Part 1

5.3K 312 11
                                    

Mentari yang masih enggan menampakkan sinarnya tak menyurutkan aktivitas Pak Abdul,  untuk mencari nafkah. pria berusia enam puluh tahun itu menikmati tugas rutinnya di pagi hari ini, mengelap dan membersihkan mobil milik bosnya. Sesekali, ia bersiul mengikuti kicau burung yang bersahutan, senyum merekah tercetak jelas di wajah tuanya, menandakan kalau ia sedang bahagia.

"Wah, ada yang lagi bahagia kayaknya?" Pak Abdul menoleh ke arah sumber suara. Ia mengulum senyum dan mengangguk sopan kepada Bosnya yang barusan pulang dari olahraga pagi keliling kompleks perumahan elite ini.

Digaruknya rambut yang tak gatal. "Iya, Pak." Senyum itu kembali merekah.

"Kabar bahagia itu harus dibagi-bagi." Pak Kamal, bos di tempat ia bekerja sebagai sopir pribadi selama dua puluh lima tahun itu menepuk pundak Pak Abdul pelan. "Ayo, ngopi-ngopi dulu," ajaknya sambil melangkah menuju gazebo yang di taman depan.

"Eh, iya, Pak. Sebentar, saya bereskan ini dulu. Mas Rey nggak ikut olahraga sama Bapak?" tanya Pak Abdul.

"Ikut. Tadi, dia ketemu temannya di jalan, ngobrol dulu mereka," jawab Pak Kamal sambil menyesap kopi yang sudah tersedia di tengah gazebo. Kopi buatan Pak Abdul yang menjadi minuman wajib di pagi hari.

"Jadi, ada kabar bahagia apa hari ini?" Pak Kamal menyandarkan punggung dan menatap sopir yang sudah ia anggap keluarganya sendiri.

Pak Abdul duduk di depan bosnya dengan senyum yang masih merekah. "Ini, anak saya, Nirmala. Hari ini tes wawancara di perusahaan Gunawan Group."

"Loh, kenapa nggak masuk ke perusahaanku saja?" tanya Pak Kamal kaget.

"Sudah saya tawari tapi dia tidak mau, Pak. Katanya, ingin mau masuk ke perusahaan besar tanpa bantuan orang dalam. Murni karena kerja keras dia," papar Pak Abdul.

Pak Kamal mengangguk tanda mengerti. "Begitu ya? Baiklah, Gunawan Group itu perusahaan yang bagus juga. Semoga anakmu bisa diterima di sana."

"Amin. Terima kasih, Pak."

"Apa aku ketinggalan berita hangat?" Rey, anak semata wayang Pak Kamal tiba-tiba muncul dengan peluh yang membajiri kausnya.

Pak Kamal terkekeh. "Ini, Pak Abdul lagi bahagia, karena anak gadisnya hari ini wawancara kerja di perusahan Gunawan."

Rey mentautkan alis. "Kenapa di sana?"

"Itu salah satu perusahan besar impiannya, Mas. Sudah saya tawari di perusahaan Mas Rey, dia nggak mau. Katanya nggak enak kalau langsung keterima kerja tanpa perjuangan," jelas Pak Abdul.

"Umur berapa Nirmala sekarang? Terakhir ketemu, dia masih sepuluh tahun," tanya Rey.

"Dua puluh tiga tahun, Mas. Nggak kerasa sudah semakin dewasa dan saya semakin tua, entah bagaimana nasibnya jika saya meninggal nanti," jawab Pak Abdul.

"Hush, nggak boleh bilang seperti itu." Pak Kamal mengkibakan tangan ke arah sopirnya itu.

Pak Abdul tersenyum tipis. "Setelah istri meninggal, saya kerja cuma buat dia saja. Semua saya curahkan demi kebahagiannya, tapi ... akhir-akhir ini dia sering murung. Saya jadi ikutan sedih."

"Sudah coba ditanya?" Pak Kamal, pria berusia tujuh puluh tahun itu membenarkan posisi duduknya. Sedangkan Rey, menyesap kopinya sambil mendengarkan cerita Pak Abdul dalam diam.

"Setiap saya tanya, cuma tersenyum dan bilang nggak ada apa-apa. Sebagai orang tua, saya tetap khawatir melihat ia murung seperti itu. Akhirnya saya beranikan diri tanya ke David, pacarnya. Ternyata ... hubungan mereka ditentang oleh orang tua David. Padahal mereka sudah lama berpacaran. Hampir tiga tahun."

Hello, Mr. Cold!Unde poveștirile trăiesc. Descoperă acum