TIGA PULUH DUA

65K 3.1K 53
                                    

Raya masuk ke dalam rumah dengan hati kesal sesekali menggerutu. Dirinya terus saja memikirkan masalah dirumah sakit kemarin, ada apa sih dengan hari-hari yang ia jalani saat ini.

Mengapa rumit sekali hidupnya seperti benang kusut yang sulit sekali diurai. Dan yang menjadi pertanyaan terbesarnya ini terbuat dari apakah hati dan jalan pikiran Mama Mertuanya itu?

Selalu saja keras kepala dan ingin tahu semua apa yang terjadi di kehidupannya. Raya hanya mampu mengelus dada semoga ia bisa menghadapi ini semua.

"Sabar Ra, sabar. Orang waras harus ngalah," ucap Raya kepada dirinya sendiri mencoba menyemangati.

Raya melihat kearah jam di dinding yang hampir menunjukkan pukul satu siang, Nath belum ia jemput membuat dirinya menatap layar handphonenya. Pesannya belum Rafa baca, katanya Rafa ingin bertemu dirinya untuk membahas tentang undangan pernikahan mereka sekaligus menjemput Nath. Namun yang ditunggu-tunggu tidak juga memunculkan batang hidungnya.

"Kamu kok resah gitu, Ra? Emang Rafanya ada dimana?" tanya Ida yang tengah asik menonton sinetron kegemarannya.
Ditemani singkong goreng dan segelas teh hangat sebagai teman siangnya ini.

"Kalau tau bakal telat gini, Raya kan bisa jemput dulu Nath, Bu. Kalau Nath pulang sendiri gimana? Takutnya kan ada apa-apa dijalan."

Sebagai seorang Ibu, Raya sangat khawatir dan Ida dapat memaklumi itu. Namun Raya selalu saja mudah panik dan pikirannya seakan dipenuhi hal-hal yang tidak-tidak.

"Udah Ra, sini duduk dulu jangan mudah panik gitu."

Raya menghembuskan napas pelan mencoba menjernihkan pikiran dari hal buruk yang tidak diinginkan. Namun hatinya selalu benar, baru saja dirinya merasa tenang tiba-tiba saja Alvin mengiriminya pesan singkat. Sangat singkat seperti orang yang takut kehabisan pulsa jika menuliskan kalimat yang panjang.

Mas Alvin

Nath aku jemput.

Hah?

Bibir Raya terbuka lebar menatap isi pesan singkat itu. Alvin menjemput Nath, anak mereka? Sejak kapan sih Alvin mau menjemput Nath ke sekolah. Setiap kali Raya suruh pasti alasannya tidak mau. Entah karena meeting penting lah, malaslah, atau tidak mau bertemu dengan ibu-ibu rempong disekolah.

Tapi itu dulu, sebelum Raya tahu semua kebenarannya. Penolakan Alvin hanyalah kamuflase semata. Dulu Raya terlalu percaya saja sih dengan mantan suaminya itu. Saking percayanya, dirinya tidak bisa marah jika Alvin salah.

Sudahlah.

Itu masa lalu, okay?

Jangan dibahas ataupun diingat kembali semua kenangan tentang masa lalu. Hidup harus terus berjalan ke depan. Dan saat Raya menatap ke arah depan, Rafa berdiri didepan pintu dengan kemeja putih lengan panjang yang selalu ia gulung hingga siku. Tersenyum manis menampilkan lesungnya yang tergambar jelas dipipi.

Disaat dirinya tengah flashback masalalu, masa depannya justru datang dengan wajah cerah seperti rembulan dimalam hari.

"Raf, kenapa kamu lama banget, sih?" gerutu Raya sebal namun tetap ia tersenyum ketika menatap wajah teduh pria didepannya ini.

"Dijalan macet banget, maaf. Yuk, kita jemput Nath sekarang," ujar Rafa tergesa menarik tangan Raya lalu pamit kepada orang tua Raya yang masih asik menonton.

Dengan wajah pucat Raya duduk dan menghembuskan nafas pelan ketika sudah didalam mobil. Bibirnya terasa kelu untuk berbicara. Kini Raya sedang dipenuhi oleh rasa takut yang luar biasa.

Takut akan ancaman Alvin beserta Mamanya itu benar-benar nyata. Takut bila Alvin akan merebut kebahagiaannya.

"Sayang, maaf beneran deh tadi jalanan macet banget. Maafin aku ya, sayang?" Rafa menatap kearah Raya yang diam memandang lurus kedepan seperti tengah melamun.

Hujan Berjuta Rasa(Completed)Where stories live. Discover now