Flowerbomb

103 12 31
                                    

Author: jyzlizzz



Jika melihat dari pola kehidupan, manusia pasti belajar sesuatu dari yang paling mudah─ semudah mengedipkan mata─ untuk menuju suatu tahap paling rumit yang dapat membuat logika siapapun terpelintir.

Tak ayalnya aku. Beberapa tahun lalu, saat umurku menginjak 4 tahun, aku merasa malu pada Ayah yang hendak memandikanku. Selang dua tahun, aku malu karena gigi depanku tak lagi ada isinya. Kosong, membentuk jendela tanpa kaca. Lalu, aku malu saat disuruh Ibu Guru untuk melakukan perkenalan di depan kelas.

Semua rasa malu yang berawal dari hal-hal kecil itu menumpuk sekarang. Tidak dapat kusingkirkan maupun kubuang. Menjadikanku makhluk yang anti sosial.

Belakangan, aku merasa tertekan oleh hal baru. Aku jarang mengumpat, tapi akhirnya kulontarkan lirih saat Ayah memberitakan bahwa dirinya terkena mutasi.

Adaptasi. Aku fobia itu.

Kami sekeluarga baru tiba jam 5 sore tadi. Ini lingkungan yang baik, setidaknya menurut Mama. Aku hanya mendengkus perlahan, berpura-pura tidur saat Mama hampir menangkap basah aku yang menentangnya.

Lalu berakhirlah aku di sini, taman kompleks. Sendirian. Aku terusir dari rumah(baru) karena permintaan Mama yang ingin aku berubah.

"Kamu Mama bebaskan dari tugas, asal mau jalan-jalan keluar. Harus dapat teman, baru boleh pulang."

Perintah Mama yang tidak dapat kubantah, mendadak seperti petir yang menyambar pijakan kakiku. Menakutkan, juga menantang.

Tugas yang dimaksud Mama adalah membereskan barang-barang dan menempatkannya di tempat yang tepat. Itu memang melelahkan. Tapi... dari mana aku mendapat teman saat hari saja mulai gelap? Kecuali kalau Mama ingin aku berteman dengan tuyul atau yang semacamnya.

Umurku sudah 16 tahun lewat beberapa bulan. Dan kenyataan itu pula, tidak menghambat tekad Mama agar aku mendapat teman, walau harus pulang malam. Teganya.

Lampu taman sudah menyala sejak beberapa saat yang lalu. Seperti taman umum lainnya, banyak bunga di sini. Ada ayunan, jungkat-jungkit, ring basket, dan benda lain yang tidak membuatku tertarik. Kecuali kalau mereka tiba-tiba bergerak sendiri.

Aku mendengar suara langkah kaki. Mungkin masih dalam radius jarak yang cukup jauh karena hanya terdengar samar. Suaranya kian mendekat, sampai aku dapat mendengar jelas alas kakinya menginjak batu-batu kerikil.

Bulu kudukku meremang.

Bagus. Akan kuadukan pada Mama dilain hari:

"Mama, aku dapat teman penculik."

Baru saja aku ingin beranjak, seorang lelaki dengan santainya berlalu di hadapanku sembari membawa sesuatu. Orang itu berlari santai, sambil sesekali memantulkan benda yang dibawanya. Bola. Aku duduk kembali untuk memperhatikan orang itu, entah dapat dorongan dari mana.

Sesekali lelaki itu berlari mendekati ring, kemudian melemparkan bolanya ke sana. Benda bulat itu melayang sesaat, sebelum masuk dengan mulus.

Mungkin dia sebaya denganku, atau─

"Sudah malam. Enggak pulang?"

Kepalaku celingak-celinguk mencari makhluk lain yang berpotensi lebih besar ia ajak bicara.

"Kamu. 'Kok, malah bingung?"

Mendadak aku cacat logika oleh konteks kata 'Kamu'. Lelaki yang belum dapat kulihat wajahnya itu kembali memainkan bola, seakan memberiku waktu berpikir.

"Anak baru, ya?" tanyanya lagi.

"Enggak. Sejak 16 tahun yang lalu," jawabku. Lelaki itu menangkap bolanya. Dia berjalan mendekat, kemudian menempati bagian kursi di sampingku yang masih kosong. Matanya menatapku, menguliti wajah 'orang baru'.

Kumpulan CerpenWhere stories live. Discover now