6. Luka Tak Berdarah

41 3 1
                                    


"Ohh" hanya itu yang dapat keluar dari mulutku, kemudian aku lihat senyum kecilnya sudah hilang dan berubah menjadi wajah yang datar kembali.

"Maaf" ucapnya lagi, dan lagi-lagi lelaki jangkung ini membuatku terheran dengan ucapannya, aku menaikkan alisku sebelah menandakan 'untuk apa?'

Seperti mengetahui isi hatiku, dia berdeham melanjutkan ucapannya "Karena menabrakmu di mushola tadi, aku belum sempat meminta maaf" Aku tersenyum geli melihatnya yang merasa bersalah, dan aku sangat kaget ternyata lelaki jangkung nan tampan ini ternyata masih mengingat kejadian di mushola rumah sakit tadi pagi.

"Never Mind" balasku terkekeh, namun dia tidak ikut tersenyum, wajahnya tetap datar dan menurutku lebih cenderung ke mimik yang sedih, entah mengapa itu tertular padaku, aku turut bersedih untuknya yang bahkan aku sendiri tak tahu apa yang membuat mimik sedih itu terukir diwajah tampannya yang bersih, lelaki ini benar-benar tampan, bersih bak oppa-oppa korea, wajahnya sangat tampan atau bahkan bisa kusebut cantik untuk ukuran wajah lelaki, aku menerka-nerka dia berasal dari jenis sperma apa hingga menghasilkan wajah dan tubuh yang se-proposional dirinya, ku akui memang dia jangkung, tetapi menurutku itu pas untuk gaya wajahnya, malah jika dia sedikit gemuk saja mungkin dia tidak akan terlihat semenarik saat ini. meski jangkung menurut pandanganku, namun lelaki ini tidaklah terlampau kurus, kalian tahu aktor tampan korea Lee-Jong-Suk? seperti itulah bentuk badan dan tinggi lelaki ini, mungkin dia versi Indonesia, karena dari wajahnya aku yakin dia adalah seratus persen orang Indonesia.

Dan lagi-lagi, aku berpikir aku seperti pernah melihatnya, pastinya sebelum tadi pagi dirumah sakit, namun dimana dan kapan?

"Kalau begitu, selamat menikmati pesanan anda" ujarnya membuyarkan lamunanku, untuk kesekian kali aku mengutuk diriku yang dengan tidak sopan dan sangat memalukan telah sesuka hati memikirkan lelaki yang bahkan tidak kukenal ini, lelaki itu ingin beranjak pergi namun mulut bodohku mengucapkan sesuatu seperti tak ingin dia pergi dari sini.

"Kau..." kugantung kalimatku, bahkan aku sendiri tak tahu apa kelanjutan dari ucapanku, namun itu sukses membuat lelaki itu berhenti dan mengukir mimik heran mendengar ucapanku, dia kelihatan masih menunggu lanjutan dari kalimatku.

Ada apa denganmu Rumaisya! apa yang harus kukatakan saat ini? dasar wanita bodoh memalukan!

"Kau... ehm" Aku pura-pura merapikan rambutku mengulur waktu, lalu meneruskan. 

"Apa kita pernah bertemu?" tanya ku dan sedetik kemudian aku mengutuk diriku karena pertanyaan itu.

"Oh, ya di rumah sakit tadi pagi" jawabnya, mendengar jawabannya itu membuatku ingin mengubur diriku sendiri.

"Em, maksudku sebelum yang tadi pagi?" 

"Aku rasa tidak" jawabnya cepat, singkat, padat, dan to the point.

Memangnya jawaban apa yang kau harapkan Rum? 

"Oh.. baiklah" 

Dia mengangguk, ketika dia hendak pergi dia seperti memikirkan sesuatu dan berbalik lagi. 

"Kau bisa pesan apa saja disini hari ini, ku gratiskan" katanya, mungkin lelaki ini memang sangat hobi membuat apapun yang keluar dari mulutnya berhasil membuatku bertanya-tanya dan terkaget-kaget.

"Kenapa?"

"Anggap sebagai permintaan maafku karena kejadian tadi pagi"

"Ah.. no need to do that, I'm ok at all" ucapku sungguh-sungguh, apa yang ada dipikiran lelaki ini? apakah sebesar itu rasa bersalah nya padaku? ku akui memang tabrakannya tadi pagi sangat membuat tulang bahuku serasa remuk, namun bagiku itu bukan suatu hal yang perlu dijadikan masalah besar apalagi rasa bersalah untuknya, bahkan aku sendiri sudah hampir melupakannya jika lelaki aneh ini tidak mengingatkannya.

"Tidak apa-apa" lanjutnya, aku menghembuskan napas, aku benar-benar tak ingin dia bersikap seperti itu.

Aku tau kau pemilik kafe ini! tapi aku masih ada duit untuk membayarnya kok! batinku memprotes.

"Lagipula, kata pegawaiku kau adalah pelanggan setia kafe ini, aku ingin memberi sedikit reward untuk pelanggan setiaku" jelasnya, dan untuk alasan satu itu entah mengapa bisa kuterima, toh tawaran baik dan menguntungkan tidak boleh ditolak bukan?

Kau lihat kan yah, kau tak perlu khawatir tak memberiku uang jajan hari ini, aku mendapatkan rejeki makan gratis di kafe favoritku! rejeki anak Sholehah...

"Baiklah... ku terima" Kekehku, dia tersenyum kecil dan berlalu, senyumnya berhasil menghangatkan hatiku, aku saat ini benar-benar bingung dengan diriku sendiri, dia bukanlah satu-satunya lelaki tampan yang pernah kujumpai dalam hidupku, namun entah mengapa dia berhasil membuatku seperti orang bodoh karena berhadapan dan berbicara padanya.

"Sayangnya kau sudah memiliki pacar Rum" kataku pada diri sendiri dan kemudian mengingat lagi tentang Rama. Aku menopang tangan kiriku pada dagu dan mataku terfokus pada lukisan laut yang ada persis didepan meja kafe tempat ku duduk sekarang, aku memikirkan Rama yang tak kunjung menghubungiku, hati yang terasa hangat karena kehadiran lelaki tadi mendadak berubah sesak.

Rama, nama seseorang yang kucintai sekaligus kubenci, aku tak bisa meng handle hatiku sendiri, kadang aku berpikir, Rama jauh lebih berpendidikan dan berumur dari padaku, kami berbeda tujuh tahun, aku baru akan mau menyelesaikan skripsiku sedangkan dia baru saja menyandang gelar doktornya, dia lelaki yang sangat berpendidikan mungkin itu yang menjadikannya sangat sombong.

Apapun yang kami perdebatkan, meskipun aku tahu jelas argumenku benar namun ada saja caranya untuk menyalahkan apa yang kuucapkan. aku selalu tidak pernah benar, hanya dia yang benar, dan dia selalu mengatakan 'pendidikanku lebih tinggi di atasmu, pengetahuanmu tidak seluas ilmuku.' Jika kata-kata itu sudah keluar dari mulutnya, aku benar-benar sangat kesal. aku merasa bodoh dan tidak tahu apa-apa jika sudah berhadapan dengannya, mungkin ini juga salahku, mau berpacaran dengan orang yang terlampau tua dariku, namun aku rasa itu bukan masalah yang besar awalnya, awalnya aku menerima dia sebagai pacarku karena aku beranggapan aku bisa belajar banyak hal darinya, namun aku salah, dia tidak mengajarkanku melainkan mengguruiku.

Meski demikian, aku sangat persis mengetahuii jika dia mencintaiku, setidaknya dia selalu berkata begitu terlepas dari segala pertengkaran-pertengkaran yang selalu kami lalui. memang kata orang pertengkaran itu adalah bumbu dalam suatu hubungan, namun menurutku jika sudah berlebihan itu pertanda ketidakcocokan.

Tapi semuanya serasa sudah telat saat ini untuk mundur, aku tidak bisa mundur semudah itu. Dia mencintaiku dan aku pun demikian, aku kadang merasa heran terhadap diriku yang bisa jatuh cinta padanya, aku lemah jika sudah mencintai seseorang, meskipun aku diberi seribu lelaki tampan seperti lelaki pemilik kafe ini, mungkin aku tidak juga bisa meninggalkan Rama. aku tak mengerti mengapa, padahal mamaku sendiri saja mengatakan padaku ketidaksetujuannya pada hubungan kami, namun mama bukan tipe yang melarang anaknya, dia memberikan penuh kepadaku keputusan dengan siapa aku berhubungan selagi aku masih pandai menjaga dan memberi batas pada diriku dan hubunnganku.

Ditengah lamunanku, dering panggilan yang berasal dari Iphone milikku mendadak berbunyi, kulihat nama mama tertera disana, segera aku angkat panggilan itu.

"Iya ma... ma... iya Rum sedang dikampus... mama kenapa... apa?...." 

Mendengar ucapan terakhir mama, aku tak mampu lagi untuk tetap menggenggam Iphone ini, benda kecil itu jatuh begitu saja kelantai, aku menampar dengan keras pipiku, terasa begitu sakit dan nyata, saat ini aku tidak sedang tertidur dan bermimpi, ini memang dunia nyataku, dan saat ini, dunia ku sedang runtuh.

Ayah, tak bisakah kau bisikkan pada-Nya, untuk jangan mengambilmu secepat ini dari hidupku?

Aku membeku ditempat dudukku, air mata rasanya sudah tak bisa kutahan, mengalir bebas dipipiku, jatuh kelantai, dan dadaku serasa dihujam beribu-ribu belati, seperih itu. Inikah yang dikatakan orang sebagai luka tak berdarah? sakit sekali rasanya, jauh lebih sakit dari segala luka berdarah yang pernah kualami sepanjang hidupku.  

Melepasmu Untuk Menggenggamnya Where stories live. Discover now