Tujuh Belas

2.1K 178 24
                                    

Usaha James mendekati Miranda membuahkan hasil. Setidaknya dia berada satu tingkat di atas tetangga-nggak-penting menjadi tetangga-lumayan-penting. Dimulai dari berkirim pesan, kirim foto kucing, hingga meme penghilang stres; yang kesemuanya terbukti manjur melembutkan hati Miranda (konon hati perempuan bisa sekeras karang. Oleh karena itu, dibutuhkan ajian Eyang Sinto Gendeng agar bisa selamat menunaikan tugas pendekatan). James terkadang bertamu dan mereka berdua menghabiskan waktu menonton ataupun membahas novel. Mulai dari roman picisan hingga bacaan sejenis The Stranger. Mereka memperdebatkan segala hal yang dirasa menarik. Pada titik itu, saat James mengutarakan opini, semesta terasa padu; dirinya bersama wanita yang ia inginkan, menikmati senja, dan berharap sampai tua bisa saling mengenang kekonyolan di masa muda. Andai kata-kata sakral segera terlontar dari mulutnya, tetapi ia pun menyadari bahwa Miranda tampaknya tengah melarikan diri dari sesuatu. Sebagai lelaki (oh yeah, gentleman tentunya) ia tidak ingin terkesan memburu. Ada waktunya. Segala sesuatu akan tiba dengan cara yang indah, termasuk cinta dalam penantian pun akan terjawab pada waktunya. Tuhan tidak akan salah memperkenankan sebuah perkara. Dia tahu apa yang James butuhkan. Sekarang James berharap Tuhan bersedia mempercepat tanggal jadian agar ia bisa memalang setiap lelaki yang mengincar Miranda.

Kabar baik: Suatu hari Miranda mengajak James pergi ke bioskop. Tanpa ragu, ia pun mengiakan. Ternyata film yang ingin ditonton Miranda berjudul Perempuan Tanah Jahanam. Telanjur basah. Mana mungkin James mundur, pamit karena nyalinya ciut macam tikus mencicit di pojokan.

Tidak boleh. James harus menemani ke mana pun calon pasangannya pergi, maka ia harus menyertainya. Seperti bunga dan kumbang, matahari dan langit, serta sebagainya yang indah. Berpegang teguh kepada pesan raja dangdut: “Per-ju-ang-an.”

“Bagus kok. Sutradara Gundala dan Pengabdi Setan.” Bahkan Miranda sengaja mengenakan kaus hitam bertuliskan Sympathy for the Devil. “Sekali-kali kamu perlu nyoba cita rasa nusantara.”

Mereka berdua memilih kursi deretan tengah, sesuai tiket, dan langsung duduk. “Kamu seharusnya ngasih tahu dulu kalau pengin nonton genre pembunuhan gini.” Bahkan sebelum film dimulai keringat dingin mulai bermunculan di dahi. James alergi film horor. Ia bahkan lebih menyukai Finding Neverland daripada Hereditary. Namun, demi Miranda ia pun menangguhkan ketakutannya untuk sementara sembari berdoa jantungnya tidak meminta resign. Dalam hati ia bisa membayangkan Ben berkata, “Semangat, yach. Demi cinta!” Kalau Ben saja rela menemani mantan-pacar-yang-doyan-makanan-pedas, maka James tidak akan kalah. Dia seorang pejuang yang tidak akan mundur sebelum berhasil menaklukkan tantangan.

“Takut, ya?” Miranda menjawil dagu James. (Oh yes! James suka. Tolong jawil lagi dong.) “Entar kamu boleh kok pegangan.”

“Pegangin tanganmu?”

“Dih, bukan. Berpegang teguh pada tekad.”

Setelahnya James menyusun rencana mencuri kesempatan dalam kesempitan. Sayangnya sepanjang pemutaran film ia memilih menutup mata, tutup telinga, dan berpura-pura tidak mendengar suara pisau diasah. Boro-boro memikirkan pegang tangan, suara Nyi Misni sukses membubarjalankan hormon cinta di tubuh James dan menggantinya dengan teror. Oke, bye. Begitu film selesai, James langsung bersyukur.  “Next time, aku yang pilih.”

“Yah, padahal rencananya aku pengin ngajak kamu nonton Midsommar.”

Seketika James berkata, “Enggak usah.”

***

“Katanya nggak suka horor.”

Miranda dan James duduk berselonjor di karpet. Mereka berdua tepatnya berada di perpustakaan pribadi milik Miranda. Ruangan tersebut bernuansa krem dan putih. Rak buku disusun menghadap jendela. Hanya beberapa bantal duduk dan sebuah meja lipat yang teronggok di sudut ruangan.

With You... (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang