[2] Awal

15 1 0
                                    

"AAGGH! Hati-hati Hanna, sakit!" seru Putra.

"Maaf." Balas Hanna sambil mengusap pipi Putra yang lebam dengan lap basah.

"Aduh!" Putra kembali teriak.

"Cengeng! Lagian kau sendiri yang nekat melawan perintah Darwin." seru Rafael sambil menaruh secangkir coklat di meja.

Tiga perajurit hebat kembali lagi kumpul di sofa favorit mereka. Sofa di kamar milik Putra.

"Aku terbawa semangat, Rafael. Lagian sebelum berangkat misi, Darwin dan aku berbincang-bincang asik seperti biasanya. Kenapa semua orang selalu serius setiap misi dimulai." Putra menghela nafas, raut mukanya terlihat kesal.

sedangkan Rafael memasang raut bingung. "Kenapa? mungkin karena nyawa mereka dan teman-teman mereka taruhannya, dasar Putra kau masih saja seperti ini." begitu yang dia katakan dalam hati kecilnya.

Putra memejamkan mata, membayangkan kejadian tiga jam yang lalu setelah selesai menyelesaikan misi. Kejadian dimana dia mendapatkan luka lebamnya di pipi. Semakin dia memejamkan mata, semakin dia terbayang-bayang dengan muka kapten Darwin. Raut mukanya makin kesal. "AAAHH!" teriak Putra.

Putra beranjak dari sofa. Kakinya melangkah menuju pintu.

"Kamu mau kemana, Putra?" tanya Rafael cemas.

"Ketempat latihan. Kalian pakai saja kamarku sesuka kalian." Ucap putra sambil melangkah keluar ruangan, dia mendobrak pintu.

Rafael dan Hanna saling bertatapan. Rafael menangkat pundaknya, menggeleng bingung.

Beberapa saat kemudian, Rafael melihat jam tangannya. "Ah sekarang sudah waktunya, yah. Hanna, aku ingin pergi ke lab dulu, ada alat yang harus aku buat. Tolong kamu tengok Putra, mungkin kamu bisa membuat dia lebih tenang." Dia beranjak keluar.

Hanna mengangguk pelan. "Oke," jawabnya dengan suara yang lembut dengan intonasi datar.

Sikap Hanna terlalu polos untuk perempuan seusianya. Dia seperti boneka cantik yang dapat bergerak. Dia tidak tau cara berbincang dengan teman-temannya. Jawabannya selalu singkat dan padat. Tidak seperti dirinya yang sedang melaksanakan misi yang selalu membagi informasi sedetail mungkin dengan apa yang dia lihat. Tapi jangan salah, Hanna merupakan sosok perempuan yang senang membantu, dia akan sebisa mungkin membantu ke dua teman-temannya. Dia selalu ada disamping kedua temannya senang maupun sedih, karena mereka bedua adalah sosok yang penting bagi Hanna Kidwelic, sosok yang harus dia lindungi dengan tangan kecil namun mematikan yang dia punya.

***

Sementara itu di ruang latihan. Putra Seorang diri berada di tengah ruangan ditemani dengan samsak tinju. Pukulan Putra menghempas mengenai samsak tinju. Pasir dalam samsak itu sedikit demi sedikit bocor keluar dari samsak.

Putra kembali memejamkan matanya sambil terus memukul. Menghirup nafas dalam-dalam berusaha meluapkan emosi kedalam pukulannya.

"Sikapmu sudah keterlaluan, Cheetah. Tindakanmu membahayakan teman-temanmu."

"Tapi Darwin..."

"Darwin? Buka matamu, perajurit. Kamu masih ada di medan perang."

"Kapten... mereka hanya sepuluh orang, kau tau kalau aku bisa melumpuhkan mereka sendirian."

"Bagaimana jika mereka lebih dari itu? bersembunyi bersiap menyerangmu. Teman-temanmu akan kerepotan berkat ulahmu."

"Kapten, tolong sudahi pertengkaran ini," cela Rafael berusaha melerai. "Yang terpenting adalah Cheetah baik-baik saja dan itu sudahlah cukup bagiku dan Eagle. Bukan begitu, Han, maksudku Eagle?"

Hanna mengangguk.

Kapten Darwing  menengok ke arah Hanna dan Rafael. Dia melihat mata anak-anak yang penuh kepercayaan diri yang tinggi antar sesama. Dia menghela nafas. "Baik, aku akan memafkanmu untuk kali ini, tapi tetap kau salah karena telah mengabaikan perintah, prajurit. Kau tau apa yang harus kau lakukan dengan tangan kanan besimu itu."

Putra menghela nafas. "Baik, Kapten." Dia mengepalkan tangan kanannya dengan erat, mengambil ancang-ancang siap memukul. Dia memejamkan mata mengumpulkan emosi dari kesalahannya di misi kali ini. Dia salah karena mengabaikan perintah, dia salah karena hampir membahayakan teman-temannya, dia salah karena berkat dirinya Hanna harus membunuh kapten musuh dan akhirnya misi kali ini tidak mendapatkan hasil apa-apa, begitulah yang sedang ada dipikirannya sekarang. lalu dengan begitu cepat, tangan kanannya melesat menghantam pipi kanannya. Putra merintih nyeri kesakitan. Darah segar menetes dari mulutnya.

"Itu akibatnya kalau kau mengabaikan perintah." ucap Kapten Darwin.

BUSH! Samsak tinju terpental melesat ke depan. Hanna berada tepat di depan samsak itu, dengan cepatnya dia bergeser satu langkah menghindar. Samsak itu terpental mendobrak pintu hingga isi dalamannya berserakan.

"Hanna!" teriak Putra cemas. "Apa yang kamu lakukan disini?"

"Rafael bilang Putra mungkin tidak akan kesal lagi kalau Hanna ada didekat Putra," ucap Hanna.

"Rafael yang menyuruhmu?"

Hanna mengangguk.

"Sudahlah Hanna, aku tidak apa-apa. Kalian terlalu menghawatirkanku. Kamu pergi saja, tidur di sofa favoritmu itu. Tadi hampir saja kamu terkena samsak itu." Putra maju mengambil samsak yang terpental lalu menaruhnya di tempat sampah.

"Tidak. Hanna ingin disini." Hanna melangkah menuju tempat tembak lalu mengambil pistol. Duar-duar-duar! suara tembakan pistol Hanna terkena sasaran. "Lihat, Hanna sedang latihan." Muka putih cantiknya terukir dengan senyuman manis.

Muka Putra memerah. Dia sudah pasrah mengalah, dia tau kalau sekarang dia tidak bisa melawan. Hanya ada satu kelemahan mahluk buas haus darah yang ditakuti musuh-musuhnya, yaitu senyuman manis dari malaikat cantik yang turun dari surga. Dia melangkah mengambil samsak baru, lalu menggantungnya, kembali berlatih. "Dasar. terserah deh."

Hanna tersenyum tipis. Mata tajamnya menatap Putra.

"Ng-ngomong-ngomong, dimana orang sialan itu? dimana Rafael?" Putra kembali memukul samsak.

"Rafael sekarang ada di lab, Putra." jawab Hanna. Dia mengisi peluru pistolnya lalu kembali menembak.

"Ah, dasar. Si kutu buku itu. Seharusnya aku sudah tau." Putra tertawa.

"Putra," ucap Hanna dengan suara datarnya, dia berhenti menembak.

"Hah? ada apa, Hanna?" tanya Putra.

"Ke sofa, habis ini ke sofa."

Putra tertawa pelan, dia berhenti memukul. "Dasar, sekali-kali tidurlah di tempatmu sendiri, Hanna." Dia kembali memukul samsaknya. "Ambigu sekali," bisiknya.

"Tapi Putra bilang Hanna boleh tidur di sofa favorit Hanna."

Putra menggeleng lalu menghela nafas. "Iya deh iya."

"Dasar, sampai kapan kau terus menjadi adik kecil kami, Hanna," seru Putra dalam hati.


You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Apr 15, 2020 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

A51: Tiga Remaja IndobritisWhere stories live. Discover now