Bab 8

146K 9K 133
                                    

Selamat Membaca










Kini Safa tengah duduk diam di kursi dengan meja bundar di tengah-tengah. Setelah perkenalan dengan oma dan opa Adam, kini Adam mengajak Safa untuk makan bersama ayah dan bundanya.

Ternyata, perempuan yang dipanggil ‘mama’ oleh Adam, di butik tadi, adalah adik kandung ayahnya Adam, atau singkatnya sering dipanggil tante, oleh kebanyakan orang.

Safa diterima dengan hangat oleh ayah dan bunda Adam, kedua orang tua itu senang karena akhirnya anak bungsunya memperkenalkan pacarnya kepada keluarga besar.

Dan satu lagi, yang Safa ketahui tentang Adam. Oleh ayah dan bundanya, Adam disebut dengan panggilan ‘adik’. Sejujurnya Safa sudah ingin tertawa ngakak begitu mendengar bunda Adam memanggil cowok itu dengan sebutan ‘dek’. Namun Safa benar-benar berusaha menahannya.

“Safa mau tambah?” pertanyaan yang dilontarkan oleh bunda Adam itu, membuat Safa memandang bunda Adam sembari tersenyum.

“Nggak usah Bunda, Safa udah kenyang,” jawab Safa sambil tersenyum sopan.

Jika kalian bertanya kenapa Safa memanggil bunda Adam dengan sebutan ‘bunda’ juga, karena wanita itu yang meminta. Safa jelas tidak akan berani memanggil seperti itu, jika bunda Adam tidak memintanya.

“Dek, selesai makan, ajak Safa berkeliling. Kayaknya Safa bosan dengan pesta yang isinya kebanyakan orang tua ini.” ayah Adam berucap lalu terkekeh kecil di akhir kalimatnya.

“Kamu bosan?” Adam bertanya sambil memandang Safa yang duduk disampingnya.

Safa meringis di tempatnya, kenapa Adam harus menanyakan hal itu kepada dirinya, di saat ada keluarga besarnya tengah satu meja dengan mereka.

“Enggak, kok.” Safa terpaksa berbohong, karena dia takut berucap jujur di tengah-tengah keluarga besar Adam.

“Safa nggak bosan kok, Yah.”

“Kamu tuh, emang nggak peka Dek. Kenapa tanya Safa kayak gitu, jelaslah dia bosan, udah pokoknya selesai makan, ajak Safa keliling.” Bundanya ikut berucap ketika melihat tingkat kepekaan sang anak yang terlalu sedikit.

Akhirnya setelah makan, Adam mengajak Safa untuk berkeliling. Atau lebih tepatnya berjalan keluar gedung, sambil pegangan tangan.

“Kak Adam.” Panggil Safa karena Adam hanya diam sedari tadi.

“Hmm...” sahut Adam singkat.

“Kak Adam nggak punya saudara?” Safa bertanya karena penasaran, karena sedari tadi Adam tidak memperkenalkannya kepada satu pun saudaranya.

“Punya.”

“Di mana?”

“Apanya?”

“Saudaranya Kak Adam.”

“Ada.”

“Iya, di mana? Kak Adam kok, jawabnya singkat-singkat gitu, kayak malas banget ngomong sama aku.” Safa berucap dengan sebal, lalu melepas pegangan tangannya dan tangan Adam, dan berjalan lebih dulu.

Adam menghela napas pelan, sebelum tangannya menarik bahu Safa untuk berhenti dan menghadap ke dirinya.

“Kamu mau ketemu sama saudaraku?” tanya Adam.

“Terserah, Kak Adam mau ngenalin aku ke saudaranya Kak Adam atau enggak?” Safa balik bertanya.

Adam menggaruk pelipisnya bingung. “Aku nggak tau,” jawab Adam jujur.

“Kok, nggak tau?”

“Aku malu.”

Safa melongo di tempat dia berdiri. “Malu? Malu karena bawa aku ke saudaranya Kak Adam? Kok, jahat banget.” Safa jadi kesal sendiri mendengar jawaban yang Adam katakan.

Adam & SafaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang