Red-letter day

5 0 0
                                    


Adzan subuh sudah berkumandang, it's the day !

Aku bangun dari tidur yang tidak tenang semalaman, memikirkan ini itu, merajut yakin dari tali-tali keraguan yang muncul semakin banyak. Apa aku sudah benar? Apa aku sudah betul-betul yakin dengan ini semua atau aku hanya terburu-buru karena takut tertinggal, karena desakan sana sini? Apa aku benar-benar memilih jalan ini karena memang sudah waktunya atau aku memaksakan waktu? Semoga memang benar ini sudah waktuku untuk maju selangkah dan hari ini adalah harinya.

Aku bergegas bangun dan melakukan banyak hal, semua orang sudah bangun dan sibuk dengan urusan mereka masing-masing, ibuku sudah mulai mengoceh dan berteriak dari bawah. Ayah masih tetap santai mengeluarkan koleksi burung hiasnya ke halaman belakang. Dean, adikku satu-satunya juga masih santai dengan sarungnya duduk di depan televisi selepas sholat subuh. Sepertinya ibu yang lebih gugup daripada aku, beliau sudah bercakak pinggang saat melihat kami santai dan bersiap-siap mengeluarkan kalimat-kalimat saktinya, tepat sebelum semua itu dikeluarkan, kami bertiga bergegas masuk kamar dan mandi. Tatapan ibu-ibu itu menusuk, dan kata-katanya membunuh, daripada kami mati konyol, lebih baik menyelamatkan diri.

"aku bakal seperti itu juga nggak ya ? kasian banget anak aku nanti" hal yang selalu aku pikirkan saat mendengar ibu marah dan ngomel, mungkin anakku nanti akan mengidap penyakit mental jika aku seperti ibu, karena adikku Dean, sudah menjadi korban dari omelan ibu. Setiap pagi, dia suka berakting merayu pohon bambu hias ibu yang ada di halaman belakang rumah, katanya hanya pohon bambu itu yang menerima dia apa adanya tanpa protes seperti anak-anak gadis yang ditaksirnya di kampus. Sungguh, aku tidak ingin anakku nanti berakhir seperti Dean.

Biip biip

Sebuah pesan teks masuk dari sahabat sejak lahirku

"jangan nervous ya Den, gue dikit lagi sampe rumahlo"

Atikah tidak pernah mengerti aku, bukan Denada namanya jika gerogi menghadapi sesuatu.

Aku bergegas mandi karena bebrapa orang sudah menungguku, mulai dari photographer, make-up artist dan designer baju untuk akad nikahku. Mereka sudah siap di dalam kamarku yang tiba-tiba menjadi sesak dengan bermacam-macam peralatan mereka.

Satu jam lebih lima belas menit sampai semua sudah selesai dikenakan di tubuhku. Mulai dari model jilbab yang membuat kepala sakit dan seolah-olah menarik semua rambutku, make-up dengan warna yang sudah ku-request agar tidak terlalu tebal dan membuat teman-temanku tidak mengenaliku saat salaman nanti dan mas tukang photo yang sedari tadi hilir mudik memoto bajuku yang tergantung di jendela kamar, sepatu yang ditaruhnya diatas kasurku dan tentunya mengambil gambar video pada saat aku sedang didandani oleh mbak-mbak yang sedari tadi tidak berhenti berbicara, mungkin kalau dia juga tinggal di rumahku, aku dan ayah juga akan berakhir seperti Dean.

Dari pintu kamar aku melihat Atikah yang sudah siap dengan kebaya warna pastelnya yang cantik dan menatapku dengan mata berkaca-kaca. "gue gak nyangka elo bakal nikah, padahal pas gue nikah kemaren lo mati-matian bilang bakal nikah dua atau tiga tahun lagi, tapi apaan cobaa? Elo nikah lima bulan setelah gue, dijodohin lagi, ini tuh bukan lo banget Den"

"iya ya, gue kesambet apaan kemaren pas nge-iyain si Joko pas ngejodohin gue sama Arka"

"eeeh, suami gue tuuh, joka joko, namanya Adrian tau"

"iyaa, Adrian Jokomito kan?"

"iyasih, tapi kan panggilannya Adrian, bukan joko, ga cocok tau sama mukanya dia yang ganteng gitu"

'iya dah, daripada ntar nikahan gue diacak-acak sama Joko perkara elu ngambek kan yaa"

"apaan siih, udah yuk kita foto dulu"

Perdebatan nama suami Atikah berakhir dengan ratusan foto di galeri handphone kami berdua dan juga mas-mas photographer yang sudah ganti memori pagi ini.

"untung saya bawa memori sama batre banyak mbak" aku bisa lihat muka sebal dari mas-mas ini karena diperintah-perintah oleh atika dan diprotes karena dia terlihat gemuk di dalam foto.

Acara akad nikah akan dilaksanakan di masjid kompleks rumahku yang berjarak dua rumah, Arka dan keluarga akan berangkat sebentar lagi. Akad nikah akan dilaksanakan pukul sepuluh pagi jika tidak ada halangan.

Waktu sudah menunjukkan pukul 09.45, keluarga kami sudah datang dan para tamu undangan sudah bersiap duduk di dalam masjid, kecuali Arka.

Mas Sakti, kakak Arka tampak mondar mandir sambil memegang telepon, aku tahu pasti dia sedang menelpon Arka, aku sempat melihat beberapa kali dia mencoba menelepon beberapa orang berbeda. Mama dan Papa Arka juga sudah mulai gelisah dan menatap kakaknya penuh harap. Tapi tidak juga ada respon baik dari Arka.

Penghulu yang datang saat itu juga sudah mulai gelisah, masih ada beberapa rentetan acara yang harus segera dihadirinya.

Hingga pukul 10.15 Arka belum juga menampakkan batang hidungnya, tidak juga menjawab telepon dari semua orang. Sedangkan penghulu harus segera bergegas pergi untuk acara selanjutnya. Papa Arka sudah mencoba untuk membujuk si penghulu untuk tinggal lebih lama sambil menunggu kabar dari Arka. Beliau mengimingi tambahan uang, namun si penghulu tetap bergegas meninggalkan masjid terburu-buru.

Wajah semua orang berubah khawatir saat penghulu pergi meninggalkan ayahku, ayah Arka dan dua orang saksi di meja. Ada yang mulai berbisik memberi komentar, ada yang mulai bingung entah apa yang harus dilakukan, pulang atau tetap tinggal. Sedangkan Joko dan Atikah mencoba menenangkan aku dengan berbagai ucapan-ucapan yang tidak masuk akal. Hingga pukul 10.30 aku mendapat notofikasi pesan singkat yang dikirim oleh Arka .

Maaf, aku bingung, aku gatau harus ngapain

"Arka brengsek!"

Aku berjalan pergi keluar masjid dengan langkah emosi, aku tidak peduli dengan mata yang terus menatap ke arahku sambil berasumsi yang entah apa. Aku bisa dengar suara mas Sakti yang memanggil dan mengejarku.

Entah bagaimana Mama dan Papa Arka harus menjelaskan kepada Ayah dan Ibuku, juga kepada para undangan yang datang.

"Dena, tunggu" mas Sakti berlari sambil meneriaki namaku. Dan makin kencang lariku kedalam rumah. Aku berlari ke dalam kamar dan langsung membanting pintu dengan keras serta menguncinya.

"arka brengsek!" kata-kata yang tidak pernah berhenti aku ucapkan dan diikuti dengan ucapan Istighfar. 

Merajut YakinWhere stories live. Discover now