang anak yang pendiem. Dia gak pernah berinteraksi sama dunia luar. Davi hanya akan ngomong sama orang lain kalau ditanya aja. Selebihnya, dia lebih suka diam.

Satu-satunya orang yang bisa buat Davi banyak ngomong cuma sama orang tuanya, Kintan dan Andre. Gak heran sih, karena mereka sepupuan dan umurnya juga lebih tua kak Andre setahun.

Sekarang, gue lagi duduk di trotoar depan rumah lama gue. Kangen juga sama rumah ini. Sayang, rumah ini udah dijual sama Papa. Katanya, biar gue gak terus-terusan flashback masa lalu. Ck, si Papa ada-ada aja.

"Keyna!" Teria seseorang. Sontak, gue menoleh dan mendapati dua makhluk yang tengah berlari menghampiri gue.

"Shane? Aura? Kok disini?" Tanya gue, setelah mereka udah duduk dihadapan gue.

"Kita nemenin Aira kesini. Lo lupa, kalo kita satu SMA? Dan kebetulan, dia gak tau lokasi ini, jadi gue sama Shane yang nganterin," jelas Aura.

Gue menaikkan sebelah alis gue. "Kalian satu SMA? Gue baru tau."

Shane menepuk jidatnya kencang. "Oh iya, gue lupa. Iya, kita emang satu sekolah waktu SMA. Sama Davi juga, and actually, Aira itu juga mantannya Davi," tukas Shane.

Gue mengernyit. "Terus, kalo Aira itu mantannya Davi, apa hubungannya sama gue?"

"Fyi doang sih," kata Shane datar.

Aura memutar kedua bola matanya jengah. "Kalian berdua kapan sih, bisa jujur sama perasaan kalian masing-masing? Kalian munafik tau gak," jerit Aura frustasi.

Gue tersentak. Aura terlalu blak-blakan. Nyelekit banget kata-katanya.

"Lo nyindir siapa?" Tanya gue dengan wajah innocent.

"Sapi tetangga! Ya elo lah, Keyna! Kalian tuh mau sampe kapan bohongn diri kalian masing-masing?!" Geram Aura.

"Ra, omongan lo!" Tegur Shane.

Aura menjambak rambutnya. Gue heran, harusnya gue dong yang bertingkah gitu kenapa malah Aura? 'Kan gue yang frustasi di sindir-sindir sama dia-_-

"Bodo! Gue kesel sama nih orang dua. Mau sampe kapan, Keyna?! Kenapa sih, gak lo duluan bilang yang sejujurnya ke Davi soal perasaan lo? Ini udah jaman emansipasi. Cewek duluan yang nyatain, gak pa-pa!" Tukas Aura dengan ototnya.

Gue meringis melihat Aura. Nyeremin gile. "Percuma, Ra. Toh dia udah jadi milik orang lain," balas gue sendu.

Ah, gue teringat kembali akan hubungan Davi sama Alessia. Hueee.

Shane mendecak. "Lo tuh, gak nyimak omongan gue tempo hari ya? Denger, Key, Davi gak pernah suka ataupun cinta sama Alessia. Dia cuma jadiin Alessia sebagai pelampiasan rasa cemburunya terhadap lo. Dia cemburu karena lo deket sama Andre. Padahal, kalian gak ada apa-apa," ujar Shane gemas.

Wait. Apa tadi dia bilang? Davi cemburu sama gue? DAVI CEMBURU SAMA GUE? Oh my God! Mimpi apa gue semalem sampe tau kalo sebenernya Dabi itu cemburu sama gue. Tapi, Davi jahat banget dong, cuma jadiin Alessia pelarian. Kasian juga si senior menor.

"Terus, gue harus ngelakuin apa?"

Wajah Shane dan Aura berubah muram. Dengan sigap, Aura langsung mentempeleng kepala gue dengan tangannya--yang membuat gue mengaduh kesakitan. Sumpah, nih orang ngajak ribut banget. Kepala gue udah di fitrahin dari jaman gue masih di awang-awang nih!

"Nyatain perasaan lo yang sebenernya ke Davi. There's no waiting anymore!" Tegas Shane disertai anggukpan mantap dari Aura.

Gue hanya mengangguk pasrah. Mungkin emang harus gue duluan yang bertindak.

"Apa? Saksi lamaran?!" Pekik gue.

Sontak, Keno memukul bahu gue. "Lo tuh, malu-maluin banget sih!" Sungutnya.

"Lo sejak kapan sih, jadi drama king begini? Ngomongnya persis gaya sinteron banget," cibir Ardi.

"Tai lo. Gue seriusan nih!" Sungut gue tak kalah.

Gue, Ardi, Keno dan Rafi sedang berada di salah satu cafe. Ini semua ajakannya Rafi. Katanya, dia bete karena ditinggal Aura. Dan yang lebih membuat jantung gue berdetak gak karuan adalah, --menurut penuturan Keno dan Rafi--Aura dan Shane izin pergi karena mau jadi saksi temennya di lamar.

Otomatis gue langsung spot jantung. Mengingat akhir-akhir ini Shane emang--agak--deket sama Keyna, gue berasumsi bahwa Shane dan Aura diminta Keyna untuk jadi saksi dia dilamar oleh Andre. Oh no! Gak, gak boleh terjadi. Masa gue keduluan sama sepupu gue sendiri? Padahal yang kenal dan deket duluan sama Keyna itu gue. Argh! Gak bisa dibiarin!

"Emangnya kenapa sih, Dav? Lo kayaknya panik gitu?" Tanya Rafi.

"Lo tau gak, siapa temen yang dimaksud Aura sama Shane?" Tanya gue, menyimpang dari pertanyaan mereka.

Rafi dan Keno sempat berpandangan, lalu menoleh ke gue dengan gelengan kepala. Sh*t! Umpat gue dalam hati. Jadi, lamaran itu bener adanya? Terus, 'kan kemaren udah acara ngelamarnya, kenapa sekarang lagi? Biar lebih afdol dan romantis kah?

Gue gak bisa terima kalo akhirnya Keyna bakal jadi adik sepupu ipar gue. No! Bahkan gue gak bisa bayanginnya. Plis, Tuhan, jangan biarkan hambamu ini menyandang gelar 'jones'. Ngaco!

"Sori, gue cabut dulu," kata gue, beranjak dari kursi.

Ardi menahan lengan gue. "Eh, lo mau kemana deh?"

Gue menarik nafas gusar. "Kayaknya itu Keyna," tukas gue.

Mereka bertiga memandang gue dengan tatapan tidak mengertinya. Gue memutar kedua bola mata jengah. "Yang mau dilamar itu Keyna!" Pekik gue.

Mata mereka melebar selebar pantat semut. Eh, enggak, bercanda.

"Serius lo?" Tanya Ardi.

"Dilamar siapa?" Tanya Keno.

"Yah, lo keduluan dong? Kasian, ck," kata Rafi. Untuk Rafi, gue mneghadiahi jitakan ganas dari gue.

"Itu cuma perasaan gue aja. Soalnya, kemarin, gue liat dia habis dilamar sama Andre," tutur gue.

"Andre... sepupu lo itu 'kan?" Tanya Ardi. Gue mengangguk.

"Gils! Davi ditikung sama sepupu sendiri. Wkwk, keduluan pula--Keynanya udah dilamar sama Andre. Wkwk," kata Rafi dengan gembiranya. Ini anak emang minta di damprat!

Keno memandang gue sayu. "Mending, lo cari dia dan nyatain perasaan lo. Sebelum terlambat," usul Keno. Ah, ini baru namanya temen. Memberi solusi. Emang 2 kampret tidak tau malu itu tuh, yang gak ngasih solusi sama sekali. Yang ada, ngatain mulu bisanya.

Gue mengangguk mantap dan peri dari cafe tersebut. Di perjalanan, gue inget sesuatu yang aneh. Gue 'kan gak tau dimana Keyna berada. Tolol! Dengan cepat, gue menelpon Keno--dengan mata yang terus fokus menyetir.

"Ken, lo tau kemana Shane perginya?" Tanya gue to the point.

"Gue gak tau. Shane gak bilang dia mau kemana. Yang jelas, mau jadi saksi temennya dilamar."

Kesal, gue langsung memutuskan sambungan telepon. Temen gue sama aja semuanya! Gak ada yang bener ngasih solusinya. Temen kampret!

***

Haii readers! Gue nongol lagi 'kan? Wkwk.

Sesuai perjanjian gue, bahwa ini adalah chapter terakhir yang gue publish. Karena gue mau fokus di uts dulu. Setelah kelar uts, gue akan langsung apdet cerita ini dan kemungkinan gue juga bakal meluncurkan cerita baru. Wkwk.

Baca yak. Baca! *ngancem pake parang *penulis gesrek

Soal edit mengedit, ntar-ntaran aja yak. Gue lagi mager parah. Ck.

Hehe. Bye all! Sampe ketemu 2 minggu lagi!! Hahaha *evil's laugh *ngilang di telen asep

First LoveWhere stories live. Discover now