Adira masih belum bisa mempercayai apa yang didengarnya barusan. "Why?"

"Bunda pernah punya rumah di sana. Dan kata pamanku, rumah itu masih ada dan masih menjadi hak miliknya bunda. Bahkan bunda nitipin sertifikat rumahnya. Mungkin dengan aku tinggal disana, aku bisa ketemu sama ayah"

"Linka, coba dengerin! Dengan kamu pindah ke Kanada, bukan berarti kamu bakal ketemu sama ayah kamu. Dan ya, kalo rumah itu masih utuh. Gimana jadinya kalo kamu kesana rumah itu udah nggak ada" Kali ini Adira berbicara dengan aku kamu. Itu menandakan dirinya sudah berbicara dengan serius.

"Gue udah pikirin ini sejak enam bulan yang lalu Ra. Gue nggak mungkin ngambil keputusan besar dengan mentah, tanpa dasar dan pertimbangan apapun. Bahkan gue udah pergi ke sana. Rumah itu masih ada, dan masih bagus."

"Lin!"

Linka meraih tangan Adira. Menangkupkan dengan kedua tangannya. "Adira, puji Tuhan gue lolos beasiswa di Kanada"

Mata Adira membulat sempurna. Tangannya otomatis merengkuh tubuh Linka, singkat. "Kapan lo daftar beasiswa? Hebat! Kok gue nggak tau!"

"Setelah gue tau kalo Bunda punya rumah di Kanada"

Senyum Adira memudar. Ia menatap jauh ke luar jendela sekilas.

"Berarti lo nggak bakal ke Indonesia lagi?" ia menunduk lesu.

"Ra, ya enggak lah. Gue bakal balik ke Indonesia lagi. Kan gue mau liat lo disumpah jadi dokter"

Tangan Adira kembali merengkuh tubuh Linka. Seakan tidak ada bosannya. Ia mengusap air mata yang tiba-tiba berjatuhan tanpa izin. "Terus lo disana sama siapa? Kalo ada hantu gimana? Kalo listriknya mati? Ya kalo deket sama PLN, seandainya jauh?"

Linka tertawa. "Cocok banget nih kalo jadi penjaga asrama"

"Serius Lin!"

"Iya gue juga serius. Gue juga bakal tinggal di asramanya dalam beberapa semester. Tenang aja."

"Janji disana bakal baik-baik aja?"

"Pasti." Jawab Linka mantab. Terlihat binar-binar kebahagiaan dan kesedihan karena harus meninggalkan asrama Alfadia High School di senyum Linka. "Sebenernya gue mau cerita ke lo sama Arisha tadinya. Eh gue liat Arisha keliatan capek banget, akhirnya cuma cerita sama lo."

"Nggak tau tuh, emang dasar kebo. Cepet banget tidurnya. Besok gue yang cerita aja deh. Santai aja."

"Makasih" senyumnya mengembang kembali. Ketika tersenyum, darah asli Kanadanya sangat kentara. "Oh iya Ra!"

Linka beranjak dari sofa. Ia mengambil tas sekolahnya di meja belajar. Kemudian kembali duduk di sofa dekat jendela bersama Adira.

Ia mengeluarkan sebuah amplop yang terlihat sangat usang. Seperti amplop pada zaman dahulu, berwarna coklat. "Nih buat kamu" Linka menyodorkannya pada Adira.

"Udah dikasih surat aja. Pindahnya masih lama kan?"

"Loh, bukannya ini punya lo yang ketinggalan?" Linka mengeryitkan dahinya.

"Punya gue?"

Linka semakin bingung. "Gue kira ini punya lo. Soalnya tadi pas pulang sekolah, di atas meja lo ada ini. Gue pikir lo buru-buru latihan, jadinya ketinggalan deh."

H A R AWhere stories live. Discover now