Satu

3.2K 153 2
                                    


Aku sebenarnya tidak ingin menceritakan bagian yang satu ini. Sebab bagian ini tak kalah pahit dari yang bab sebelumnya. Aku bukan maksud mengungkit luka 4 tahun lalu itu, tapi inilah kenanganku bersamanya, Anelia Faenora.

Aku akan menceritakan hari terakhir bersama Anelia di dua bab buku ini. Setelah itu mari kita masuk ke kisahku yang amat manis.

Aku dan Anelia mulai akrab setelah hari itu. Anelia mengajarku banyak hal saat bersamanya. Dia mengajarku memasak, menyetir mobil dan paling aku suka belanja bahan makanan. Oh iya, Anelia itu hidup sendiri. Kedua orangtuanya meninggal saat ia berusia 17 tahun. Mungkin itulah alasan dia tumbuh menjadi seorang gadis yang mandiri dengan hati selembut sutera.

Tepatnya tiga hari sebelum pernikahan. Anelia memberitahuku kebiasaan-kebiasaan Astro, kemudian warna yang Astro suka, dan makanan yang Astro suka. Anelia juga memberitahuku cara menenangkan Astro ketika marah, dan juga ia membocorkan sifat buruk Astro, seperti suka mencubit pipi sampai merah atau mungkin menggigit telinga tanpa sebab.

Aku menikmati hal yang Anelia beri, sebab kabar baiknya Anelia memiliki sifat yang hampir sama denganku. Tapi yang berbeda ialah, hobi kami. Anelia suka menulis, dan dia sudah menuangkan buah karyanya di beberapa penerbit hebat. Sedangkan aku, aku suka bernyanyi. Meskipun aku bukan seorang penyanyi.

Malam setelah Anelia menceritakan hal-hal mengenai Astro. Kami berdua tidur pukul dua belas malam. Saat aku tidur, disitulah semua tertumpahkan lewat airmataku.

Aku merasa seperti menjadi orang paling jahat, paling berkhianat, bahkan aku merasa lebih hina dari pekerjaanku yang dulu. Bagaimana bisa aku menikah dengan Astro, yang merupakan milik Anelia. Aku mungkin tidak berada di posisi Anelia, namun aku bisa merasakan perasaan seseorang yang kita cintai hidup bersama orang lain. Bukankah Anelia lebih berhak bahagia, meski nantinya mereka akan terluka? Setidaknya dia harus merasakan kebahagiaan sebuah pernikahan. Oh tuhan..., mengapa harus aku yang menjadi penggantinya.

Aku tidak bisa melakukannya..., Anelia adalah orang yang menyelamatkan hidupku. Apa pantas? Aku seorang penghibur malam yang menjadi candy tiap malam merampas kebahagiaan seseorang yang telah menjadi penyelamat. Tuhan maafkan aku...,

"Argh!!!" Anelia tiba-tiba meringis kesakitan, tubuhnya kejang-kejang seperti di atas kapal. Aku dengan sergap membawanya ke luar dari rumah dan memasukkannya dengan mobil. Tangan kananku membiru karena kesulitan saat membawa Anelia keluar. Aku menyeretnya dengan badan di punggung namun kakinya tetap berada di lantai.

Keringat keluar berkecucuran saat aku mulai mengemudi mobil.  Bagaimana tidak? Aku baru dua kali belajar membawa mobil. Tapi apa yang bisa aku lakukan, ketika sahabat paling kamu sayangi itu sedang sekarat di sampingmu. Karena dorongan itu aku memberanikan diri membawa mobil dengan konsentrasi penuh.

Sekitar 5 menit perjalanan tanpa macet, kami sampai di rumah sakit terdekat. Dua dokter langsung membawa Anelia dengan ranjang dorong. Aku ikut mendorong dan tanpa sadar aku menangis melihat kondisi gadis ini. Aku benci bagian ini.

Anelia kemudian di bawa masuk ke ruangan khusus, dan aku menunggu di ruang tunggu. Sejenak mataku menangkap jam dinding yang melingkar sempurna seperti bulan purnama, pukul 01.45 malam. Aku terdiam sejenak, berdoa agar Anelia bisa bertahan. Hatiku tiba-tiba terasa seperti di tusuk oleh tombak besar karena mengingat Anelia yang memberiku kekasihnya padaku. Aku tidak tahu hati dia terbuat dari apa? Tapi merelakan orang yang kita cintai bersama orang lain adalah hal paling terindah. Siapa di dunia ini mau merelakan kekasih mereka? Merelakan calon suami yang mereka cintai menikah dengan orang lain. Bukankah aku terlalu jahat. Terlalu hina dalam perasaan. Mengapa aku tidak bisa menolong orang yang telah menolongku! Airmataku lagi-lagi turun.

