Obrolan di Travel 1

37.8K 1.8K 72
                                    

Aku duduk di kursi no 4 disebelah kanan, disebelah kiriku, kursi no 5, masih kosong. Travel ke Bandung hari ini lumayan kosong, jalanan juga. Ya iyalah, orang-orang udah pada mudik dari hari jumat dan sabtu kemarin. Sebenarnya aku males pulang ke Bandung, pasti macet!! Orang-orang Jakarta rata-rata pada 'mudik' ke Bandung. Yang benar saja, gak cukup apa aku kerja di Jakarta dan berkutat dengan kemacetan setiap hari harus kembali berhadapan dengan kemacetan di Bandung? Tapi mau gimana lagi, Ibu udah mengultimatum, kalau gak pulang dikeluarin dari Kartu Keluarga.

"Sebentar ya teh.. ambil penumpang yang lain." Kata supir travel ini sambil keluar dari mobil. Aku kira cuman aku sendiri penumpang di perjalanan sore ini.

Selain karena Bandung macet sebenarnya aku agak malas pulang. Kapan nikah? Pacarnya mana? Betah yah di Jakarta? Pindah bandung aja, gak kasian Ibu sama Adikmu itu berdua dirumah? Hidup di Jakarta bebas sih ya, gak ada yang ngawasin?

"Maaf mba, tasnya.." Sapa laki-laki itu, senyumnya manis.

Aku mengambil tas, membuka masker, tersenyum kaku. "Sorry mas."

"Gak apa-apa, santai aja mba. Dikira kursi sebelah kosong ya?" Balasnya ramah.

"Iya, sorry ya.." aku meletakan tas tepat dibawah kakiku. Memasang masker dan earphone yang tadi sempat aku lepas.

Perjalanan kali ini terasa berat buatku. Pertanyaan-pertanyaan yang belum mempunyai jawaban itu alasannya. Aku lelah dengan pertanyaan yang tidak akan ada habisnya sampai aku membawakan satu laki-laki ke rumah.

Aku melihat ke arah jalanan disebelah kananku, jalanan ibukota cukup lenggang. Pemandangan yang tak akan aku dapatkan dikala hari normal. Aku melihat kesebelah kiriku. Laki-laki ramah itu tersenyum padaku. Ada lesung pipi yang semakin memperindah wajahnya. Aku terkesima, tentu saja! Aku wanita normal yang rentan terhadap pria ganteng nan manis.

"Jarang nih liat Jakarta kayak gini." Tak kunjung mendapatkan jawaban dariku, laki-laki itu menatapku, "Jakarta kosong banget ya mba."

"Ahh i-ya." Aku tertangkap olehnya yang sedang terpesona karenanya.

"Andi" Dia mengulurkan tangan kanannya.

"Kanaya." Kami berjabatan tangan.

"Nama yang bagus." Dia melepaskan jabatan tangan kami, "Bahasa Sansekerta ya?"

"Iya."

"Enaknya dipanggil apa nih mba? Aya?"

Aku kaget. Bagaimana dia bisa menebaknya. Hanya keluargaku yang memanggilku 'Aya'.

"Salah ya mba?"

"Ahh, enggak."

"Muka gak bisa bohong lho mba." Dia tersenyum lagi, "Kaget gitu tadi mukanya."

"Ahh, iya." Aku tersenyum, "Sedikit."

Dia membenarkan duduknya, "Kok baru mudik mba?"

"Ngindarin macet mas."

"Sama saya juga. Asli Bandung mba?"

Sejujurnya, aku males dengan pertanyaan ini. Aku tau, tidak akan ada yang percaya bila aku bilang aku orang Bandung asli.

"Ibu yang asli orang Bandung. Saya campuran." Aku sudah mulai tidak tertarik dengan percakapan ini.

"Bapaknya orang mana mba?"

"Ambon, tapi campuran juga."

"Keliatan kok Ambonnya mba. Sunda-nya gak keliatan malahan." Dia tertawa sebentar.

Aku tau, percakapan ini akan segera berakhir. Aku tersenyum, memakai masker dan earphone yang aku lepas untuk kedua kalinya.

"Saya pernah ke Ambon. Bagus banget." Aku meliriknya, dia menatapku, "Keren banget mba. Sayang saya cuman punya waktu 10 hari untuk eksplore."

Insecurity (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang