Jingga Ada untuk Senja

7.5K 153 37
                                    


Senja adalah bagian waktu dalam hari atau keadaan setengah gelap di bumi sesudah matahari terbenam ketika piringan matahari secara keseluruhan telah hilang dari cakrawala. Waktu ini dimulai setelah matahari tenggelam saat cahaya masih terlihat di langit hingga datangnya waktu malam saat cahaya merah benar-benar hilang.

Aku sendirian. Ya. Aku sendiri di dunia yang fana ini. Aku selalu berfikir apakah dunia memang membutuhkan orang sepertiku??. Duduk termenung di atas bukit setelah pulang sekolah, menatap sang cakrawala, menanti sebuah senja.

Yang terpenting aku merasa tidak sendiri di sini, tersenyum ke arah sahabatku yang telah tiba. Aku telah banyak berbagi kisah kepadanya, suka duka yang aku rasakan meskipun masih banyak kesedihan yang aku ceritakan. Ia adalah pendengar yang baik, menyemangati di saat aku terpuruk. Dialah sahabat terbaik yang aku miliki. Senja.

"Kau tahu Senja?? " aku membuka suara, cahayanya menyinari wajahku, ia seperti menyuruhku untuk melanjutkan ucapanku.

"Hari ini mereka melakukannya lagi padaku, lihatlah bajuku sampai kotor karenanya!!" menunjuk seragamku yang penuh noda dengan nada kesal.

"Hmm, aku tahu. Aku tak akan membalas mereka, tenang saja" aku tersenyum menikmati kebersamaan bersama Senja.

"Eh?? Kau akan pergi sekarang? Cepat sekali, baiklah aku juga harus pulang" membersihkan rokku aku berdiri menatap kepergiannya.

"Terima kasih telah mendengar ceritaku Senja" mengambil tas, bergegas menuruni puluhan anak tangga.

Senja kini telah berganti dengan kegelapan dan kesunyian yang membuat nyaman menurutku. Suara angin malam dan langkah kaki yang aku ciptakan begitu menenangkan.

Langkahku terhenti tak kala melihat persimpangan jalan yang telah merenggut nyawa sahabatku. Lira, sahabat terbaikku sebelum adanya Senja.
Kala itu, Yona melempar 'diary' kepunyaan Lira ke tengah jalan, dia memang sering mempermainkan kami berdua. Dan tanpa disangka sebuah mobil melaju dengan cepat ke arah Lira, aku segera berlari berniat menolong sahabatku itu, namun dengan sengaja Yona menyandung kakiku hingga aku terjatuh dengan keras.

"Liraaaaa!! " teriakku kala melihat tubuhnya terhempas sejauh 3 meter.

Aku segera bangkit dan berjalan ke arah tubuh Lira berada. Aku menangis memeluk tubuh penuh darah itu. Menatap sendu ke arah Yona yang diam terpaku dan berlari pergi meninggalkan kami berdua. Yang membuatku semakin sedih orang-orang yang hanya melihat sambil berbisik-bisik tanpa ada niatan untuk menolong. Hari itu merupakan terakhir kalinya aku melihat Lira.

"Hai Senja!! " kata seorang pemuda yang tiba-tiba menepuk pundakku. Menghapus buliran bening yang entah sejak kapan muncul, aku berusaha terlihat baik-baik saja. Menatap sang pemuda dengan tatapan 'Siapa kau? Kenapa kau ada di sini? Lebih baik kau pergi saja' tapi tak diperdulikan oleh pemuda itu.

"Kita sekelas. Aku duduk di bangku belakangmu. Namaku Jingga, aku ingin memulai pertemanan denganmu Senja. " tanpa menurunkan senyum di wajahnya ia mengulurkan tangannya ke arahku, aku hanya memalingkan wajahku, menatap ke persimpangan jalan itu lagi.

"Apa yang sedari tadi mengalihkan pandanganmu, Senja? Persimpangan jalan itu? " tanyanya tanpa peduli aku yang tak suka jika ia ada di dekatku.

"Kau tahu? Aku punya kenangan buruk di sana? " pemuda bernama Jingga itu menunjuk persimpangan jalan yang sedari tadi aku pandang.

"Kejadiannya sudah cukup lama, sewaktu aku kecil, ibuku mengalami kecelakaan di sana" seperti terkena sengatan listrik, aku mulai mendengarkan ceritanya. "Waktu itu ada truk yang kehilangan kendali menuju arahku, aku yang masih kecil tidak tahu harus apa, tapi ibuku tiba-tiba mendorongku agar aku menghindari truk itu. Aku selamat, tapi sebagai gantinya, aku kehilangan ibuku. Dan kau tahu orang-orang waktu itu hanya menatapku kasihan tanpa ada niatan untuk menolong ibuku. Aku menyalahkan diriku sendiri atas kepergiannya, namun ayah mengatakan bahwa itu yang terbaik untuk ibu maupun kami" tak ada liquid bening di matanya, namun aku tahu mata itu menunjukkan kesedihan yang mendalam.

"Ah maaf, kenapa aku jadi menceritakan kejadian sedih itu di hari pertemanan kita" ia berusaha tersenyum, orang tuli pun tahu itu senyum palsu. Aku tak tahu harus berbuat apa, jadi aku hanya menepuk pundaknya beberapa kali dan berjalan meninggalkannya.

Rumahku berjarak tak jauh dari persimpangan jalan itu, rumah peninggalan orang tuaku. Memasuki rumah, aku masih mencerna cerita pemuda tadi, siapa namanya? Rangga? Angga? Jingga? Ah entahlah.

Mendengarkan ceritanya itu membuatku makin membenci semua manusia di dunia ini, teman-temanku dan juga diriku sendiri, hanya Senja yang aku sayangi.

Tak terasa waktu berlalu begitu cepat, sebulan sudah aku mengenal Jingga. Pemuda itu selalu menggangguku entah di sekolah atau di luar sekolah. Dia menceritakan kejadian-kejadian tentang dirinya, leluconnya yang menurutku tak lucu. Dia selalu mencari perhatianku, tapi sayangnya aku sama sekali tak meresponnya. Tapi dia tak menyerah sampai aku mau menerima dirinya di sampingku.

"Hai Senja" seperti biasa aku hanya berdehem pelan.

"Apa kau menyukai tempat ini? " tanyanya dan mengambil duduk di dekatku.

"Hm" seperti biasa, sepulang sekolah aku selalu mengunjungi sahabatku. Aku tidak terkejut pemuda itu ada di sini.

"Senja, apa kau menganggapku sebagai temanmu? " pertanyaannya kali ini mampu mengalihkan atensiku ke arahnya.

Aku mengangguk singkat "kurasa begitu"

Senja mulai berlabuh di ufuk barat, keheningan menyelimuti kami berdua, hingga Jingga mengucapkan sebuah kata yang cukup membuatku sedih.

"Aku akan pergi"

"Ayahku dipindah tugaskan ke Tokyo, karena tidak ada siapa lagi di sini, aku harus ikut ayahku" tanpa menunggu jawabanku ia menjelaskan alasannya pergi.

"Apakah lama? " balasku, menundukkan kepala menyembunyikan kesedihan.

"Entahlah, aku akan melanjutkan sekolah di sana. Aku akan mengirim e-mail kepadamu, aku tidak akan meninggalkan dan melupakanmu. Aku janji" mengacungkan jari kelingkingnya ke arahku, dengan ragu aku menautkan kelingkingku.

"Janji? "

"Hm, janji! " ucapnya yakin.

Hari itu senja menjadi saksi janji kami berdua. Di bawah senja terindah dalam hidupku itu, Tuhan telah memberikan pengganti, Lira. Aku akan menjadi sahabat yang terbaik bagi Jingga dan tak akan pernah membiarkan nyawa sahabatku hilang lagi.

"Jingga, boleh aku bertanya? " aku menatap paras pemuda di depanku ini.

"Kenapa kau mau berteman dengan orang sepertiku? " hening, tak ada jawaban dari bibir pemuda itu.

"Em, karena Jingga ada untuk Senja" ia tersenyum setelah membalas pertanyaanku.

THE END

kumpulan CeRpEn RemajaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang