05

452 98 50
                                    

15 Desember 2014

Midam meringis menahan perih saat pemuda di sampingnya itu mengusapkan kapas berbalur alkohol ke luka yang ada di belakang telinganya. Sementara Midam sibuk meringis sakit, pemuda itu mulai bersuara.

"Nggak usah dipikirin. Manusia emang gitu. Sukanya ngatain, tapi nggak pernah ngaca. Biarin aja mereka, nanti juga capek sendiri," ucap pemuda itu membuat Midam tertunduk.

"Kenapa tadi lo nggak nangis?"

Midam menggigit bibirnya kuat, lalu menggeleng lemah. "Gue nggak bisa," lirihnya membuat pemuda bersurai hitam di sebelahnya menghentikan aktivitasnya.

"Kenapa?"

Midam menghela napas kecil. Pemuda di sebelahnya melanjutkan aktivitasnya membersihkan luka Midam. Beberapa kali saat kapas alkohol menyentuh lukanya, Midam hanya bisa menggigit bibir menahan rasa sakit. Sama sekali tidak bersuara meskipun sakitnya semakin terasa setelah lukanya diberi salep.

"Kalo sakit tuh jangan ditahan. Luapin aja sekarang, mumpung ada temen. Nanti kalo udah nggak ada temen dan lo udah nggak betah, lo mau ngeluh ke siapa?"

Midam hanya menunduk. Saat pemuda di sampingnya selesai dengan obat dan salepnya, barulah ia mulai bersuara.

"Kata Mama cowok nggak boleh lemah, nggak boleh nangis. Kata Mama cowok harus bisa nahan rasa sakit. Harus bisa hidup kuat meskipun nggak punya temen," ucap Midam pelan membuat pemuda di sebelahnya mengerutkan kening tak setuju.

"Ya nggak bisa gitu, dong. Cowok juga punya perasaan. Masa nggak boleh nunjukin perasaannya?" protes pemuda itu membuat Midam semakin menunduk.

"Seenggaknya, kalo lo punya masalah, lo bisa cerita ke orang lain. Jangan dipendem sendiri. Apalagi sampe berpikir buat bunuh diri. Itu tuh nggak guna banget tau nggak. Nyakitin diri sendiri," ucapnya lalu tersenyum pada Midam.

Midam mendongak mendengar nasehat dari orang asing yang telah menolongnya tadi. Iris hitam pekat Midam bertumbukan dengan netra coklat indah milik pemuda asing itu. Midam serasa ditenggelamkan.

Pemuda itu tersenyum manis, membuat Midam ikut tersenyum meski tipis.

"Inget omongan gue, ya."

Dan Midam hanya mengangguk saja, menanamkan dalam-dalam nasehat dari pemuda asing itu.

***

6 Desember 2018, 14.00

"Lee Hangyul, 45."

Oknum bernama lengkap Lee Hangyul itu kini tengah bersorak senang saat mengetahui nilai ulangan Matematikanya meningkat lima poin dari ulangan terakhir. Setidaknya usahanya memelototi buku hingga tengah malam tidak sia-sia begitu saja. Dan seharusnya orangtuanya bisa lebih menghargai peningkatan putra tampan mereka itu.

"Kim Dongbin, 97."

Kelas langsung ricuh bersorak kagum. Pasalnya ulangan Matematika kali ini ada di taraf yang jauh dari kata mudah. Mendapatkan nilai 70 saja mereka sudah sujud syukur. Namun sepertinya hal itu tidak berlaku untuk Kim Dongbin yang nyatanya memang sangat menguasai mata pelajaran yang sering memusingkan kepala pelajar itu.

"Kim Wooseok..."

Mata guru wanita itu menajam, melirik pada Wooseok yang sudah menatap takut-takut dari balik punggung Midam yang duduk di depannya. Sedangkan guru wanita itu menatap semakin tajam seakan sedang menguliti Wooseok hidup-hidup. Wooseok menelan ludah gugup. Sepertinya hidupnya akan berakhir sebentar lagi.

"... 36."

Wooseok mengerang frustasi. Dijambaknya rambut hitamnya dengan kuat lalu mencebikkan bibir, sebelum tubuhnya merosot kecewa. Nilainya turun satu poin dari ulangan terakhir. Tidak ada peningkatan.

Suatu Hari di Bulan Desember [Yoon Seobin X Lee Midam]Where stories live. Discover now