Sepuluh

1.8K 222 11
                                    

Melarikan diri merupakan tindakan pengecut. Terlalu lama Mirana bersikap "buruk" sebagai loser. Sekarang. Malam ini. Dia akan mengakhiri pelariannya. Papa akan senang berjumpa Miranda. Mama tirinya mungkin akan memasang senyum termanis penuh racun kepada Miranda. Dan, Morgan, sang kakak tiri, mungkin akan dengan senang hati membujuk Miranda untuk kembali ke kediaman besar; hidup sebagai tuan putri, menuruti permintaan Papa, dan mengalah kepada Mama (tiri).

Oke, setop. Bukan saatnya Miranda mengingat hal buruk, pikiran buruk, kenangan buruk, mimpi buruk, pokoknya semua yang buruk! Bukan tanpa alasan dia berdandan super euuuuw sexy! Gaun merah delima sepanjang mata kaki melekat pas di tubuh. Sepatu merah persis milik Dorothy tak kalah semarak mendukung penampilan Miranda. Malam ini dia akan menghajar seluruh keluarga besar Wirasena. Tuh, lihat. Bibir Miranda dipoles gincu semerah darah. Jenis-jenis warna mengundang yang membuat pria berpikir Miranda ingin menggoda seberapa jauh kesabaran mereka untuk tidak menarik Miranda dalam pelukan.

Tap, tap, tap. Miranda melenggang kangkung memasuki arena pesta. Dia sengaja menjawab tantangan Morgan, dan semoga saja, lelaki itu tidak menyesal telah membuat kesepakatan dengan Miranda.

Suasana pesta kaum jetset; lampu LED tertata apik sejauh mata memandang, es batu di pahat membentuk sosok angsa, jejeran gelas wine, kue-kue dan canape, anggur hijau dalam wadah kristal, lelehan cokelat yang mengalir turun dari air terjun mini, aroma parfum merek ternama, dan kelompok pemusik yang memainkan melodi klasik.

W, O, dan W. Miranda mengelus dompet mininya (yang sengaja dibelinya dari merek besar berinisial C) sembari memikirkan alasan Morgan ngotot memintanya menemui Papa.

And then! Morgan muncul.

Tampaknya lelaki itu memasang pelacak di tubuh Miranda. Bagaimana ceritanya dia begitu mudah menemukan Miranda di antara kerumunan. Mungkin, ya mungkin. Morgan memiliki bakat atau ilmu dari dukun hitam penunggu alas dhemit.

But, Miranda malah memikirkan jas bernuansa abu-abu yang menonjolkan kewibawaan sekaligus ketampanan Morgan.

Hei hatiku, kata Miranda dalam hati, kamu jangan jadi pengkhianat. Ingat, dia musuh kita. Musuh! Jangan tertipu. Jangan tertipuuuuu-oh, jantungku!

"Mira," Morgan menyapa, senyum tak lepas saat menghampiri Miranda. Bahkan mata pria itu pun jelas tidak berdusta. Binar bahagia tergambar jelas di kedua laguna sanubari tersebut. "Akhirnya kamu datang."

"Hmmm," sahut Miranda, sengaja tidak menunjukkan ketertarikannya. "Kakak, sekarang aku datang. Senang?"

Morgan sama sekali tidak memperlihatkan ketidaksenangan atas reaksi Miranda. Sebaliknya, dia mengarahkan Miranda memasuki aula pesta, meninggalkan taman, dan melewati beberapa undangan yang tampak menaruh perhatian atas kehadiran Miranda.

Di sisi lain, jantung Miranda jumpalitan. Dia ingin menoyor dirinya sendiri karena bersikap jinak. Idiiiiih, setidaknya dia bisa berlaku dingin. Seperti Queen Ravena yang tak akan segan menelan jantung musuh. And now! Dia malah menurut, ikut ke mana pun Morgan mengarahkan.

Bye, harga diri. Selamat datang, realitas.

Pintu neraka khayalan makin terpampang jelas saat sosok Mama (tiri)-lah yang pertama kali dipertemukan Morgan. Nananana, Morgan sepertinya perlu digampar menggunakan sepatu bertumit tajam. Catat ya, cari sepatu bertumit tajam. Tajam!

M-O-R-G-A-N! Tampaknya dia memang berencana mendamaikan Miranda dengan Mama (tiri). Terakhir kali perselisihan di antara Miranda dan wanita itu berakhir dengan keputusan Miranda meninggalkan kediaman Wirasena. Sekarang Morgan malah berencana memicu perang!

Oke, Miranda siap!

"Mira, oh Mira."

Brrrr. Miranda bahkan tidak suka saat wanita itu menyebut namanya. Menurut Miranda, siapa pun wanita yang berani mengenakan gaun berhias kristal mahal sudah pasti masuk kategori kaum berhati setajam belati (apalagi kalaugaun tersebut berwarna hitam). Meskipun sebenarnya tidak ada hubungannya antara warna, gaun, dan wanita, tetap saja Miranda sewot dan (jelas) menyesali keputusannya mengamini permintaan Morgan. Nah tuh!

Puan Mangalih, atau yang lebih dikenal Miranda sebagai "Mama (tiri)" merupakan salah satu wanita yang berpengaruh dalam industri perhiasan. Dari awal perjumpaan, ketika Miranda masih bau kencur hingga sekarang, hubungan mereka berdua seperti minyak dan air. Puan menganggap Miranda sebagai tumor dalam keluarga Wirasena. Dia membenci Miranda, putri haram suaminya dengan wanita penghibur. Dan kini, kemungkinan besar Puan berencana mengembalikan Miranda ke ranah terbawah dan tergelap.

"Hai, Mama." Miranda sengaja tersenyum. Well, dia tidak peduli dengan tantrum apa pun. Malam ini dia harus tampak seanggun Queen Ravena. "Apa kabar?"

"Sebaik biasanya," Puan menjawab, tatapannya tertuju ke Morgan yang berdiri di samping Miranda-tampak protektif seolah tidak menginginkan ibunya melontarkan kata-kata buruk. "Kamu masih menjadi adik kesanyangan Morgan, ya?"

"Bukannya sudah biasa, ya, kakak melindungi adik?"

Walau ingar bingar percakapan tamu membaur bersama alunan musik, tampaknya percik listrik antara Puan dan Miranda tak menyurut. Masing-masing berusaha menancapkan taring dan cakar, saling melukai, dan memangsa.

"Ma," Morgan menengahi, mencoba mendinginkan bara api kecemburuan Puan. "Malam ini Papa pasti pengin ketemu Mira."

Puan membuat gestur menggebah, seakan tidak ingin mendengar nasihat putranya. "Papamu sibuk. Kamu bisa lihat sendiri, 'kan?" Ujung mata Puan menunjuk deretan tamu di sekitar mereka yang tengah menikmati hidangan dan wine. "Dia nggak bakal sempat nemuin Mira-mu."

"Ma, Papa sendiri yang meminta Morgan ngunjungin Mira. Tolong, biarkan Mira menemui Papa."

Akhirnya Puan menghela napas. Wanita itu tampak tidak tega mengecewakan putranya. "Ayo," katanya. "Temui papamu, Mira."

***

"Oh, Jameees! Banyak cowok cakeeep!"

James menyesali keputusannya menjak serta Ben. Manajernya itu luar biasa bersemangat bila menyangkut kaum metrosexsual. Bahkan pakaian yang dikenakan Ben tidak kalah mentereng daripada lampu neon metropolitan.

"Ben, kita ke sini bukan untuk cuci mata," James menasihati Ben yang menyisir satu per satu wajah undangan di taman pesta. "Buruan masuk ke aula."

"Ih, James. Bukan kamu yang cuci mata, yach. Tapi, aku yang cuci mata di sini. Cuci mata, sekaligus cuci hati."

Seharusnya James mengikat Ben ke pohon. Lelaki itu tampaknya tidak memahami kode etik menjaga diri. Susah payah James harus memaksa Ben meninggalkan area taman sekadar mengingatkan temannya itu bahwa mereka harus memenuhi undangan Wirasena. Sebenarnya yang diundang itu Mama-nya James, namun beliau berhalangan hadir di tanggal yang ditetapkan dan meminta James mewakili dirinya.

"James, hati-hati dong jalannya."

"Kalau aku hati-hati kamunya nggak bakal nyadar kita bisa jadi bahan gosip."

"Kamu, kan, lurus," Ben menggoda, "nggak demen jeruk. Nyantai aja kali."

Oke, James sepertinya perlu merendam Ben dalam larutan pemutih.

Semoga pikiran Ben tercerahkan.

Amin.

***

Hai, teman-teman. Maaf bab terbarunya lama dan sepertinya kurang panjang. Ehehehe. Terima kasih saya ucapkan kepada teman-teman yang telah mendukung saya, tidak hanya di karya ini melainkan di karya-karya yang sebelumnya. Pokoknya kalian benar-benar luar biasa. Terima kasih.

Dan saya minta maaf karena pernah meng-unpublish With You... Sekali lagi, saya minta maaf. Teman-teman pasti kecewa dan saya minta maaf. Bukan tanpa alasan saya membatalkan penerbitan With You... Beberapa bulan, sampai saat ini, saya kesulitan tidur lelap. Kalau enggak pukul 00:00 ke atas saya nggak bisa tidur. Kalau bisa tidur pas 8 jam pun bangunnya enggak segar gitu. Aneh, ya?

:') Eh, panjang benar curhatan saya.

Sekali lagi, terima kasih.

Salam hangat,

G.C

With You... (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang