Part 4

4.6K 315 22
                                    

POV Nirmala

  Cahaya yang cukup menyilaukan membuatku tersadar dari tidur. Sembari mengalihkan pandangan, aku berusaha mengucek mata yang masih sukar terbuka. Setelah semua terasa jelas, tampak sosok Pria berdiri gagah dengan kemeja putih. Tanganya mencoba menggulung sedikit lengan kemeja, dan merapikan bagian kerah.

"Pak Rey ...." Aku mencoba bangun, dan melirik jam dinding. Ternyata sudah jam 7 pagi. Kutepuk jidatku pelan, bisa-bisanya bangun kesiangan, sementara suamiku sudah tampak rapi dengan pakaian kerjanya.

"Selamat pagi. Akhirnya kamu bangun juga," tuturnya, nyaris datar dan dingin. Aku hanya menggigit bibir bawah, menahan malu.

"Kenapa kamu tidak bangunkan aku?" tanyaku sedikit sebal.

"Untuk apa? Menyiapkan sarapan? Di rumah ini semua sudah ada yang mengurus. Termasuk sarapan untukmu." Mata elang itu menoleh ke arah nakas, aku mengikuti tatapannya. Benar saja, nampan berisi selembar roti dan segelas susu sudah tersedia di sana.

Pria itu sibuk memasang jam tangan mewahnya, dan beralih meraih jas dalam lemari. Sementara aku ... hanya bisa menatap aktivitas itu tanpa melakukan apa pun. Ingin sekali membantu seperti yang dilakukan istri pada umumnya. Namun, pernikahan ini bukan seperti mereka di luar sana. Cukup malu jika sekadar menawarkan diri untuk memasang sebuah dasi. Rasanya tidak perlu.

"Kamu mau ke mana hari ini?" tanya Rey, memecah keheningan di antara kami.

"Entahlah ...." Hanya itu jawaban yang ke luar dari mulutku. Mungkin, aku akan berdiam diri di rumah mewah ini seharian, begitu pun hari-hari berikutnya. Ini pasti sangat membosankan. Aku tertunduk, lalu menghela napas berat.

"Pak Rey, boleh aku bekerja?" tanyaku sedikit ragu. Ia terdiam, lalu menatapku beberapa detik.

"Boleh, kerjalah di kantorku." Tatapan itu beralih ke arah tas di salah satu sudut. Dengan tergesa ia mengambilnya dan merapikan beberapa file yang menumpuk di atas ranjang, lalu memasukannya ke tas hitam tersebut.

"Aku pergi, nanti kita bahas lagi masalah itu. Jika, kamu mau pergi kabari aku dulu, setidaknya hargai pernikahan ini." Ia pun melangkah dan menghilang dari balik pintu.

Aku mengernyit. Untuk apa dia berkata seperti itu, bahkan dia sendiri tidak tahu arti menghargai sebuah pernikahan. Sial, jika saja bukan karena Bapak, aku tidak mau masuk ke dalam kehidupan pria berwajah dingin itu.

Aku menoleh ke arah nakas saat ponsel berdering, tanda sebuah pesan masuk. Segera kuraih benda pipih berukuran 6 inci, dan membaca pesan yang ternyata dari David.

[Selamat pagi, Sayang.]

Aku tersenyum, seperti biasa. Pria itu selalu menyapa dengan manis setiap pagi. Jika saja orang tuanya merestui, mungkin sekarang ini aku sedang berada di sisi David.

[Pagi ....]

Jawabanku cukup singkat dan padat. Ingin membalas ucapan sayang itu, tapi kita sudah berbeda kehidupan.

[Bisa bertemu hari ini? Ada yang ingin aku bicarakan, Mala. Aku mohon jangan menolak.]

Aku terdiam sejenak, memikirkan jawaban atas permitaan David. Jika aku mengiyakan, bagaimana dengan Rey? Namun, di sisi lain, aku akan merasa jenuh di rumah dan ... tidak memungkiri jika aku merindukan pria yang menunggu balasan di seberang sana.

Aku menghela napas berat, lalu memberi jawaban dengan penuh keyakinan.

[Oke. Resto biasa jam 10 nanti.]

Segera aku beranjak menuju kamar mandi, bersiap untuk membersihkan diri.

***

Aku duduk sembari mengaduk minuman menggunakan sedotan. Sempat kesal karena David belum juga menampakan batang hidungnya. Tak lama kemudian, sosok pria bewajah tampan terlihat dari balik pintu. Ia terlihat berjalan dengan tergesa.

Hello, Mr. Cold!Место, где живут истории. Откройте их для себя