HT - 0.3

2.1K 391 26
                                    

Hari ini Changbin dan team mates nya akan melakukan perjalanan keluar kota untuk sebuah pertandingan turnamen. Dengan kondisi fisik tim yang belum 100% fit sejak kepulangan dari Australia 4 hari lalu, mereka menjanjikan kemenangan untuk para penggemarnya.

Changbin sendiri memiliki tugas besar di lini belakang. Timnya kebobolan 5 gol dalam 2 pertandingan, tentu ini bukan sesuatu yang baik. Mengingat musim lalu, sebelum dirinya bergabung, tim ini menjadi tim dengan jumlah kebobolan paling sedikit dari 31 laga yang dilakoni.

Ia sadar, bermain untuk tim profesional bukanlah perkara mudah. Belum lagi dirinya dituntut untuk menjadi lebih baik dari pemain sebelumnya.

Changbin sedikit mengusak rambutnya kebelakang, poninya mulai memanjang. Sambil terus membawa kakinya melangkah menuju mess tim, kepala pria dengan rambut hitam legam itu tak hentinya mengangguk setiap kali mendengar semua celotehan seseorang dari seberang ponselnya.

"Eh iya, gue hari ini berangkat. Lo ikut away, kan?"

"Uhm, enggak deh kayaknya kak. Jauh banget soalnya."

Kebiasaan Changbin sebelum timnya melakoni sebuah laga, atau perjalanan jauh. Ia akan terlebih dulu menghubungi Felix untuk memastikan si manis nya tersebut ikut hadir atau tidak di stadion.

"Kok gitu sih, Fel? biasanya kan lo gak pernah absen buat dukung kita," Changbin mencebik kecewa.

"Atau capek karena baru balik dari Sydney kemarin?" Lanjutnya lagi.

"Aslinya bukan itu kak masalah gue."

Bisa Changbin dengar suara Felix mulai mengecil diseberang sana.

"Terus kenapa, hm?"

"Mulai besok, sampai selasa depan, gue full dikantor terus—

—gue juga dapet ultimatum dari si bos gara-gara ketauan bohong. Kemarin gue izin ke kantornya pake alasan mau ke rumah orangtua, eh ternyata dia tau kalo gue nonton bola."

Changbin tertawa kecil mendengar penuturan Felix barusan. Bukan karena alasan yang Felixnya katakan, tapi karena suara bergetar Felix yang Changbin dengar.

"Berarti lo gak bisa ikut away dong?"

"Enggak dulu ya, kak? sorry."

"Yah, sepi deh tribun. Gue jadi gak bisa curi-curi lirikan ke lo deh pas main. Gak semangat dong gue nanti."

"Kak, sumpah ya, gue kadang kesel tiap kelar match lo suka dadah dadah sambil kedip mata ke tribun gue. Mereka yang satu tribun sama gue jadi kegeeran, tau!"

Changbin tertawa lepas. Matanya sampai membuat lengkungan sabit akibat tarikan kedua sisi sudut bibirnya.

"Lo geer juga dong? gue kan begitu buat nyapa penggemar gue, bukan cuma lo doang."

"Kakkkkkk!"

Changbin tertawa lagi. Kali ini bahkan terdengar lebih nyaring dari sebelumnya.

"Seneng banget ngetawain gue, sih?!—

—kalo ketawanya gak berhenti juga, gue matiin nih ya telpon nya!"

"Haha oke oke, maaf. Gak apa-apa kalo lo emang gak bisa. Kerja aja yang bener, biar ntar uangnya bisa dipake buat beli merch official tim gue. Oke ya?" Changbin mengedipkan sebelah matanya ditempat seakan Felix tengah berada dihadapannya.

"Biar apa nyuruh gue beli merch official mulu? biar gaji lo naik, gitu?"

"Gak ngaruh juga sih, kontrak gue kan pertahun. Musim depan belum tentu diperpanjang."

"Bukannya kontrak lo disana 2 tahun, kak? eh kok malah jadi bahas gaji deh topiknya? udah ah, gue mau mandi dulu, ok? gue mau cari makan keluar soalnya. Lo hati-hati ya. Tenang, walau gue gak ikut away, gue bakal dukung lo lewat streaming."

"Sok pengen streaming lo, kuota masih pake yang 1gb sehari aja sok nantang streaming."

"Heh meremehkan ini namanya! 1gb tuh cukup tau buat streaming bola, asal kakak tau!—"

"Jangan ngegas anjir, Fel. Ini suara lo melengking banget suer."

"Kuota 1gb itu—"  Felix mengecilkan volume suaranya. Terdengar seperti orang berguman ditelinga Changbin.

"Gak harus gitu juga ngomongnya, kerasin dikit lagi."

"Salah mulu ih, heran. Udah ah, gue tutup ya, kak? ntar gak mandi-mandi gue kalo ngobrol sama lo mulu. Dah, kak! Ti amo."

Pip

Sambungan telepon dimatikan sepihak oleh Felix. Bahkan Changbin belum sempat membalas 2 kata terakhir yang Felix ucapkan tadi.

Changbin tersenyum menatap layar ponselnya yang kini menampilkan foto dirinya dan Felix sebagai lock screen. Foto yang mereka ambil saat keduanya bertemu di kedai roti tempo hari. Mengusap lembut permukaan layar ponselnya seakan dirinya sedang menyalurkan rasa sayang pada sosok yang kini ada dilayarnya tersebut.

Ia merindukan Felixnya.

"Oy" tepuk Chan—kapten sekaligus partner Changbin di lini belakang— tepat pada bahu tegap milik Changbin.

"Itu si coach manggil lo mulu tuh, gak kedengeran emang?" Lanjutnya lagi. Dagunya diarahkan pada sesosok pria 45 tahun yang tengah menatap keduanya sambil berkacak pinggang.

Changbin bergidik, lalu mengangguk dari posisinya.

"Abis gue, Capt. Calon jadi cadangan dah lusa." Racaunya. Chan yang mendengar hanya tersenyum geli. Padahal coach nya itu hanya menyuruh Changbin untuk ikut kumpul di ruang tengah sebelum timnya masuk bus untuk mulai melakukan perjalanan.

"Dasar anak muda—

—tapi gue juga masih muda sih." Monolog Chan. Setelahnya ia ikut menyusul Changbin ke ruang tengah, tempat dimana rekan dan coach nya tadi berkumpul.

 Setelahnya ia ikut menyusul Changbin ke ruang tengah, tempat dimana rekan dan coach nya tadi berkumpul

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
[✔] Half Time ;changlixWhere stories live. Discover now