*****

Mentari dari celah jendela menyinari mataku yang sedang tertutup rapat. Orang-orang mulai berlalu lalang menjenguk sanak-saudaranya. Aku tanpa pikir panjang, masuk ke ruang khusus itu, tapi seorang dokter hampir saja melarangku masuk. Aku tidak hanya diam saat itu, aku malah membual bahwa aku saudaranya. Namun dokter tersebut tersenyum, dia tahu bahwa aku bukan saudara Anelia. Sebab ia adalah dokter yang sudah mengenal lama Anelia. Aku hanya pasrah dan menjelaskan kembali bahwa aku sahabat Anelia, setelah itu dia memberiku izin masuk.

Ya! Jujur selalu membuat kita melintas, bahkan kejujuran kecil sekali pun.

Aku tertegun tepat di pintu masuk. Ada banyak selang di tubuhnya dan beberapa alat medis lain membalut tubuhnya.

Dia melihatku dengan senyum ceria. Jangan tanya mataku, aku sudah menangis sejak aku masuk ke ruangan ini. Wajah itu benar-benar membuatku semakin merasa bersalah atau bahkan hancur. Aku mendekatkan diri padanya.

"Kau tidur di luar ya? Kau harusnya pulang. Kau hanya membuang waktu disini." Anelia menatapku dengan airmata yang ia tahan. Terlihat jelas airmatanya berada di pelupuk mata.

"Aku tidak tahu harus berkata apa? Tapi aku benar-benar ingin kamu sembuh. Apa yang kamu butuhkan?  Aku siap membantumu." Aku mencoba manahan diri, ingin aku memeluk tubuhnya dan membayar bantuan yang ia berikan.

Anelia tertawa kecil. Tapi matanya sudah meneteskan air.

"Aku siap mendonor organku jika kamu mau. Kau mau apa? Ginjalku? Mataku? Atau jantungku? Aku siap memberikannya. Kita lakukan operasi hari ini juga!" Aku berbicara seperti orang gila. Dengan tangis amat menderu.

"Yakin? Kalau aku meminta jantungmu. Kau tidak akan bisa hidup." Anelia berkata sambil tersenyum. Tidak serius sepertiku.

"Kamu lebih berhak hidup. Tubuh kotorku ini tak akan pernah menjadi hal baik di mata tuhan. Dan kau lebih berhak bahagia dariku. Aku akan menyerahkan semuanya agar kau tetap hidup." Bibirku gemetar dan tangisku makin menjadi-jadi.

"Terima kasih. Tapi penyakitku ini benar-benar tidak bisa di tolongkan lagi, dan berhenti berkata kalau aku lebih berhak bahagia darimu. Aku sudah bahagia dengan melihatmu hidup bersama Astro. Tuhan juga akan menyayangimu."

"Kau bohong, Anelia. Kau sebenarnya tidak menginginkan aku menikah dengan Astro. Tapi kenapa..., kamu selalu memaksa hatimu untuk merelakannya. Kau mengharapkan juga kan menikah dengannya? Lalu kenapa kau menyusah hatimu seperti ini!" Aku luruh di lantai. Mata Anelia redup dan menjatuhkan airmata.

"Kamu benar. Tapi aku tak akan pernah bisa meninggalkan dia dengan perasaan hancur! Dia amat mencintaiku seperti aku mencintainya. Apapun akan kulakukan agar dia tetap bahagia. Aku bukan bermaksud jahat kepadamu. Tapi tolong! Tolong menikah dengan Astro dan hidup bersamanya!" Suara Anelia membuatku semakin merasa terpuruk.

Kami kemudian terdiam dengan airmata yang tak bisa kami hentikan. Tiba-tiba Anelia kembali bersuara.

"Besok adalah hari pernikahanku. Hari ini aku sudah berjanji dengan Astro untuk memilih gaun pernikahan dengannya. Jadi pulanglah ke rumah, sebab Astro akan menjemputmu." Ucap Anelia dengan nada sebisa mungkin terdengar bahagia.

Aku berdiri dan tetap diam di sisi ranjang sambil menatapnya dengan lekat-lekat.
"Tolong! Pergilah sekarang juga. Kau harus terlihat sepertiku dan ingat aku suka pakai jepitan rambut kupu-kupu biru. Kau harus terlihat bahagia di hadapannya." Anelia memegang tanganku lembut.

Airmataku lalu jatuh kembali. Hatiku rasanya teriris ribuan kali. Anelia tersenyum menatapku, aku tidak membalas, aku langsung pergi meninggalkannya dan melakukan hal yang ia inginkan. Aku harap jangan pernah kalian merasakan posisi sepertiku ini. Cukup aku saja. Sungguh. Jangan pernah.

****

Kalian pernah gak, merelakan orang kalian sayang ke orang lain.  Kalau pernah, gambarin ya rasanya di kolom komentar. Dan jangan lupa follow thornya segenggamrindu Firamarifat Novansurya happy reading.

My Beautiful HurtWhere stories live. Discover now