2. Cinta itu buta, benarkah?

79 8 1
                                    

Ada banyak hal didunia ini yang aku anggap salah namun tetap kujalani, dan banyak hal yang jelas benar namun aku tak berani melakukannya. hidup memang tidak semudah yang sudah terpola di otak, kadang hati nurani dan logika bertolak belakang, memain-mainkan hal-hal apa saja yang telah kuputuskan untuk kujadikan kenyataan didalam hidup.

Aku sama sekali tak pernah berpikir menjalin hubungan dengan Rama adalah hal baik dihidupku, namun rasa cinta yang sayangnya sudah berhasil ditumbuhkannya dihatiku membuatku sulit mencari alasan untuk mengakhiri hubungan kami, meski aku tak hanya memiliki alasan, namun aku memiliki kenyataan. 

Rama baik, jelas dia baik, namun kalian harus mengerti jika baik belum tentu benar. Sudah dua tahun aku menjalin hubungan bersamanya, aku bahagia, namun aku harus mengaku aku juga menderita. Kadang aku kesulitan mencari kata yang pantas untuk menggambarkan Rama, namun begitupun denganku, aku kesulitan mencari kata yang pantas untuk menggambarkan diriku sendiri. 

Aku tidak bisa tegas dalam hubungan yang sedang ku jalani, aku tak punya pendirian, aku hanya bisa pasrah mengikuti kemauan Rama, semua itu rasanya seperti hal yang sudah harus ku lakukan, Rama mendoktrinku untuk mengikuti perkataannya sebagai pacar dan juga bodohnya aku menyetujuinya. Rama adalah toxic ku, namun dia juga candu ku. 

"Lihat kantung matamu Rum, kau kelihatan sangat buruk sekali, aku benar-benar tak mengenali pacarku sendiri jika fisik mu seperti ini" oceh Rama, aku  masih sibuk berkutat dengan laptop untuk menyelesaikan bab empat dari skripsiku. 

"Jangan mempermasalahkan kantung mata saat ini Ram, aku sedang fokus dengan skripsi ini"

"Gara-gara skripsi ini kau pasti bergadang setiap malam dan kurang tidur" ujarnya, malas berdebat, aku hanya diam dan meminum jus jeruk milikku yang dibuatkan oleh bi Siti, pembantu rumah tangga Rama dan keluarganya. kami sedang berada di kamar Rama, ini sudah menjadi kebiasaanku untuk datang kerumah Rama dan bersantai dikamarnya, jelas Rama yang menginginkannya padahal aku selalu menolak jika diajak masuk kedalam kamarnya namun dia memaksa, aku tak ada pilihan lain selain mengikuti kemauannya, selama Rama tak pernah melakukan sesuatu diluar batasku, aku masih meng'iyakannya. 

"Sudah ku bilang, aku memiliki teman yang bisa membantumu mempercepat urusan skripsi itu atau bahkan aku sendiri bisa mengerjakannya dalam waktu beberapa hari, kau bisa terima bersih, kau masih s1 Rumaisya, skripsi mu masih sangat mudah" Lagi-lagi Rama membahas masalah skripsiku, aku sama sekali tak mengerti jalan pikiran pacarku ini, dia benar-benar tak mau aku memiliki fokus lain selain dirinya. 

"Aku butuh proses Ram, bukan hanya hasil, aku percaya kau bisa, namun aku mau gelar sarjana ku hasil kerja keras ku sendiri" tolakku, Rama tersenyum mengejek, moodku mulai berubah dibuatnya.

"Aku butuh ilmu Rama! tolong mengertilah" pintaku, "Sehabis kau menyelesaikan s1 mu, aku akan menikahimu, kita akan menikah, kau tak perlu ilmu, aku yang akan menafkahimu dan kau mengurus anak-anak" ucapnya pongah, aku berusaha sabar.

"Pekerjaanku sudah cukup untuk menafkahimu kelak sayang, jangan khawatir, aku berjanji akan menikahimu" Rama duduk disebelahku, menarik laptop yang ada dipangkuanku.

"Berhentilah menjadi lelah untuk skripsi ini, aku tak suka melihatmu menjadi jelek seperti saat ini, kau terlihat sangat buruk dengan kantung mata itu, aku membencinya" Rama menghelus pipiku, aku tak suka berada seintens ini dengannya, apalagi kami berada didalam kamarnya yang terkunci, meskipun aku baik-baik saja bersamanya selama dua tahun ini, aku tetap selalu memberi jarak antar diriku dan dia.

"Tolong lah Rama, aku ingin mengerjakan ini sendirian, aku benar-benar tak butuh bantuanmu" jawabku tegas, Rama kelihatan marah.

"Kenapa kau selalu membantah perkataanku?"

"Bukan begitu Ram..."

"Kau fikir hanya dengan menyandang gelar sarjana kau menjadi hebat?"

"Sama sekali aku tak punya pemikiran begitu" bantahku, aku menahan agar tak ada satupun yang boleh keluar dari mataku yang lelah ini, tidak, ini bukan saat yang tepat untuk menangis.

"Aku tak ingin melihatmu disini, silahkan kau pulang dan kerjakan skripsi-skripsi bodoh itu" Rama menunjuk jari telunjuknya kearah pintu, menandakan jika dia mengusirku, sebenarnya aku terkejut melihat reaksi berlebihan Rama, hanya saja aku berusaha sebiasa mungkin, aku membereskan barang-barangku.

Ini jarang terjadi, namun sekarang aku yakin, Rama telah menambah robekan besar dihatiku, dan sama seperti sebelum-sebelumnya, semua itu karena kata-katanya yang angkuh itu.

"Biarkan supirku yang mengantarmu pulang" Dia menahan pergelangan tanganku yang hendak pergi, namun dengan cepat ku tepis.

"Aku masih mampu pulang sendiri" jawabku berjalan keluar dengan cepat, lagi-lagi dia menarikku, kini dia menahan bahuku, aku tahu dia tak suka mendengar kalimatku.

"Berkali-kali ku bilang untuk tidak membantahku!"

"I don't give a fuck!" makiku, air mata tak bisa tertahan, aku yakin Rama melihatnya sebelum akhirnya memutuskan membiarkan ku pergi dari rumah besarnya.

Sudah terlalu banyak luka, namun mengapa aku masih menerima?

inikah yang dinamakan cinta yang buta?


~~~~~

Melepasmu Untuk Menggenggamnya Where stories live. Discover now