19. Lamaran(?)

Mulai dari awal
                                    

Kak Andre terkekeh. "Iya dah. Lanjut."

"Iya, Deana yang sekarang lo kenal. Dia mutusin untuk pindah dari sini. Sebelum dia pergi, gue sempet ketemu sama seseorang. Dia ganteng banget. Oke, kedengerannya gue udah ganjen banget dari kecil--udah tau cogan. Wakaka.

"Setelah Deana pergi, gue berharap 'dia' bisa nemenin gue--jadi temen gue selagi Deana pergi. Tapi, semua gak sesuai harapan. Gak berapa lama, 'dia' juga pergi--entah kemana. Padahal, gue sama sekali belom tau 'dia'. Gue udah ngerasa hopeless banget. Gue kesepian, Kak."

Gue menghela nafas sebentar. "Sejak saat itu, gue mulai jadi orang yang tertutup. Gue sama sekali gak punya temen. Boro-boro temen, deketin gue aja enggak. Gue jadi invisible di mata mereka. Mereka gak pernah nganggep gue ada. Orang tua gue, mulai khawatir sama gue. Mereka takut kalo gue akan terus menutup diri gue dari lingkungan luar.

"Akhirnya mereka ngajak gue pindah rumah. Saat gue masuk SMP, gue teteplah gue yang pendiem. Sampai gue ketemu sama Panji. Panji adalah temen merangkap sahabat gue. Dia orang yang baik, dia juga orang yang udah ngerubah gue untuk gak jadi pendiem lagi. Lagi-lagi gue merasa kehilangan untuk yang kedua kalinya. Kelas 8, Panji juga ikutan untuk ninggalin gue.

"Tapi, gue gak jadi orang pendiem lagi. Semuanya gak guna--hidup terusan dibawa sedih. Gue juga sempet berpikir, itu udah ketiga kalinya gue ditinggal sama orang yang gue sayang. Gue takut. Gue takut untuk sayang sama orang lain lagi--takut untuk ditinggal mereka lagi. Dan hal serupa kejadian lagi, dimana gue mencoba untuk mencintai seseorang, dan orang itu pergi dari gue.

"Apa gue gak pantes untuk dicintai, Kak? Sehingga orang-orang yang gue sayang--gue cinta--, pergi ninggalin gue?" Tanya gue parau.

"Eh! Apaan sih lo ngomongnya begitu?! Lo pantes, Key. Lo pan-tes! Jangan pernah berpikir kayak gitu, ah." Tegas kak Andre.

"Tapi kenyataannya... gitu, Kak."

"Ssstt. Sekarang, Deana udah balik 'kan? Begitu pula sama Panji. Lo udah gak kesepian lagi, Key," jelas kak Andre.

Gue terkekeh sumbang. "Iya, tapi 'dia' enggak. Tau gak, dulu gue tuh berharap banget kalo 'dia' jodoh gue. Dan kita bisa ketemu lagi--entah itu kapan," kata gue dengan tatapan menerawang.

Kak Andre menaikkan satu alisnya, yang gue balas dengan tatapan "apa?". "Apa lo gak ada clue satu pun, untuk nyari 'dia'?" Tanya kak Andre.

Gue berpikir sejenak. Ada gak ya? Ah! "Ada, Kak! Tapi tetep aja susah. Udahlah, gak mungkin," kata gue.

Kak Andre mendengus. "Nothing's impossible, kay? Apa itu?"

"Sebelum dia pergi, gue liat dia naik kedalem mobil. Dan saat itu pula, gue denger dia dipanggil dengan sebutan 'Yan'. Argh! Panggilan 'Yan' itu 'kan banyak. Bisa Adrian, bisa Rian, bisa Dean, bisa Fian, bisa Yanto--eh, yang terakhir itu kayaknya gak mungkin. Haha," kata gue.

Lagi, kak Andre menjitak kepala gue ganas. "Seriusan, Key," sungutnya. "Ciri-cirinya?"

Gue mengedikkan bahu. "Taunya pas dia kecil doang," jawab gue.

"Iya, gak pa-pa."

"Yang jelas dia itu ganteng banget. Taunya itu doang sih, gue. Oh, iya satu lagi. Dulu, dia suka banget main sendirian. Padahal banyak cowok yang seumuran kayak dia," tutur gue.

Kak Andre menjetikkan jarinya. "Fix! Gue tau orangnya!" Pekik kak Andre girang.

Gue mengerutkan kening. "Really?"

Kak Andre menangguk mantap. "Davian."

***

Ucapan kak Andre sukses bikin gue ternganga lebar. Oke, dramatis. Gue gak percaya kalo kak Andre bisa langsung menyebutkan satu nama itu. Padahal gue baru ngasih tau ciri-ciri--yang sama sekali gak ngebantu banget--doang. Ditambah, itu udah lama banget, man! 11 tahun yang lalu.

First LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang