Tiga

2.9K 282 2
                                    

Udara membawa serta aroma rerumputan yang basah oleh embun. Langit masih menyisakan sedikit semburat oranye. Miranda, wanita 28 tahun yang kemungkinan besar tergolong masuk kategori "darurat nikah", tengah duduk di teras rumah. Halaman ditanami beberapa tanaman. Palem, mangga yang tak menunjukkan tanda-tanda akan berbuah, perdu melati dan mawar, serta beberapa tumbuhan yang namanya tak diketahui Miranda.

Duduk di kursi, Miranda masih mengenakan baju tidur bermotif beruang kutub. Ia tak lagi menempati apartemen mewah yang selama ini menjadi tempat ternyamannya (minus saat Nayla, sahabatnya numpang karaoke gratis. Suaranya sungguh luar biasa untuk dijelaskan dengan kalimat sopan). Wanita itu telah memutuskan meninggalkan dua hal besar dalam hidupnya: apartemen dan Intermezzo. Dia telah menyerahkan surat pengunduran diri ke HRD dan segera setelahnya permintaan pengunduran diri pun diproses.

Miranda membutuhkan perubahan. Rambut hitam bak Ariel si duyung pun telah ia potong. Tentunya bukan jenis potongan rambut seekstrem Katty Perry. Big no, Miranda lebih menyukai potongan rambut bob dengan poni menyamping. Entah mengapa kaum Hawa lebih senang memuaskan rasa frustasinya ke dua hal: perut dan rambut. Iyups, Miranda melakukan ritual potong rambut dengan harapan dia bisa mengubah sedikit kegalauannya.

Di meja ada secangkir teh melati yang menemani kesendirian Miranda. Wanita itu menatap ke seberang jalan. Satu dua orang mulai berolahraga bersama anjing peliharaan mereka, beberapa di antara mereka mengangguk dan tersenyum ke Miranda. Walau Miranda tak mengenal mereka, atau lebih tepatnya dia yang tidak mau mengetahui nama mereka, mengangguk dan membalas lambaian tangan hanya sekadar untuk sopan santun. Dia pun ragu orang-orang itu bisa melihat segaris senyum buatan yang dipaksakan di wajah cantiknya. Ah biarlah, bukankah semua orang juga tak akan bisa membedakan senyum asli dan palsu? Bagi mereka senyum hanyalah senyum, titik.

Tangan Miranda tak kunjung menyentuh cangkir teh. Pikirannya tertuju ke seraut wajah yang selama ini ia coba lupakan. Setelah sekian lama wanita itu berusaha melarikan diri, menghindar dan terus menghindar, hingga akhirnya dia pun lupa pernah memiliki perasaan semacam itu. Tanpa diduga lelaki itu datang dan mengguncang dunia Miranda. Seorang manusia bernama Morgan muncul dan menghancurkan ilusi yang diciptakan Miranda.

Pertanyaannya: Kenapa harus sekarang?

Bukannya Miranda menyesali rasa yang dulu ia miliki kepada Morgan. Tak sekalipun wanita itu menghujat Cupid yang telah menembakkan panah asmara ke jantungnya. Dia tahu Morgan bukanlah pasangan yang ditakdirkan untuknya. Mereka berdua tak akan pernah bisa bersama-sekarang, esok, dan untuk selamanya.

Menghela napas, Miranda mengembuskan seluruh kekecewaannya. Mia dan Nayla, kedua sahabatnya itu telah menemukan pelabuhan hati. Sementara Miranda masih terjebak di masa lalu. Oke, ralat, Miranda tengah berjuang melepaskan diri dari masa lalu. Sejauh apa pun dia berlari menghindar. Sialnya, masa lalu bernama Morgan itu selalu menemukan cara untuk menarik Miranda kembali ke titik awal.

Angin berembus pelan, menjatuhkan beberapa helai daun mangga. Miranda mengabaikan hawa sejuk yang membelai pipinya. Kini ia hanya menggantungkan pendapatan dari menulis. Jauh sebelum dia diterima di Intermezzo, Miranda telah memiliki pekerjaan sampingan sebagai penulis novel. Tentu saja Miranda tak menggunakan nama asli. Dia hanya ingin menuliskan kegundahannya. Seluruh rasa yang tak mampu Miranda ucapkan akhirnya berubah wujud menjadi rangkaian kata dalam sebuah buku. Sanon, teman semasa kuliah, menawari Miranda untuk menerbitkan tulisannya. "Ya," katanya. "Asalkan namaku disamarkan."

Pena Biru, itulah nama yang selama ini Miranda gunakan. Penjualan novelnya cukup menguntungkan. Lagi pula, Miranda tak perlu repot membanting tulang lantaran ia memiliki tabungan yang nominalnya terus bertambah. Uang yang dikirim oleh ayah kandung Miranda-laki-laki yang merasa uang mampu menyembuhkan rasa sakit Miranda.

Sebenarnya tak ada materi yang benar-benar bisa menyembuhkan luka hati.

Tidak. Pernah. Ada.

Miranda tak menolak. Dia tak peduli uang yang dikirimkan sang ayah tiap bulannya. Dia bahkan tak mau memberi tahu alamat apartemen yang ditinggalinya kepada sang ayah.

Memejamkan mata, Miranda teringat Morgan.

Pemakaman. Tanah bertabur bunga dengan nisan yang tertulis nama ibu Miranda. Dia masih mengenakan seragam SMA, tersungkur di makam-menangis, mengadu, dan mencurahkan kehilangannya. Lalu, di sampingnya ada Morgan yang juga masih mengenakan seragam SMA.

"Mira, jangan menangis," katanya sembari memeluk Miranda.

Air mata tak pernah surut. Seolah ada mata air kesedihan dalam diri Miranda yang tak bisa dibendung.

"Semua akan baik-baik saja," Morgan berusaha menenangkan.

Semua akan baik-baik saja.

Miranda membuka mata. Tatapannya kini terfokus ke rumpun mawar. Apa yang Morgan katakan hanyalah bualan belaka. Lelaki itu pembohong besar. Segala yang keluar dari mulutnya hanyalah tipu daya, tidak lebih. Cukup sekali Miranda memercayai Morgan. Kali ini, Miranda memilih mengabaikan keberadaan Morgan. Lelaki itu boleh saja mencoba menemukan Miranda. Silakan, dan Miranda akan berusaha menghindarinya. Tak ada lagi yang namanya kesempatan kedua.

"Mira, aku membutuhkanmu."

Tidak, Miranda tak menginginkan apa pun. Morgan telah menghancurkan kepercayaannya. Wanita itu tak lagi bisa membuka hati. Dia telah menutup pintunya dan membuang jauh-jauh kunci yang dahulu diserahkannya kepada Morgan.

Bukankah lebih baik membuang masa lalu? Iya, 'kan?

With You... (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang