2.1

7 0 0
                                    

Langkahnya terhenti tiba-tiba. Sosok berkalung kamera SLR tadi tahu-tahu lenyap dari pengamatannya. Amy mengedarkan pandangannya di pertigaan koridor yang ramai oleh murid-murid berwajah merah dan berkeringat setelah bubar jalan dari arah lapangan usai mengikuti upacara bendera 17 Agustus. Yang ada justru beberapa mata yang balas menatap Amy yang masih mengenakan segaram paduan suara lengkap. Amy mengenakan rompi abu-abu gelap dengan bordir logo SMU Sebangsa berbenang perak serta dasi pita hitam bergaris tipis abu-abu senada ketika murid yang lain mengenakan seragam putih abu-abu seperti biasa. Amy terlalu sibuk mencari hingga tak menyadari tatapan orang-orang yang mengenalinya setelah tadi ia tampil sebagai penyanyi solo di salah satu lagu wajib yang diaransemen ulang oleh Pak Yoseph, guru musik sekaligus pembina klub paduan suara.

Amy menghela napas panjang hingga mengembang dadanya. Hampir sebulan Amy mencari laki-laki itu. Betulan Amy mengira bahwa ia telah bertemu dengan salah satu hantu penghuni sekolah karena tak sekalipun melihat sosok itu berkeliaran di sekolah. Setidaknya Amy ingin memastikan bahwa orang itu bukanlah makhluk astral yang tak kasat mata. Walau ia—mungkin—bukan siswa populer, setidaknya Amy bisa saja berpapasan dengannya di kantin, di lobi sekolah atau di lapangan parkir. Amy betul-betul tak melihat batang hidungnya setelah kejadian waktu itu.

Tadi Amy melihatnya saat upacara bendera berlangsung. Seperti sulap saja tiba-tiba laki-laki itu muncul dari barisan peserta upacara, berlari kecil melintasi tengah lapangan ketika para paskibraka berjalan menghentak-hentak memasuki lapangan. Dua detik kemudian baru Amy menyadari bahwa manusia berkamera tak hanya dia seorang. Murid-murid dengan kamera besar tersebut menyebar di beberapa titik di lapangan. Amy sempat melihat ada satu yang merekam dengan handycam.

"Siapa mereka?" Amy tidak tahan untuk tidak bergumam sendiri.

"Mereka dari klub fotografi sekolah." Amy menoleh ke arah Hani, anak mezzo sopran yang tahu-tahu menyahut di sebelahnya. "Mereka sering dapat tugas dokumentasi untuk acara-acara penting sekolah. Mulai dari acara upacara 17-an, reuni akbar sampai buku tahunan. Kadang kalau ada tamu penting yang datang ke sekolah, mereka juga yang jadi dokumentator."

"Hebat... Kamu tahu banyak soal mereka ya?"

"Kakakku anggota klub fotografi."

Mata Amy membuka sedikit lebih lebar. "Ohya? Kakakmu yang mana?" Lantas mencari-cari ke arah tengah lapangan.

"Dulu. Kakakku sudah lulus tiga tahun yang lalu."

Amy memasang muka kecut. Kecewa.

"Hari ini mereka ada pameran foto tahunan untuk merekrut anggota baru. Kalau kamu tertarik, datang aja ke ruang serba guna." Lanjut Hani sesaat sebelum tim paduan suara bersiap mengiringi paskibraka yang hendak mengerek bendera merah putih.

Amy menjentikkan jarinya penuh semangat. Pameran foto! Kenapa enggak kepikiran dari tadi? Dari pada membuntuti dari belakang seperti penguntit, datang ke pameran rasanya akan jadi lebih mudah.

Ruang serba guna berpintu ganda itu terbuka lebar. Ada sebuah blackboard berpenyanggah kaki tiga yang menganjal salah satu daun pintu. Photography Exhibition 2006. Amy ragu-ragu melangkah masuk. Seorang panitia dengan pin di dada kanan menyapa Amy dan mengarahkannya untuk mengisi buku tamu. Sepintas Amy membaca tulisan pada pin hitam tersebut. Photo club? Ask me! Amy tersenyum pias. Menarik! Sepintas Amy teringat para dokumentator di lapangan tadi. Sebagian dari mereka juga mengenakan pin yang sama.

Selesai membubuhkan nama, kelas dan tanda tangan, Amy meletakkan pulpen di sisi buku tamu dan tercenung ketika ia merasa tidak asing dengan panitia yang kini berjaga di meja registrasi. Mereka bertemu tatap dan gadis tersebut tersenyum ramah.

"Ternyata kamu betulan datang."

Amy membalas senyum sambil bingung. Seperti pernah bertemu sebelumnya tapi lupa dimana.

"Jadi mau gabung ke klub fotografi?" Tanya panitia tersebut.

Detik itu juga Amy langsung ingat kejadian di depan papan mading saat Amy tengah menantikan hasil audisi klub paduan suara. Klub paduan suara menjadi salah satu klub unggulan sekolah karena pretasinya yang sering memenangkan banyak lomba mulai dari taraf nasional hingga internasional. Tentu saja tahap perekrutan anggota baru harus melawati tahap yang cukup ketat. Amy sudah melewati tahap pertama, kini ia menanti hasil tahap final. Tidak hanya dinyatakan lulus atau tidak, pada hasil ini juga sekaligus menunjukkan kelompok suara para anggota baru.

Siang itu Amy menghampiri papan mading sambil celingak-celinguk mencari lembar pengumuman. Bersamaan dengan itu, ada seorang siswa sedang menempelkan sebuah poster tak jauh dari tempat Amy berdiri. Tak sengaja mereka bertemu tatap dan gadis berpipi tembam itu menghampiri Amy dan memberikan selembar flyer.

"Kami lagi buka rekrutmen untuk anggota baru. Kalau tertarik, kamu bisa isi formulir yang ada di balik flyer ini. Atau bisa datang langsung ke acara pameran kami tanggal 17 Agustus nanti."

Waktu itu Amy tak begitu memperhatikan. Tertarikpun tidak. Sekarang Amy memasang senyum segan serba salah. Bahkan niatnya datang ke pameran bukan karena benar-benar minat.

Gadis itu tersenyum makin lebar hingga menyipit matanya seraya menyentuh lengan Amy. "Tapi kamu memang lebih cocok di klub paduan suara. Suara kamu bagus banget."

Sekarang Amy tersipu-sipu setelah dipuji sedemikian to the point. Walau sebenarnya amy juga tak menampik kemungkinan pujian itu hanyalah basa-basi ringan untuk menghalau rasa canggung.

Gadis ramah tersebut mengulurkan tangan. Amy membalas jabat tangannya yang sontak terlihat kontras dengan jari-jari Amy yang kecil dan kurus. "Waktu itu sebenarnya kita udah kenalan, tapi sepertinya aku lupa namamu. Kita kenalan lagi ya... Aku Nadia, panggil aja Nay."

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: May 25, 2019 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

For a ReasonWhere stories live. Discover now