Sebelas

1.4K 197 3
                                    

Tidak ada yang namanya menolak tantangan. Haram hukumnya bagi Miranda. Apalagi bila tantangan tersebut diciptakan Puan. “Mas, Mira sudah datang,” katanya kepada sosok lelaki berjas putih.

“Selamat datang, Mira.”

Miranda terdiam. Tubuhnya jelas menunjukkan tanda-tanda alergi terhadap masa lalu. Catat, siapa juga yang suka menengok ke belakang hanya untuk menyadari kenyataan “you are loser”. LOSER! Mirisnya. Duh mirisnya. Oknum yang membuat Miranda merasa (kadang nih, ya. Kadang), tidak bersyukur telah dilahirkan sebagai manusia (uhuk, yang faboulus pakai banget) ialah, keluarganya. Dan ulalala, genderang musik perang Indian mulai dikumandangkan (dalam benak Miranda).

“Papa.”

Good job! Setidaknya mulut Miranda yang luar biasa seksih itu masih ingat tata krama manusia. (Secara nih, ya. Miranda hampir saja menggunakan menu auto pilot-nya. Bisa-bisa dia berperilaku seperti Megantropus Paleo yang tersohor itu. Dibaca: ngamuk sambil nyanyi Ratapan Anak Tiri. Hantam kanan dan kiri sambil joget Maju Mundur Cantik. Lalu, pulang.) Keep smile. Duh, susahnya minta ampun namun demi totalitas Miranda harus pakai banget melakukannya. Saran pertama dalam melawan masa lalu, jangan pernah tunjukkan tanda-tanda bahwa kamu sangat terluka. NO! Kamu harus tampil paripurna dan sebisa mungkin perlihatkan betapa sem-pur-na-nya dirimu. Kedua, pura-pura tidak peduli. Hello! Miranda tidak akan memberikan kepuasan kepada Puan dengan menunjukkan betapa luar biasa si nenek sihir itu. Howek! Ketiga, berdoa saja semoga Tuhan menguatkan hati. Duh, Miranda berharap keberuntungan miliknya jumlahnya masih banyak karena dia membutuhkannya. Sangaaat membutuhkan.

“Miranda, Papa hampir mikir kalau kamu nggak pengin ketemu Papa.”

Pria itu merentangkan kedua tangan. Kode. Oke, kode kesopanan. Seharusnya Miranda membalas “kode kesopanan” tersebut dan bersikap layaknya Putri Candra Kirana. But wait! Miranda tidak bisa melakukannya. Dia tidak sanggup. Bahkan kali ini pun tubuhnya tidak mau melangkah barang sesenti pun.

Sem-pur-na....

Miranda lupa poin satu dan dua. Kemungkinan. Kemungkinan besar tubuh Miranda menyatakan ketidaksukaannya jauh lebih jujur daripada yang bisa ia bayangkan selama ini. Greaaat!

“Mas, sudah cukup.” Puan menghampiri suaminya yang jelas-jelas tengah menjadi pusat pembicaraan. Wanita itu tidak ingin gosip seburuk apa pun menghancurkan reputasi keluarganya. Bahkan, hal yang paling remeh sekalipun. “Kamu sudah ketemu dia, ‘kan?”

“Puan, kamu nggak suka aku ketemu putriku?”

Puan menggigit bibir. Tidak menjawab.

“Pa, Mama niatnya baik kok,” kata Morgan menengahi. “Lagi pula, Mira mungkin lelah. Ya, kan, Mira?”

Miranda memilih diam. Sebenarnya perkataan Morgan tidak ada salahnya. Dia lelah. Lelah secara batin. Sangat lelah. Bila diibaratkan ponsel, mungkin baterai semangatnya telah mencapai angka kritis.

“Morgan, kamu ajak keliling adikmu. Dia harus melihat kesuksesan kita.”

Kali ini Miranda tidak melawan ketika Morgan mengajaknya pergi. Dalam hati dia bersyukur tidak perlu berada di dekat papa dan mama tirinya.

Setelah radar Miranda merasakan tanda-tanda aman, akhirnya dia bisa berkata, “Toilet.”

“Hah?” Morgan memasang tampang “apa saya tidak salah dengar”. “Mira....”

“Beneran ini. Kebelet.”

Dan akhrinya Miranda bisa meluncur ke toilet, meninggalkan Morgan, dan langsung masuk ke bilik yang tersedia. Dia menutup closet dan langsung duduk. Pikirannya benar-benar semrawut. Awalnya dia berpikir “oke, cuma ketemu mantan dan mama tiri. So what?” Sayang seribu sayang. Dia tetap tidak bisa melakukan rencana awalnya.

Masa lalu itu sulit dilupakan.

Masa lalu itu nggak ada manisnya. (Kecuali Morgan yang manisnya bikin haus.)

Masa lalu konon katanya biarkan saja berlalu, namun ternyata hati tidak bisa bersikap ikhlas.

Setelah melakukan ritual tarik napas maju mundur cantik, Miranda akhrinya keluar dari bilik toilet. Selama sesaat dia menatap cermin. Itu pun pakai acara mikir: “Dirinya sungguh sangat bodoh, saodara-saodara.” (Dibaca dengan efek suara sedramatis mungkin.)

Oke, tidak ada yang bermasalah. Miranda masih kelihatan kinclong. Tidak perlu memikirkan perkataan yang tidak berfaedah. Dia hidup di zaman modern. Wanita tidak perlu mendengarkan gosip dan kawan-kawan jahanamnya. Selama ini dia bisa bertahan hidup dan berjuang sejauh ini tanpa satu pun orang-orang yang mengaku sebagai keluarga di dekatnya. Telah dia temukan kawan dan lawan sebagai guru. And now! Dia bebas memilih jalan mana pun. Puan hanyalah salah satu iblis dari sekian iblis yang mungkin akan muncul di jalannya.

Tuh kan. Iblis tidak usah diladeni. Okay!

Dengan langkah anggun, Miranda bersiap menjumpai siapa pun. Baru saja dia keluar dari toilet dan WOW! Astaga naga! Di lorong yang memang pencahayaannya samar, tak diduga, tak disangka, dia menemukan pemandangan luar biasa!

Entah siapa yang cukup bodoh menggunakan lorong tersebut sebagai tempat bercumbu ria, namun Miranda bisa pastikan keduanya sama sekali tidak keberatan. Wanita bergaun merah darah tampak agresif memaksakan dirinya kepada lelaki yang dari pandangan Miranda tengah berusaha (atau berusaha sambil menikmati) menolak ciuman.

Sumpah. Miranda merasa perlu meluruskan keadaan. Mana mungkin dia sudi kembali ke toilet dan menunggu keduanya selesai melakukan peluk mesra? Berhubung keduanya sedang dalam keadaan yang bisa diselamatkan (pakaian mereka masih lengkap, Say) Miranda perlu (dan masa bodoh dengan asas demokrasi saat ini) meluruskan:

“Uhuk!”

Dengan cara pura-pura batuk.

Dan terbukti kurang ampuh.

Ampun deh! Ternyata wanita bergaun merah itu tidak mau menghentikan kegiatannya. Terpaksa kali ini Miranda berpura-pura batuk hingga akhirnya si wanita tersentak dan menjauhkan diri dari pasangannya.

Oh my God!

“Nggak mungkin!” teriak Miranda di saat bersamaan.

Si gaun merah menatap Miranda selama sekian detik, kemudian dia memutuskan kabur dan meninggalkan Miranda bersama lelaki itu di lorong.

“JAMES?” Miranda menyuarakan ketidakpercayaannya. Dia pasti akan dengan senang hati memberitakan insiden tersebut dan meminta Toni si muka es agar mengurangi jatah kerjanya. Tetapi, kini!

Tidak ada untungnya menyebarkan aib seseorang. Karma selalu menanti siapa pun yang berbuat buruk.

James menyipit, mencoba mengenali Miranda. Selama sekian detik dia tampak kebingungan, kemudian kebingungan itu tergantikan raut yang menyatakan ketakjuban.

Seulas senyum tersungging. “Kamu,” kata James sembari menyugar rambut. “Cewek judes yang nggak mau ditolong itu, ‘kan?”

Sialan. Miranda ingin mengampelas mulut James. Dari sekian julukan buruk yang mungkin bisa diberikan cowok itu kepadanya. Kenapa, oh kenapa harus cewek judes? “Kamu nggak pengin ngejar dia?”

“Aku justru pengin berterima kasih karena kamu berhasil menyelamatkanku.”

Idiiiiiiiiiiiiih! Miranda ingin muntah. “Kelihatannya tadi kamu bahkan nggak pengin nolak.”

James mengusap bibir bawahnya. (Oh, terberkatilah cewek mana pun yang memilikinya.) “Masak sih?”

Masak sih kepalamu!

“Kamu,” kata Miranda. “Bukan tipeku.”

***

Ulala. Hai, teman-teman. Maaf, updatenya lama. Semoga bab kali ini cukup memuaskan dan maaf atas segala kekurangan baik dalam penulisan, typo, narasi, dan lain-lain. Saya menulis karena merasa wajib menyelesaikan naskah ini. Saya bukan penulis profesional. Ehehehe, jadi saya sangat berterima kasih kepada teman-teman yang telah memberikan dukungan. Huweeeeeeeee. I love you 3000 times. #Uhuuuuk.

Salam hangat,

G.C

With You... (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang