Part 3

4.7K 308 23
                                    

Mereka duduk berhadapan dalam diam di sebuah cafe dekat kantor Mala. Sedari tadi gadis itu sibuk membaca dan membolak-balikkan kertas yang diakui Rey sebagai undangan pernikahan mereka.

Mala melepaskan kaca mata yang ia pakai hanya saat membaca saja, disandarkannya punggung dan perlahan mengembuskan napas. "Sebenarnya apa tujuanmu, Pak Rey?" Ditatapnya wajah pria berwajah datar di depannya itu.

"Menikahimu."

Mala berdecak kesal. "Kita sama-sama sudah dewasa, Pak. Dan, aku tidak bodoh, pasti ada maksud lain dibalik rencana gilamu ini. Bahkan kita baru sekali bertemu, 'kan?"

"Lalu?" tanya Rey datar, lalu ia menyesap kopinya.

"Apa Anda kalah taruhan dengan seseorang?"

Alis Rey bertautan. "Tidak."

Mala diam sejenak. "Dipaksa menikah cepat-cepat?"

"Tidak."

'Dia pelit atau bagaimana, sih? Jawabannya selalu singkat,' batin Mala kesal.

Mala menyeruput choco milkshake yang tinggal separuh. "Membuat janji dengan seseorang?" tanya Mala lagi, ia masih penasaran dengan tujuan Rey tiba-tiba memintannya menikah.

Rey melipat tangan di dada, lalu membuang pandangan ke luar jendela kaca yang langsung terhubung dengan mobilnya yang ia parkir di pelataran cafe. "Ya."

"Nah, betul kan apa kataku. Pasti ada alasan dibalik semua ini, ka--"

"Aku berjanji pada Pak Abdul. Akan menjaga puterinya jika sesuatu terjadi padanya."

Mala bergeming. Menatap lekat mata pria berwajah tegas di depannya. Ia tidak sedang berbohong atau main-main dengan ucapannya. "Bapak saya?" tanya Mala lirih. Lalu, mata gadis itu beralih ke undangan yang ada di depannya.

"Bukan kah janji harus ditepati? Bantu aku untuk memenuhi janjiku pada Pak Abdul." Mata elang itu menatap mata yang mulai mengembun di hadapannya. "Waktumu hanya seminggu, sebelum akad nikah dimulai."

Rey berdiri, merogoh saku dan mengeluarkan sapu tangan. "Jika kamu pernah merasakan hujan saat matahari bersinar. Seharusnya kamu juga bisa merasakan menangis saat tersenyum." Diulurkannya sapu tangan berwarna hitam ke arah Mala.

"Jadilah wanita yang kuat. Kita akan bertemu seminggu lagi." Rey beranjak meninggalkan Mala.

***

David memandang wanita yang sudah menjalin cinta dengannya selama tiga tahun itu tanpa kata. Setelah tiga hari menghindar, kini saat ada kesempatan bertemu, David dikejutkan dengan keputusan Mala untuk berpisah darinya. "Jelaskan semua padaku sejujur-jujurnya." David sangat tahu watak Mala. Dia tidak bisa berbohong.

"A-aku ...." Mala meragu, haruskah ia mengatakan kalau Rey sudah mempersiapkan segala persiapan pernikahan dengannya. "Maaf."

David mengembuskan napas panjang. "Ayolah, sayang ... dari tadi hanya kata maaf yang terucap dari mulutmu. Katakanlah, ada apa sebenarnya? Apa pria itu mengancammu?" Digenggamnya tangan kurus itu erat.

Mala menggeleng lemah, sekilas menatap David lalu kembali memalingkan wajah. "Kamu sedang berbohong." Ia tahu, gadis itu tidak akan berani menatap mata lawan bicaranya saat sedang berbohong.

"Berjanjilah untuk tetap tenang saat aku mengatakan segalanya." Mala mengiba.

"Oke. Aku berjanji." David mengelus lengan kurus itu lagi.

"A-ku, akan menikah dengan Pak Rey minggu depan," ucap Mala lirih, ia menunduk, menanti respon dari kekasihnya.

Hening.

Hello, Mr. Cold!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang