Prolog

8.9K 360 8
                                    

Nirmala, gadis berwajah manis ini menghembuskan napas panjang. Tatapan matanya terlihat kosong, ia tak tahu harus bagaimana menjalani hidup ke depan. Semua seolah berhenti seketika, napas terasa sesak dan hidup tak lagi berwarna. Ayah, sosok pria yang selama ini menjadi pelindung sedari kecil harus meninggalkan untuk bertemu dengan Sang Pencipta. Apa yang lebih menyakitkan daripada kehilangan orang yang paling kita cintai? Padahal, gadis berusia dua puluh tiga tahun itu baru saja mendapat pekerjaan sesuai impian beliau. Kini, semua terasa sia-sia, karena alasan dia mengejar impiannya ini demi sang Ayah yang menjadi penyemangat hidupnya.

Buliran bening dari mata bulat itu tak henti mengalir. Jemari lentik mengusap batu nisan dan tanah yang masih basah dengan taburan mawar merah muda. Sesekali bibir tipisnya menyebut nama sang Ayah lirih. "Ayah ... Aku sendirian," ucapnya dengan suara parau.

David, kekasih yang setia menemani mengusap bahu Nirmala dengan lembut. Ia berusaha menjadi sumber kekuatan bagi gadis berkulit putih dan berdagu lancip itu. Kini, David merasa punya tanggung jawab lebih untuk menjaga kekasihnya, terlebih status anak yatim piatu tersemat mulai detik ini pada Nirmala.

"Sudah ... ikhlaskan kepergian ayah. Biarkan beliau tenang di sisi Tuhan," tutur David sembari mengusap lembut rambut panjang Nirmala yang bergelombang di bagian ujung.

Mata Nirmala terpejam beberapa detik, mengeluarkan sisa buliran bening yang sudah tak terbendung lagi. Netranya beralih pada pria yang mempunyai lesung pipi itu. Ya, pria yang sudah menjadi kekasihnya selama 3 tahun terakhir.

"Aku ... sendirian sekarang." Ia menatap David dengan saksama, memberi lukisan kesedihan di wajah cantiknya.

"Hei, apa kehadiranku tidak kamu anggap? Dengar, Aku yang akan menjagamu mulai sekarang. Kamu meragukan cintaku?" tanya David. Ia meraih tangan kekasihnya dan menggenggam erat. Nirmala menunduk, tak kuasa rasanya mencerna ucapan David yang mustahil untuk bersama mengingat alasan yang selama ini ia ketahui.

"Sayang ... kamu baik-baik saja?" Diusapnya pucuk rambut Nirmala lembut.

Gadis itu mengangkat wajah dan tersenyum. Senyum palsu. Ada sedikit keterpaksaan dari tarikan sudut bibir itu. Namun, sebisa mungkin ia sembunyikan. Baginya, David adalah kekasih yang sangat baik. Bahkan, sang Ayah pun sudah menganggap pria itu sebagai anaknya sendiri.

"Aku baik-baik saja. Ayo, kita pulang," ajak Nirmala, sejenak ia menoleh ke pusara ayahnya. Jemarinya kembali mengusap batu nisan bertuliskan nama orang yang sangat berarti dalam kehidupannya. Ia menghela napas berat, lalu berdiri dan bergegas melangkah meninggalkan tempat peristirahatan sang Ayah untuk terkahir kalinya.

***

Malam harinya, saat semua tetangga dan kerabat Nirmala sudah pulang terlihat mobil mewah berwarna silver berhenti tepat di sebuah rumah sederhana. Seorang pria bertubuh tegap dan memakai kaca mata hitam bergegas turun dari kendaraan roda empat tersebut. Ia melepas pelindung mata itu dari wajahnya dan menyematkan pada kemeja putih yang terbalut jas hitam.

Rey Anggara, pemilik perusahaan ternama di Jakarta. Ia tidak menyangka akan kehilangan sosok Pak Abdul --supir pribadi-- yang sudah selama puluhan tahun mengabdi pada keluarga Anggara. Pria berwajah tegas itu membetulkan jasnya, lalu memasukan tangan kanan ke saku celana. Sepulang dari urusan bisnis di luar kota ia langsung menuju ke rumah Pak Abdul saat mendapat kabar duka ini.

