22

15.4K 2.9K 68
                                    

Hujan turun dengan derasnya hari ini di daerah Gandaria Jakarta, berlawanan dengan ramalan cuaca. Sesuai tebakan Geo, cuaca bisa berubah-ubah, maka dari itu dia sangat menegaskan untuk mengadakan acara di ruangan tertutup, meski pimpinan acara ngotot ingin di ruangan terbuka. Kalau Geo mengikuti kata pimpinan, sudah pasti acara ini akan gagal.

"Geo," panggil salah satu rekannya saat Geo mengecek daftar narasumber yang datang hari ini di papan jalan. Geo mendongak, menunggu rekannya berbicara lebih lanjut. "Narasumber dari penerbit Mentari sudah datang."

Geo sejenak diam, membuat rekannya menautkan alis karena Geo tidak pernah selamban ini dalam bertindak. Rekannya menjentikkan jari di hadapannya. "Ge?"

"Oh. Oke, tolong dicek ruangan untuk narasumbernya dan kasih briefing, ya. Gue ada perlu lain."

"Yah, Ge?" tuntut rekannya, karena melakukan hal itu bukan salah satu job desk-nya, melainkan Geo.

"Sorry banget," kemudian, Geo melipir ke arah lain, menjauh dari masalah, hanya untuk menenangkan hatinya yang sedikit bergemuruh sekarang.

Geo duduk di salah satu bangku kosong di belakang panggung. Dirinya berusaha menulikan telinga dari kebisingan yang terjadi di sekitar. Setelah napas dan jantungnya kembali normal, Geo melihat ke arah ponsel. Ada pesan dari dua orang muncul di layar notifikasinya.

Afgan: Gue udah sampe, nih. Lo di mana?

Lilian: Serahin Ganiva ke aku, Ge. Aku ibunya.

Geo mengurutkan pangkal hidung, hatinya merasa hari ini akan menjadi hari terberat dalam hidupnya. Setelah tahu rahasia kelam Lilian, Geo hanya ingin kembali pada masa lalunya..., menjelaskan segala yang terjadi, membuat semuanya kembali tepat, dan mengatakan bahwa selama ini dirinya tersesat dan sekarang dirinya hanya ingin pulang.

Tapi, Geo merasa tidak berhak akan hal itu.

Geo memejamkan mata. Kegaduhan ini. Tidak ada bedanya dari beberapa tahun yang lalu. Ketika Geo dan masa lalunya menjadi panitia acara sekolah. Mereka bukan satu divisi, tapi seringkali bertemu. Di puncak acara, Geo masih ingat, masa lalunya melihat keramaian acara dari tempat yang sepi, tempat yang tidak terlihat siapa-siapa. Tapi, Geo melihatnya. Geo ikut duduk di samping masa lalu, seiring masa lalu kemudian menjelaskan sesuatu padanya.

"Gue seneng, deh. Acaranya berjalan baik-baik aja. Semuanya happy," masa lalunya menyesap minum dari gelas kertas, lalu menoleh pada Geo dengan bola matanya yang berwarna hitam jernih. "Semua kerja keras kita jadinya berbuah manis."

"Kenapa lo gak ikut selebrasi di sana?" tanya Geo.

Masa lalunya tertawa. "Gue lebih suka liat semua dari jauh, Ge. Lo bisa liat gambaran besar dari jauh. Dan di gambaran besar ini," masa lalunya mengangkat kedua tangan, membentuk huruf L yang membuat keramaian acara seperti terbingkai. "Gak akan keliatan kalo lo ada di sana, Ge. Yah, gak ada salahnya sih, di sana. Cuma..., mungkin emang gue-nya aja yang lebih suka ada di sini."

Geo mengangguk paham. "Gue temenin, ya?"

Masa lalunya menoleh dengan cepat ke arah Geo. Awalnya, ada kebingungan dalam wajahnya, hingga akhirnya rona merah yang tersamarkan dengan gelapnya malam membuat Geo tahu bahwa dia memiliki kesempatan untuk menggenggam masa depan masa lalunya.

Geo berhasil menggenggamnya. Tapi, yang ia lakukan hanyalah menggenggam untuk melepaskan. Kini, dirinya tersesat dan yang ia inginkan hanya pulang.

"Gue gak bisa gini," ucap Geo seraya memegang kepalanya dengan kedua tangan, menyugar rambutnya. "Gue harus hadapin."

Geo berdiri, menarik dan membuang napasnya, lalu ke ruangan di mana masa lalunya sedang menunggu. Geo punya banyak sekali pertanyaan, namun satu yang ingin ia tahu.

Apakah kini masa lalunya bahagia?

Geo sampai di pintu bertuliskan Nagita. Berdiri diam di sana. Hingga akhirnya, Geo membuka kenop pintu tersebut, menampilkan masa lalunya.

Bersama dengan seorang anak perempuan sebaya Ganiva. Anak perempuan tersebut yang pertama kali menyadari kehadiran seseorang di belakang mereka dengan menoleh, mata birunya menatap manik mata cokelat Geo. Karena tatapan yang lama dari sang anak perempuan, masa lalunya kini mengikuti arah tatapannya.

Pandangan Geo dan masa lalunya terpaut.

Dan, sekali lagi dalam hidupnya, Geo melihat tatapan penuh horror tersebut, terlukis jelas di wajah masa lalunya.

Di wajah Nagita Mauza.

di atas langit biruWhere stories live. Discover now