Kini, ia telah berdiri di depan rumah almarhum untuk mengucapkan bela sungkawa dan memenuhi janji kepada Pak Abdul yang sudah ia anggap saudaranya sendiri.

Sementara itu, Nirmala dan David membereskan rumah setelah seharian penuh oleh para pelayat. Mereka lebih banyak diam dan fokus pada tugas masing-masing. Sesekali David memperhatikan kekasihnya yang tampak begitu murung, tetapi ia merasa tidak berhak mengusik Nirmala dengan sebuah candaan. Pria itu tahu, jika kekasihnya adalah wanita yang kuat dan tidak cengeng. Akan tamun, ada kalanya ia harus menangis untuk menghilangkan rasa gundah di dalam dada.

Suara ketukan pintu membuat dua insan itu saling menatap, memberi tanda jika keduanya bertanya siapa tamu yang datang. "Biar aku yang buka pintu," tutur Nirmala. David mengangguk tanda setuju.

Kaki jenjang itu melangkah ke arah sumber suara, tangan terulur membuka pintu dengan segera. Ia terkejut, mendapati Bos sang Ayah yang kini berdiri tepat di hadapanya, di rumah sederhana ini. Ada rasa canggung, tetapi Nirmala tetap memberi rasa hormat pada pria tampan itu.

"Pa-k Rey, An-da ke sini?" Ia tergagap. "Oh, Silakan masuk." Dengan bergegas gadis itu menyingkir, membiarkan Rey masuk terlebih dahulu.

Rey mengangguk dan tersenyum, ia melangkah dan segera duduk di kursi sederhana. David segera menghentikan aktifitas, lalu ia berdiri tepat di samping Nirmala. Mereka saling menatap, keduanya merasa segan dengan kedatangan pria yang nyaris jarang tersenyum saat bertemu atau berpapasan dengan siapa pun.

"Anda mau minum sesuatu? Biar saya ambilkan ...." Nirmala merasa gugup, padahal bukan pertama kalinya ia berjumpa dengan Rey.

"Tidak usah. Duduklah, ada yang ingin aku bicarakan," titahnya, membuat gadis itu salah tingkah. Ia menoleh ke arah David, pria itu mengangguk perlahan. Nirmala segera duduk, tepat berhadapan dengan Rey Anggara.

"Aku tidak banyak waktu. Aku turut berbela sungkawa atas kepergian Pak Abdul, dia orang yang sangat baik. Keluarga kami mengucapkan banyak terima kasih atas semua jasa-jasanya selama ini," tuturnya masih dengan wajah dingin.

Nirmala mengangguk pelan, ia tersenyum tipis, kembali teringat kenangan ayahnya saat bekerja. Betapa bersemangat kala itu ketika akan berangkat bekerja, walau hanya seorang supir pribadi.

"Satu lagi. Kemasi barangmu dan ikutlah denganku." Ray merogoh sesuatu dari saku celananya.

Nirmala mengernyitkan dahi." Saya mau dibawa ke mana, Pak?" tanyanya heran. Begitu pun dengan David. Ada rasa cemburu tersirat di wajahnya, perasaannya menjadi tidak enak.

Rey menyodorkan kotak beludru merah kecil di hadapan Nirmala, lalu membukanya dengan segera. Mata gadis itu membelalak saat melihat sebuah cincin dengan berlian indah disodorkan padanya. Ia semakin tidak mengerti dengan maksud dari pria di hadapannya ini.

Ia mentautkan alis. "Maksudnya apa, Pak?" tanya Nirmala bingung. Begitu pula dengan David, kekasihnya.

Rey menghela napas berat, ia sedikit kesal dengan sikap gadis itu yang tidak mengerti dengan kode yang sudah ia berikan. "Menikahlah denganku!" ucapnya tegas.

"Ha ...!" teriak Nirmala dan David bersamaan.

Rey menyandarkan punggung di kursi tua di belakangnya. "Jangan katakan tidak, karena aku tidak suka penolakan,"

Hello, Mr. Cold!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang